Ikhtiar Pesantren Netra Sam'an Darushudur Cetak Pengajar Al-Quran Braille

Muhamad Iqbal - detikNews
Rabu, 24 Nov 2021 12:31 WIB
Ponpes Netra di Bandung ingin mencetak pengajar Al-Quran Braille (Foto: Muhamad Iqbal)
Bandung -

Suara adzan Dzuhur berkumandang. Puluhan santri mulai berdatangan ke masjid dan membuat barisan lurus tanda bersiap salat berjamaah.

Usai salat, mereka melantunkan doa dengan penuh penyerahan sembari berharap diberi kecukupan. Kemudian, mereka pun mengambil Alquran braille dari rak yang berada di sudut masjid.

Dengan mengandalkan pendengaran dan kepekaan jemari tangan, mereka membacakan ayat demi ayat. Sebagian santri terdengar lancar membaca Alquran braille, tapi sebagian lagi masih ada yang terbata-bata.

Sedikitnya, itu gambaran aktivitas di Pesantren Tunanetra Sam'an Darushudur yang berada di Kampung Sekegawir, Cimenyan, Kabupaten Bandung.

Pesantren tersebut dikelola oleh Yayasan Netra Mulia Berkah. Sekretaris Umum Yayasan Netra Mulia Berkah Dani Nurakhman menuturkan pesantren telah berdiri sejak 2018. Sesuai dengan namanya, pesantren tersebut diperuntukkan bagi mereka penyandang tunanetra.

Dani menjelaskan, berdirinya pesantren tidak lepas dari sosok Ridwan Effendi. Ridwan Effendi merupakan seorang akademisi tunanetra bergelar doktor di bidang Pendidikan Bahasa Arab dari UIN Syarif Hidayatullah.

"Sejak 2014, pak Ridwan Effendi mengajarkan Bahasa Arab menggunakan metodenya sendiri ke ibu-ibu. Kemudian, sedikit demi sedikit kami pun mulai fokus kepada pengajaran santri tunanetra," ucap Dani saat berbincang bersama detikcom, beberapa hari lalu (17/11).

Ridwan dan Dani paham betul dengan kondisi akses pendidikan agama yang sulit bagi penyandang tunanetra. Bukan hanya Alquran braille-nya yang terbatas, tetapi yang lebih penting yakni masih sedikitnya pengajar Quran braille.

"Kami mencoba mengisi ruang yang masih tertutup itu dengan harapan ingin mencetak pengajar Alquran braille. Kenapa banyak Alquran braille gak terpakai, karena guru tidak ada, tunanetra pun tidak semua bisa baca," ucap Dani.

Barulah pada 2018, pesantren siap dan mulai menerima sejumlah santri. Dani menuturkan, pada awalnya santri hanya berjumlah 10 orang. Tahun demi tahun kini santrinya sudah berjumlah 25 orang yang berasal dari berbagai daerah.

Kemudian, sejumlah pengajar pun memiliki keterbatasan yang sama. Dari 11 pengajar, tujuh di antaranya merupakan tunanetra.

Dalam pembelajarannya santri dibagi ke dalam dua penjurusan, takhasus dan mubaligh dalam tempo tiga tahun saja. Penjurusan tersebut disesuaikan dengan minat dan kemampuan masing-masing santri.

"Program takhasus itu menghafal 30 juz, dan mubaligh menjadi seorang penceramah. Pertama dia punya kapasitas atau kemampuan fokus di Qur'an. Satu lagi, tidak memiliki fokus ke Qur'an, tapi dia punya wawasan agama yang luas,"ungkapnya.




(mud/mud)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork