Tak cuma sohor dengan hamparan pemadangan alamnya, namun Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB) juga kini terkenal dengan daerah yang sering kebanjiran tatkala hujan deras mengguyur selama beberapa jam.
Padahal Lembang merupakan dataran tinggi dan masuk ke Kawasan Bandung Utara (KBU). Namun faktanya, dalam beberapa tahun terakhir Lembang jadi lebih sering dilanda banjir bahkan hingga menerjang permukiman penduduk.
Terbaru banjir menerjang 15 rumah warga yang dihuni 19 kepala keluarga (KK) di Kampung Babakan, Desa Cikole, Kecamatan Lembang, Bandung Barat. Penyebabnya beragam, mulai dari saluran yang tersumbat sampah hingga pemanfaatan lahan hutan menjadi pertanian dan perkebunan, serta permukiman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Forum Penyelamat Lingkungan Hidup (FPLH) Jawa Barat menyoroti banjir di Lembang. Ketua FPLH Jabar Thio Setiowekti mengatakan banjir di kawasan Lembang diperparah dengan kondisi sebagian lahan di hulu yang sudah gundul dan tidak ditanami tanaman keras.
Menurutnya lahan di Lembang yang berfungsi sebagai kawasan lindung baik tanah milik, tanah desa, lahan Perhutani, dan lahan milik PTPN VIII ini seharusnya jangan ditanami sayuran karena tidak bisa menyerap air hingga akhirnya menyebabkan banjir.
"Jadi penyebab banjir ini tak hanya disebabkan akibat sampah yang dibuang masyarakat ke aliran air, tapi ada lahan yang tidak ditanami oleh pohon keras," ujar Thio kepada wartawan, Kamis (21/10/2021).
Pihaknya menyarankan agar semua instansi baik Pemerintah Kabupaten Bandung Barat maupun pihak lain dan masyarakat setempat harus sinergi dan menghilangkan ego sektoral guna mencari solusi agar Lembang tak lagi gampang diterjang banjir.
"Upaya itu harus dilakukan untuk menyelamatkan lingkungan khususnya di daerah Lembang dan di Kawasan Bandung Utara," tutur Thio.
Hal senada diungkapkan Plt Kepala Desa Cikole Ida Suhara menyatakan banjir yang terjadi di daerah Lembang terutama di Cikole itu bukan hanya masalah saluran air akibat sedimentasi dan intensitas hujan yang sangat tinggi saja, tetapi justru karena pemanfaatan lahan.
"Sebetulnya (banjir) disebabkan banyak faktor, seperti pemanfaatan lahan. Di sini pertanian yang cukup banyak menggunakan lahan hutan. Penyebab lainnya karena keberadaan objek wisata. Jadi ada pengaruh ke resapan air meski tidak terlalu signifikan," kata Ida.
Namun Ida menjelaskan jika Hutan Pangkuan Desa (HPD) yang menjadi hulu di daerah Cikole luasnya mencapai 460,13 hektare, sedangkan yang saat ini dikembangkan menjadi lahan pertanian dan wisata kurang dari 10 persen.
Pemanfaatan lahan di kawasan hulu Lembang ini menurutnya mendapat pengawasan ketat dari Perhutani, pihak desa, dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).
"Sebetulnya masih banyak hutan-hutan yang masih alami, tapi ada anggapan dari masyarakat ada alih fungsi lahan. Sebetulnya tidak, hutannya tetap hutan dan tidak ada tegakan yang diganggu, baik kontur atau apapun, tapi dimanfaatkan potensinya," ucap Ida.
Di sisi lain, Asisten Perhutani Kawasan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Utara Susanto mengatakan pemanfaatan lahan milik Perhutani di Lembang sudah diatur dalam Undang-undang (UU) nomor 83 tahun 2016. Artinya pembatasan pemanfaatan lahan oleh masyarakat dan pihak swasta sudah jelas dasarnya.
Misalnya, pembangunan area wisata berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) nomor P.13 tahun 2020, menjelaskan soal batasan mana lahan atau area yang boleh dimanfaatkan dan mana yang tidak boleh dibangun.
"Makanya kita menepis kalau ada anggapan alih fungsi hutan, karena kalau alih fungsi hutan itu ditebang. Misalnya dijadikan rumah dan sawah, itu baru alih fungsi. Tapi kalau ini kan hanya pemanfaatan lahan atau ruang dan tegakannya juga masih ada," kata Susanto.
Susanto menjelaskan sampai saat ini tidak ada pembukaan lahan baik di hulu maupun di hilir yang disebut bisa menyebabkan banjir bandang dan bencana lainnya termasuk yang beberapa waktu belakang kerap menerjang Lembang.
"Untuk antisipasi ke depan, kami sudah membuat suatu kesepakatan bahwa untuk aktivitas (di hulu) kita hentikan dulu sementara waktu terutama yang baru. Jadi untuk yang lama harus diselesaikan dulu aktivitasnya. Kalau sudah selesai baru kita evaluasi bersama dengan desa dan stakeholder yang lain," kata Susanto.
"Dengan adanya kejadian (banjir) ini, kami juga akan memaksa mereka pengguna lahan untuk menanam kembali baik dengan rumput hijau maupun dengan bambu di lokasi-lokasi tertentu," ujar Susanto.
(mso/mso)