Harga kedelai yang menjadi bahan utama pembuatan tahu dan tempe mengalami kenaikan sejak sepekan lalu. Di kalangan pengrajin tahu, beredar ajakan untuk mogok produksi secara massal pada awal tahun sebagai bentuk protes atas kenaikan harga kedelai.
"Iya ada informasi dari mulut ke mulut, katanya dari Jakarta. Saya dapet informasi pas di pasar. Kalau saya sih dapat informasi dari tanggal 1 (Januari 2021) katanya, mogok massal sampai tanggal 3 Januari," kata Dodo, salah satu pengrajin tahu ditemui detikcom di tempat usahanya di Sukaresmu, Tanahsareal Kota Bogor, Senin (28/12/2020).
"Berhubung katanya informasinya dari Jakarta, ya kita ngikutin. Soalnya kalau yang udah-udah, kalau kita nggak kompak nih, kadang ada sweeping antar pedagang. Jadi kalau informasi itu benar mungkin saya juga akan ikut (mogok produksi)," kata Dodo menambahkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dodo membenarkan harga kedelai kini mengalami kenaikan sejak sepekan terakhir. Harga kedelai yang semula Rp 7.000 kini naik menjadi Rp 9.400 per-kilogramnya.
"Sekarang harga kedelai Rp 9.400, kalau normalnya itu Rp 7.000 perkilo. Kenaikan sudah hampir seminggu ini, naiknya pelan-pelan, tapi terus naik," kata Dodo.
Ia berharap, dengan aksi mogok produksi secara massal ini harga kedelai bisa kembali normal. "Harapan kita, ya keinginan para pengrajin tahu,inginnya itu harga normal lagi lah. Karena sekarang itu kan (kalau kedelai mahal) jadi biaya produksinya juga makin gede, sedangkan kita ambil keuntungan kan sudah ditakar,nggak seberapa kita ambil untung," keluh Dodo.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Koperasi Produsen Tahu dan Tempe Indonesia (Kopti) Kabupaten Bandung Ghufron CV. Dalam satu bulan terakhir, harga kedelai melonjak sekitar Rp 9.000-an dari asalnya Rp 7.000 per kilogram.
"Ada sekitar 40 persen pengrajin di Kabupaten Bandung yang berisiko bangkrut jika harga kedelai terus naik di akhir tahun," ujar Ghufron saat ditemui detikcom, Baleendah, Kabupaten Bandung, Senin (28/12/2020).
Saat ini, ada sekitar 600-an pengrajin tahu dan tempe yang tergabung dengan Kopti Kabupaten Bandung. Produsen dengan penggunaan kacang kedelai di bawah satu kuintal per hari berisiko bangkrut.
Bahkan, saat ini saja sudah ada lima persen yang bangkrut akibat tidak dapat bertahan dengan kenaikan harga tersebut. "Yang produksi 1 kuintal terancam bangkrut. Apalagi kalau besok lusa naik Rp 10 ribu yakin berhenti itu," ucap Ghufron.
Selama ini, terang Ghufron, pengrajin tahu dan tempe di Indonesia tergantung dengan komoditi impor. Sementara, hasil dalam negeri dinilai tertinggal dari segi kualitas dan teknologi.
Meski demikian, ia meminta agar pemerintah ikut andil dalam mengatasi masalah tersebut. Seperti program swasembada kacang kedelai yang mesti dikerjakan dengan optimal.
"Program pemerintah swasembada selalu ada, tapi tidak pernah terelisasi. Kita sudah pernah audiensi dengan DPR tapi tidak ada hasilnya," keluh Ghufron.
Ghufron menuturkan, kondisi saat ini pernah terjadi pula pada 2012 lalu. Namun berbeda, kondisi saat ini melonjak harga kedelai di tengah resesi ekonomi akibat pandemi.
"Saya berharap meski di tengah pandemi, kedelai mesti juga diperhatikan. Karena tahu dan tempe jadi makanan pokok yang murah dan terjangkau bagi masyarakat bawah," katanya.
"Kita gak tahu kalau misalnya tahu dan tempe hilang di pasaran atau mahal nantinya. Akibatnya banyak, pengangguran dan kelaparan," ujarnya.