Sebuah peti mati diangkut dari dalam gang yang sempit dan menanjak di perbukitan Ciumbuleuit, Cidadap, Kota Bandung. Peti itu kemudian ditumpuk di pinggir jalan, menanti untuk dibawa ke sebuah rumah sakit di Kota Bekasi. Pemandangan itu rutin terlihat sejak tiga bulan yang lalu saat kasus kematian karena COVID-19 melonjak.
Yudi (37) salah satu pengelola tempat produksi peti mati mengatakan, permintaan peti mati dalam sebulan terus meningkat. Sejak awal ia merintis usaha itu pada November 2020 lalu, terjadi penambahan permintaan peti hingga 900 persen pada tiga bulan ke belakang.
"Saya rasakan meningkat itu tiga bulan terakhir, kalau dulu 30 hingga 40 peti. Sekarang pesanan itu sebulan bisa 200 peti, dulu kita hanya produksi di satu tempat, sekarang ada lima tempat produksi dengan masing-masing tempat diisi oleh enam orang," ujar Yudi saat ditemui detikcom, Senin (19/7/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Satu rumah sakit saja butuh 200 peti, kadang 100 peti karena angka kematian di kematian RS juga tinggi. Bahkan ada satu RS di Jabar yang seharinya itu bisa mencapai 20 orang yang meninggal," kata dia melanjutkan.
Menurut Yudi, sebetulnya pembuatan peti tidak jauh berbeda dengan pembuatan lemari atau barang mebel lainnya. Kendati begitu, dia menjelaskan, ada beberapa standar dari Kementerian Kesehatan yang harus dipenuhi agar sebuah peti laik untuk digunakan.
"Yang penting dalam proses pembuatan peti itu sesuai dengan panduan yang diberikan oleh Kemenkes, contoh harus dilapisi plastik, tebal bahannya seperti apa, kekuatan peti seperti apa, karena itu kan digunakan untuk mengangkut beban. Kalau pembuatan petinya sama seperti peti biasanya, mula dari pola, pemotongan, rakit, finishing dan cat," tuturnya.
Selama masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat ini salah satu kendala yang dihadapi oleh perajin adalah ketersediaan bahan baku. Misalnya kain satin atau plastik yang digunakan untuk melapisi bagian dalam peti. Namun, Yudi tak mematok berapa target produksi setiap bulannya.
"Kalau saya mengikuti kebutuhan saja di jalan ya, karena kondisi COVID-19 tidak bisa diprediksi kadang naik, stabil, kadang turun lagi. Tidak bisa kita perkirakan naik sekian, kita ikuti alurnya saja, tidak ada istilahnya mematok sebulan produksi berapa," ucap Yudi.
Berdayakan Warga Terdampak COVID-19
Dalam pengerjaan peti ini, Yudi memberdayakan warga sekitar, khususnya para pekerja yang terdampak COVID-19 secara langsung. Di antaranya, para penata dekorasi di acara pernikahan, pekerja kafe dan juga pengendara ojek online.
"Yang terdampak paling sebenarnya teknis itu kan cuma tukang kayu saja, selebihnya warga biasa. Mereka bisa melakukan pengecatan biasa tidak melakukan pengecatan secara profesional seperti itu, tukang dekor kita berdayakan karena tidak semua bisa bikinnya rapi kan," tutur Yudi.
Salah seorang warga yang terdampak COVID-19, Agus (49) mengatakan, sebelumnya ia bekerja sebagai kuli bangunan. Kemudian ia beralih menjadi pengendara ojek online sebelum pandemi COVID-19 merebak.
"Sekarang ikut bikin peti juga, baru dua minggu ikut sambil tetap ikut ojek online," kata Agus.
(yum/bbn)