Optimisme Menyambung Urat Petani Muda Karawang

Optimisme Menyambung Urat Petani Muda Karawang

Luthfiana Awaluddin - detikNews
Minggu, 20 Des 2020 08:58 WIB
Petani asal Karawang.
Foto: Petani asal Karawang (Luthfiana Awaluddin/detikcom).
Karawang -

Di pinggir tegalan sawah hijau yang terhampar di Desa Klari, Karawang Timur, Syafaat bersama ayahnya berjalan beriringan di pematang. Dia masih anak-anak berumur delapan tahun. Tak pernah terbersit olehnya ia akan kehilangan sawah keluarganya suatu hari nanti.

Itu kejadian tahun 1992, Syafaat memang kerap diajak ayahnya menggarap empat petak sawah di Desa Klari. Setiap hari, Syafaat bertugas mengontrol suplai air ke sawah keluarganya yang terletak di tengah tegalan. "Saya diajari mencangkul sejak umur delapan tahun. Sawah kami garap sendiri. Mulanya keluarga kami hanya buruh tani, setelah bertahun-tahun menabung, ayah saya membeli empat petak sawah di tegalan ini," kata Syafaat kepada detikcom, Rabu (9/12/2020).

Aktivitas bertani itu terus dilakukan hingga Syafaat beranjak remaja. Namun pada tahun 2000an, Desa Klari berubah lanskap. Di sana, mulai dibangun perumahan-perumahan. Tegalan sawah yang menghampar luas pelan-pelan hilang. Termasuk tegalan sawah tempat Syafaat dan keluarganya mengadu nasib.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Di tegalan bagian timur, dibangun perumahan. Di bagian barat juga dibangun perumahan, satu persatu petakan sawah tetangga kami mulai dijual," kata Syafaat.

Di tengah kepungan perumahan, Syafaat dan keluarganya mencoba bertahan. Meski kerap muncul tawaran dari pengembang perumahan, ayah Syafaat menolak menjual sawahnya. Tapi hal itu tak bertahan lama. "Sejak sawah di tengah tegalan mulai kesulitan air. Bertani jadi tidak seperti dulu. Muncul banyak kendala," kata ayah dua anak ini.

ADVERTISEMENT

Pada tahun 2003, kata Syafaat, bertani mulai tidak menguntungkan. Lantaran berbagai kendala, ayah Syafaat akhirnya menjual sawah miliknya. Alhasil begitu lulus sekolah, Syafaat memutuskan untuk bekerja di pabrik kertas. Kehidupannya sebagai petani pun berakhir. "Setelah empat generasi, keluarga kami tidak ada yang jadi petani lagi," ujar dia.

Syafaat adalah satu dari sekian banyak keturunan petani Karawang yang beralih profesi. Syafaat tidak sendiri. Setelah industri tumbuh pesat di Karawang banyak petani mulai kehilangan penerus. Anak-anak mereka memilih bekerja di pabrik. "Ini fenomena yang benar-benar terjadi. Terutama kepada kalangan petani pemilik sawah di bawah 0,5 hektare," kata Kepala Dinas Pertanian Karawang, Hanafi Chaniago saat ditemui di kantornya, Jumat (11/12/2020).

Hanafi menuturkan, petani Karawang saat ini mayoritas berumur 60 hingga 40 tahun. Sangat jarang, petani muda di rentang umur 20 hingga 30 tahun. Hanafi mengamini, regenerasi petani muda di Karawang termasuk minim.

"Banyak faktor, salah satunya pertumbuhan industri sedikit banyak berdampak pada anak petani gurem. Karena bertani dianggap tidak menguntungkan anak mereka tidak meneruskan jadi petani. Bekerja di pabrik dengan upah tinggi jadi pilihan rasional," kata Hanafi.

"Bahkan ada yang menganggap bertani itu pekerjaan kotor karena berurusan sama lumpur dan tanah," ia menambahkan.

Namun, ungkap dia, mindset itu tidak boleh dibiarkan. Jika tidak ditanggulangi, khawatir regenerasi petani muda Karawang menjadi minim. "Bahkan jika dibiarkan, khawatir akan mengancam produksi pangan di masa depan," ungkap Hanafi.

