Puluhan orang menggeruduk kantor PT Global Media Nusantara (Global Agrobisnis) di Jalan Terusan Jakarta Nomor 175, Antapani, Kota Bandung, Sabtu (30/1/2021). Mereka menuntut agar PT GMN membayarkan hasil investasi IGIST (International Green Invesment System) sesuai perjanjian.
Salah seorang investor dari Nanggroe Aceh Darussalam Syaefullah mengatakan, awalnya ia mengikuti bisnis investasi pohon jabon ini sejak 2011 lalu. Kala itu membayar Rp 62 juta untuk 400 pohon jabon. Dari akad yang dilakukan dengan perusahaan, ia dijanjikan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 260 juta pada tahun 2016.
Pria asal Bireuen itu sempat beberapa kali meminta kepada PT GMN untuk ditunjukkan tempat ratusan pohon jabonnya ditanam, tapi pihak perusahaan tak pernah menyebut lokasi pastinya. "Disebutkan kalau pohon saya di Cianjur, tapi suka tak tepat, malah ditunjuk ke Singajaya, Garut," ujar Syaefullah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemudian pernah ditunjukkan lokasi pohonnya, tapi yang ditunjuk adalah hamparan pohon," katanya.
Awalnya, ia tertarik untuk bergelut di investasi pohon jabon ini karena pihak perusahaan menyebut akan melakukan penghijauan yang menghasilkan oksigen yang melimpah di Indonesia. PT GMN pun, disebutnya menampilkan sejumlah tokoh publik sehingga orang tertarik dan percaya.
"Panennya lima tahun sekali, saya dapat DP awal pembagian usaha itu Rp 10 juta dari total keuntungan ratusan juta, ya janjinya akan dibayarkan pada termin enam bulan hingga setahun kemudian, tapi hal itu tidak pernah terjadi," ujar Syaefullah.
![]() |
Sampai akhirnya pada 2017, perusahaan menghubunginya karena ada perubahan pola panen, dengan optimalisasi. Yakni, pohon jabon milik 'mitra pohon' -sebutan peserta investasi jabon- akan diolah menjadi jam tangan atau produk turunan lainnya.
"Mereka menjanjikan lagi akan menambah keuntungan dari 700 ribu per pohon, menjadi Rp 1.050.000 per pohon, tidak ada realisasinya juga sampai sekarang," katanya.
"Kami meminta komisaris, direktur, dan seluruh manajemen bertanggung jawab atas persoalan ini, beberapa investor ini ada yang rela menjual harta bendanya, rumah, maupun kendaraannya, bahkan tabungan pendidikan anaknya, hingga membatalkan biaya pendaftaran perjalanan ibadah umrah dan hajinya demi investasi ini. Kami menagih janji dan tanggung jawab kalian (PT. GMN/GAB), sebelum kami tagih di akhirat nanti," ujar Syaefullah.
Syaefullah mengatakan, massa yang datang hanya berasal dari Bandung atau Aceh, tapi juga perwakilan 'mitra pohon' dari seluruh wilayah di Indonesia. Massa aksi pun membawa dua karangan bunga yang isinya meminta agar perusahaan membayarkan 'hutang' kepada mitra pohon.
Nurlaela Susanti, asal Kalimantan Timur mengatakan, peserta investasi jabon ini mencapai ribuan orang. Sejumlah peserta pohon jabon ada yang telah meninggal dunia dan meminta agar ahli warisnya menagihkan janji kepada perusahaan.
"Kami tidak mau dan tidak peduli dengan apa yang anda jual di luar itu (pohon jabon), karena apa yang anda jual wajib anda pertanggung jawabkan secepatnya, sebelum nyawa anda dicabut oleh Allah SWT, " ujarnya.
"Kami sudah lelah dengan menempuh jalur damai yang selalu diulur waktu, di PHP dan tidak pernah menemukan titik solusi akan kapan pembayaran keuntungan dilakukan. Bahkan, kami khawatir aset investasi kami hilang tidak berbekas tanpa adanya kejelasan penyelesaian masalah," ujar Nurlaela melanjutkan.
Owner PT GMN Wira Pradana mengatakan IGIST merupakan bisnis menanam pohon yang memang hasil pohonnya tidak sesuai harapan. "IGIST ini merupakan bisnis menanam pohon yang memang hasil pohonnya tidak sesuai harapan. Kami tidak dapat memastikan hasil atau menjamin hasil, semua sesuai dengan hasil dari kondisi pohonnya, dan ini bukan sektor riil, menanam pohon bukan investasi atau sektor keuangan," kata Wira saat dikonfirmasi detikcom.
Menurut Wira sejauh ini perusahaan telah menjalankan mekanisme pemulihan resiko dan sudah membayar hampir Rp 22 miliar kepada para mitra pohon. "Di sertifikat dan akad yang disetujui semua penanaman pohon sangat jelas klausal-klausalnya bagaimana," kata Wira.
Wira mengatakan sedianya perusahaan tak keberatan untuk membayarkan hasil investasi jika mitra pohon mau dibayar sesuai dengan kondisi pohon apa adanya. "Kami bisa memfasilitasi sesuai dengan akad dan sertifikat, tetapi kalau mau ikut program recovery risiko yaitu produk kayunya diolah dulu, baru dijual atau dikombinasi dengan bisnis-bisnis recovery perusahaan maka harus mengikuti mekanisme antrean pembayaran," katanya.
"Artinya pembayaran menyesuaikan dengan penjualan produk, tidak ada jaminan waktu, sesuai dengan penjualan. Tetapi ini harapan untuk bisa memulihkan kerugian hasil pohon yang tidak sesuai harapan," ujar Wira.