Suara adzan Dzuhur berkumandang. Puluhan santri mulai berdatangan ke masjid dan membuat barisan lurus tanda bersiap salat berjamaah.
Usai salat, mereka melantunkan doa dengan penuh penyerahan sembari berharap diberi kecukupan. Kemudian, mereka pun mengambil Alquran braille dari rak yang berada di sudut masjid.
Dengan mengandalkan pendengaran dan kepekaan jemari tangan, mereka membacakan ayat demi ayat. Sebagian santri terdengar lancar membaca Alquran braille, tapi sebagian lagi masih ada yang terbata-bata.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedikitnya, itu gambaran aktivitas di Pesantren Tunanetra Sam'an Darushudur yang berada di Kampung Sekegawir, Cimenyan, Kabupaten Bandung.
Pesantren tersebut dikelola oleh Yayasan Netra Mulia Berkah. Sekretaris Umum Yayasan Netra Mulia Berkah Dani Nurakhman menuturkan pesantren telah berdiri sejak 2018. Sesuai dengan namanya, pesantren tersebut diperuntukkan bagi mereka penyandang tunanetra.
Dani menjelaskan, berdirinya pesantren tidak lepas dari sosok Ridwan Effendi. Ridwan Effendi merupakan seorang akademisi tunanetra bergelar doktor di bidang Pendidikan Bahasa Arab dari UIN Syarif Hidayatullah.
"Sejak 2014, pak Ridwan Effendi mengajarkan Bahasa Arab menggunakan metodenya sendiri ke ibu-ibu. Kemudian, sedikit demi sedikit kami pun mulai fokus kepada pengajaran santri tunanetra," ucap Dani saat berbincang bersama detikcom, beberapa hari lalu (17/11).
Ridwan dan Dani paham betul dengan kondisi akses pendidikan agama yang sulit bagi penyandang tunanetra. Bukan hanya Alquran braille-nya yang terbatas, tetapi yang lebih penting yakni masih sedikitnya pengajar Quran braille.
"Kami mencoba mengisi ruang yang masih tertutup itu dengan harapan ingin mencetak pengajar Alquran braille. Kenapa banyak Alquran braille gak terpakai, karena guru tidak ada, tunanetra pun tidak semua bisa baca," ucap Dani.
Barulah pada 2018, pesantren siap dan mulai menerima sejumlah santri. Dani menuturkan, pada awalnya santri hanya berjumlah 10 orang. Tahun demi tahun kini santrinya sudah berjumlah 25 orang yang berasal dari berbagai daerah.
Kemudian, sejumlah pengajar pun memiliki keterbatasan yang sama. Dari 11 pengajar, tujuh di antaranya merupakan tunanetra.
Dalam pembelajarannya santri dibagi ke dalam dua penjurusan, takhasus dan mubaligh dalam tempo tiga tahun saja. Penjurusan tersebut disesuaikan dengan minat dan kemampuan masing-masing santri.
"Program takhasus itu menghafal 30 juz, dan mubaligh menjadi seorang penceramah. Pertama dia punya kapasitas atau kemampuan fokus di Qur'an. Satu lagi, tidak memiliki fokus ke Qur'an, tapi dia punya wawasan agama yang luas,"ungkapnya.
Banyak santri yang belum bisa membaca huruf Alquran Braille. Pasalnya, tidak semua santri kehilangan penglihatannya sejak lahir, ada yang karena kecelakaan ataupun penyakit lainnya.
Selain dari sisi kemampuan, faktor psikologi pun menjadi penentu santri tersebut dapat bertahan.
"Ini banyak yang terjadi kepada santri yang baru saja kehilangan penglihatannya. Terkadang faktor psikologis, mereka perlu menyesuaikan sampai waktunya mereka siap untuk menerima pembelajaran," tuturnya.
Dani menuturkan, banyak santrinya yang memiliki keterbatasan ekonomi. Maka dari itu, pihaknya menerapkan program orang tua asuh untuk membantu biaya kebutuhan santri.
"Memang dibilang gratis tidak. Tetapi kami ada program orang tua asuh, program tersebut memberikan kesempatan kepada masyarakat yang mau berbagi, mereka dapat memonitor santri asuhnya, dan supaya untuk membuka jembatan hubungan donatur dan penerima manfaat, syukur apabila donaturnya dapat memberikan kemandirian ekonomi," ucapnya.
"Hal itu demi mendorong santri bertanggung jawab terhadap pendidikannya di sini," lanjutnya.
Berjalan empat tahun sudah, sejumlah santri pun datang dan pergi. Ada yang selesai dan juga tidak. Dani menuturkan, sejauh ini pesantrennya sudah mencetak satu orang lulusan yang menjadi hafiz dan pengajar Alquran Braille.
"Alhamdulilah kita baru satu. Dia dalam dua tahun dapat selesai dan sekarang menjadi pengajar di sini. Semoga ke depan, kami dapat mencetak pengajar Alqruan braille lebih banyak lagi," katanya.
Meski hanya satu, jalan untuk mencetak pengajar Alquran braille kini sudah terbuka. Pesantren Tunanetra Sam'an Darushudur sedikitnya sudah membuka jalan gelap menjadi terang.