Cucu (45), Warga Kampung Warung Jati, RT 02/10, Desa Ciptagumati, Kecamatan Cikalongwetan, Kabupaten Bandung Barat (KBB) mengaku sudah bertahun-tahun tak bisa tidur nyenyak seperti orang pada umumnya.
Ibu dua orang anak itu mengaku sejak 2014 secara berkala ia mulai kehilangan rasa kantuk hingga akhirnya tak lagi bisa tidur. Cucu juga mengklaim sudah menjalani berbagai macam pengobatan namun tak ada yang membuahkan hasil hingga saat ini.
Bahkan Cucu sudah mengonsumsi obat dari rumah sakit di daerah Cikalongwetan demi membantunya bisa tidur. Awalnya memang ada khasiatnya, namun lama kelamaan Cucu memutuskan tak lagi mengonsumsi obat tersebut lantaran tak merasakan khasiatnya. Ditambah ia juga menyebut malah merasa ketergantungan akan obat tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menanggapi hal tersebut dokter spesialis jiwa RSUD Cikalongwetan dr Zulfitriani SpKJ mengatakan yang bersangkutan baru berobat pada bulan Juli 2019 dan berhenti berobat pada bulan Mei 2021.
"Pasien tersebut baru berobat pada bulan Juli 2019 dan berhenti berobat di bulan Mei 2021 dan dari riwayat pasien tidak berobat secara teratur," ungkap dr Zulfitriani SpKJ saat dihubungi detikcom, Rabu (1/9/2021).
Untuk pemberian obat, sebagai psikiater memastikan jika obat yang akan diberikan pada seorang pasien tentunya sesuai dengan dosis terapi sehingga tidak bakal menyebabkan ketergantungan karena akan terus dipantau dosisnya oleh dokter. Apalagi dalam kasus ini, pasien mengaku mengalami ketergantungan akan obat yang diberikan padanya.
"klien saat mengatakan ketergantungan itu adalah stigma karena pasien diberikan obat sesuai. Untuk mencapai kategori sembuh harus melewati fase stabilisasi obat dulu sehingga keluhan berkurang dan bahkan tidak dirasakan lagi. Ini tercapai dengan kontrol pengobatan yang teratur," terangnya.
Pasien juga mengaku jika obat yang dikonsumsinya merupakan obat keras. Menurutnya obat dikategorikan keras atau tidak merupakan asumsi masyarakat. Dalam kasus ini, obat yang diberikan memang fungsi dan kerja obatnya di susunan syaraf.
"Satu lagi obat golongan psikotropika yang diberikan oleh ahlinya (psikiater) adalah dosis yang terukur dan terpantau sehingga terhindar dari ketergantungan. Adapun jika memang harus diberikan itu karena kebutuhan pasien," katanya.
Untuk mengetahui bagaimana kondisi kesehatan pasien yang mengaku tidak tidur sejak 2014 dan sempat mengonsumsi obat untuk membantunya bisa mengatasi kecemasan dan tidur tersebut perlu juga dilakukan assessment.
"Untuk penjelasan tentang mengeluh tidak bisa tidur selama tujuh tahun itu mungkin perlu dianalisa lagi karena hal tersebut kemungkinan adanya gangguan fisik lainnya sehingga sebaiknya pasien dibawa kembali berobat ke rumah sakit," bebernya.
"Itu tahun 2014 ya, jadi kasusnya sudah lama banget. Bisa jadi sudah terjadi perburukan gejala pada pasien. Untuk diagnosanya apa, tidak untuk disebarluaskan karena kode etik," tegasnya.
Permasalahan yang dialami seseorang hingga mengganggu kemampuannya untuk tidur pada dasarnya adalah perasaan cemas dan depresi. Sehingga untuk pengobatan biasanya akan diterapi dengan periode waktu tertentu sehingga tidak boleh diputus obat begitu saja.
"Dan selama sumber cemas dan stresnya tidak terkoreksi maka akan timbul gejala gangguan tidurnya. Gangguan tidur adalah sebagian gejala yang tampil dalam masalah cemas dan depresi, biasanya banyak gejala lain yang terabaikan seperti tidak nafsu makan, tidak bisa konsentrasi, suka menyendiri, mudah tersinggung, mudah marah, dan lain sebagainya," ujarnya.
(mso/mso)