Kota Cimahi cukup banyak terlibat dalam kejadian masa lalu, terutama saat masa penjajahan. Setelah melalui perjuangan panjang akhirnya Indonesia mampu memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Namun tak banyak yang tahu jika warga Kota Cimahi kala itu, baru mengetahui kabar merdekanya Indonesia sehari kemudian atau pada 18 Agustus 1945. Usai mendengar kabar bahagia tersebut, warga Kota Cimahi pun membanjiri satu tempat yang saat ini bertransformasi menjadi Alun-alun Cimahi.
Tokoh yang menggerakkan warga Kota Cimahi kala itu, yakni Erom dan Raden Embang Kartawidjaja yang sama-sama berprofesi sebagai guru.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Informasi (kemerdekaannya) memang tidak langsung cepat diterima warga Cimahi, jadi sehari setelahnya baru warga ini berkumpul di tempat yang sekarang jadi Alun-alun Cimahi," ungkap Ketua Komunitas Tjimahi Heritage Machmud Mubarok kepada wartawan, Selasa (17/8/2021).
Sayangnya, perayaan merdekanya Indonesia kala itu tak bisa dilakukan secara meriah. Tentu saja karena Jepang masih menduduki Indonesia. Namun dari situlah perjuangan untuk benar-benar membuat Indonesia merdeka dari pelosok negeri mulai terjadi.
Warga Cimahi kala itu bersatu padu untuk mengusir penjajah dari tanah pasundan. Larut dalam euforia kemerdekaan membuat pribadi warga pribumi yang biasanya tunduk pada penjajah tiba-tiba berubah menjadi 'buas'. Orang-orang Belanda dan China yang kalau itu masih tinggal di Cimahi jadi sasaran serangan.
"Salah satunya itu warga Belanda pemilik toko roti yang lumayan sohor. Tahun itu mereka diserang dan dihabisi. Pemenggalan dilakukan oleh pribumi karena sebagai pelampiasan kepada orang-orang asing yang tinggal di Cimahi," kata Machmud.
Tak cuma warga sipil yang melakukan serangan membabi buta, pejuang yang ada di Cimahi juga meladeni perlawanan para penjajah yang tersudut usai mendapatkan gempuran dari warga pribumi.
"Kemudian menurut cerita warga zaman di sudut Jalan Kaum juga dulunya dijadikan tempat pembantaian warga asing oleh para pemuda. Karena saat itu kan masih euforia kemerdekaan, warga asing yang ada di Cimahi dibawa ke tempat tersebut untuk dibantai," kata Machmud.
Perlawanan pejuang dan warga Cimahi terus berlanjut hingga tahun 1946. Saat itu, pasukan regu Kompi Daeng bersama Laskar Banteng Cimahi, BARA dan Detasemen Abdul Hamid melakukan penyergapan dan penembakan ke arah truk konvoi para penjajah. Ketika itu para pejuang hanya mengandalkan persenjataan peninggalan Jepang, di antaranya mortir.
"Ada juga pencegatan pencegatan truk sekutu yang ke arah Padalarang, di Tagog, Perempatan Cihanjuang, dengan tujuan mengambil senjata, truk, dan pembunuh sekutunya," terang Machmud.
Pertempuran pun pecah di sekitar Alun-alun Cimahi di mana pasukan pribumi saat itu awalnya menerima informasi bahwa akan ada konvoi pasukan Belanda dari arah Bandung menuju arah Padalarang. Titik pertempuran di Kota Cimahi juga terjadi di kawasan Cimindi, Leuwigajah hingga Baros yang kini nama jalannya menjadi Jalan HMS Mintaredja.
Namun sejarah perang di era kemerdekaan Indonesia terjadi di kawasan Jalan Gatot Subroto yang dulunya merupakan tangsi Belanda. Pertempuran yang digawangi berbagai kompi, laskar, Badan Keamanan Rakyat (BKR) hingga Tentara Keamanan Rakyat (TKR) itu terjadi selama empat hari empat malam.
"Hanya saja gagal berbuah kemenangan, karena saat itu pejuang kita mengalami keterbatasan persenjataan," ucap Machmud.
Ada sejumlah nama yang dulu terlibat dalam peperangan melawan penjajah di Kota Cimahi di antaranya Kompi Daeng Muhammad Ardiwinata, Kompi Ade Arifin, Embang Ardiwidjaja, Kapten Ishak, Sukimun, hingga Usman Dhomiri.
Kini nama-nama itu telah diabadikan menjadi nama jalan di Kota Cimahi. Generasi muda saat ini perlu mengetahui sejarah yang terjadi di Cimahi, di mana pribumi berjibaku mengusir penjajah demi membuat Indonesia merdeka seutuhnya.
(mso/mso)