Kabupaten Sumedang sudah dari dulu terkenal dengan panganan khasnya, yakni tahu. Seiring dengan banyaknya industri tahu maka muncul pula persoalan lain terkait pengelolaan limbahnya.
Limbah tahu yang memiliki bau tidak sedap dan cukup pekat menjadi persoalan yang kerap dihadapi para perajin. Namun saat ini, hal itu sudah dapat diatasi oleh para perajin tahu di Dusun Giriharja, Desa Kebonjati, Kecamatan Sumedang Utara.
Limbah pekat yang dihasilkan pabrik tahu berhasil diubahnya menjadi bahan bakar biogas. Selain itu lebih ramah lingkungan lantaran saat sisa air limbah dibuang ke sungai sudah dalam keadaan bersih dan tidak mengeluarkan bau tidak sedap.
Asep Efendi menjelaskan pengolahan limbah menjadi biogas merupakan kerjasama antara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Lipi) dan Nanyang Technological University (NTU). Pembangunan pengolahan limbah tahu menjadi biogas dimulai dari 2013 dan dioperasikan pada 2018.
"Saat ini bangunan pengelolaan limbah tahu menjadi biogas telah diserahkan kepada warga untuk dikelola secara mandiri," ungkapnya kepada detikcom, Kamis (13/1/2022).
Asep mengatakan pembangunan instalasi biogas awalnya hanya untuk menghilangkan bau tidak sedap yang ditimbulkan dari limbah tahu. Namun kemudian, limbah tahu tersebut ternyata dapat menghasilkan biogas.
"Dengan adanya instalasi biogas, selain gas-nya bermanfaat, limbah yang dibuangnya pun saat ini tidak lagi berbau dan lebih ramah lingkungan," ungkapnya.
Asep menyebutkan saat ini sedikitnya ada 59 Kepala Keluarga (KK) yang telah menerima manfaat dari bahan bakar biogas yang dihasilkan dari limbah tahu.
"Manfaatnya sangat dirasakan oleh masyarakat dari segi ekonomi, kalau LPG dipasaran dijual seharga 25 ribu dan dalam sebulan satu rumah mungkin bisa habis 2 sampai 3 tabung gas ukuran 3 kg tapi kalau biogas disini hanya membayar 20 ribu untuk satu bulan," terangnya.
Kendati demikian, pemakaian bahan bakar biogas tidak dapat digunakan selama 24 jam penuh. Sebabnya, selain dipengaruhi oleh jumlah limbah yang ditampung juga dipengaruhi oleh faktor cuaca.
"Saat ini penggunaannya baru bisa dari jam 4.00 pagi sampai jam 10.00 pagi kemudian dilanjutkan dari jam 2.00 siang sampai jam 7.00 malam," terangnya.
Pepen Supendi, teknisi dari instalasi pengolahan limbah tahu menjelaskan proses pengolahan limbah tahu menjadi biogas dilakukan dengan cara menampung seluruh limbah pekat tahu melalui instalasi saluran yang dibuat secara khusus hingga sampai ke tempat pengolahan limbah.
"Air perasan tahu atau limbah tahu yang berasal dari 9 pabrik tahu disalurkan menggunakan saluran intalasi khusus hingga semua terkumpul di bak penampungan pengolahan limbah," terang Pepen.
Sesampainya di bak penampungan, limbah pekat tahu kemudian secara otomatis akan disedot hingga masuk ke dalam 6 tabung reaktor yang tersedia. Proses kerja mikroba di dalam keenam tabung reaktor tersebut yang akan menghasilkan gas metana serta akan menghasilkan air yang bersih.
"Setelah limbah masuk ke dalam 6 tabung reaktor, mikroba akan mengurai limbah yang tadinya airnya bau menjadi tidak bau dan bersih," terangnya.
Setelah menjalani proses di dalam 6 tabung reaktor, limbah pun dipastikan telah terolah dan airnya sudah dapat dibuang ke sungai.
Biogasnya sendiri kemudian ditampung ke dalam sebuah tabung besar bernama Gas Bag untuk selanjutnya disalurkan ke rumah-rumah warga.
"Jadi air yang dibuang ke sungai sudah tidak berbau dan pastinya lebih ramah lingkungan, juga biogasnya dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari," terangnya.
Dedeh Hidayah, salah satu warga yang menggunakan biogas tersebut, mengaku penggunaan bahan bakar biogas yang dihasilkan dari limbah tahu tidak berbeda dengan gas LPG.
"Kalau apinya sama saja seperti gas LPG tidak jauh beda, hanya gas biogas itu memiliki bau cukup khas namun tidak berpengaruh pada aroma masakan, sama saja," ujarnya.
(mso/bbn)