Upaya menyambung regenerasi petani muda di Karawang terus dilakukan. Saat ini, mulai banyak pihak yang mencoba merangsang anak muda Karawang untuk kembali menyukai pertanian. Caranya dengan membuat produk yang mudah digunakan.

Pupuk Kujang Cikampek misalnya, membuat Tanamanku. Isinya pot plastik, tanah sekam, benih sayuran, pupuk nitroku dan gelas takar air. Tanamanku adalah paket berkebun yang dibuat dengan simpel. "Tujuannya untuk memudahkan. Anak SD pun bisa menggunakannya. Kami harap Tanamanku bisa merangsang minat generasi muda untuk bertani. Setelah suka menanam, diharapkan muncul minat generasi muda Karawang kembali kepada tradisi leluhurnya," kata Nilasari Handayani, Humas PT Pupuk Kujang Cikampek.

Rasa optimis juga muncul dari anak petani Karawang yang kembali pada tradisi leluhurnya. Berbeda dengan ayah dan kakek mereka, gaya bertani para pemuda ini lebih simpel. Biasanya, para pemuda ini bertani di lahan sempit. Sebab, mereka tak lagi menggarap sawah.

Meski begitu, mereka berhasil memanfaatkan lahan terbatas menjadi mesin penghasil uang. Dengan jeli, para pemuda ini mengubah sepetak tanah di belakang rumahnya menjadi kebun atau persemaian. Meski bertani di lahan sempit, mereka konsisten meraup cuan setiap bulan.

Ahmad Fauzi (30) misalnya, anak petani asal Telagasari ini bertani secara digital. Memanfaatkan pekarangan rumah seluas 9 meter persegi, Fauzi menanam ratusan jenis tanaman hias. "Karena saya tidak bisa mencangkul. Meski ayah saya petani, beliau mengarahkan saya berkarir di kantoran. Tapi karena punya urat petani, saya memilih genre ini," kata Fauzi.

Sepuluh tahun Fauzi menekuni tanaman hias. Meski tidak punya toko bunga di pinggir jalan, ia bisa menjual tanaman langka dengan daun lebar dan sehat kepada pelanggan di seluruh Indonesia. "Kuncinya di pemupukan yang baik dan digital marketing lewat medsos dan marketplace," ujar Fauzi.

Supaya tanaman hias berdaun lebar dan sehat, Fauzi menggunakan pupuk Nitroku buatan PT Pupuk Kujang Cikampek. Pupuk berbentuk bola kecil berwarna biru itu ia taburkan di sekeliling tanaman atau dicampur air. "Nitroku membuat daun jadi lebih besar dan pertumbuhan cepat. Alhasil harga tanaman lebih tinggi," ujarnya.

Jika daun sudah tumbuh lebar dan cantik, Fauzi kemudian memajang foto tanaman langka itu di marketplace. "Tak lama kemudian pesanan pasti datang," katanya. "Karena pelanggan menyukai tanaman langka berdaun besar, sehat dan cantik," ujarnya.

Berbagai jenis tanaman langka ia budidayakan. Yang saat ini populer, ada Monstera, Aglaonema atau Sri Rezeki, Alocasia dan Caladium. Hingga yang langka dan harganya mahal seperti Alocasia Branchifolium, Alocasia Reginae, hingga Philodenron Paraiso Vherde atau talas-talasan asli Amazon yang sangat langka. "Pupuk Nitroku membuat tanaman-tanaman itu subur dan menarik," kata Fauzi.

Kemampuan Nitroku menyulap tanaman jadi subur dan lebat juga dirasakan Dede Abdul Halim (31). Petani muda asal Desa Ciranggon, Kecamatan Majalaya Karawang itu mengubah sepetak tanah di belakang rumahnya menjadi kebun anggur dan persemaian buah tin.

Selain Nitroku, Dede menggunakan Pupuk Jeranti buatan PT PKC. Khasiat Pupuk itu, kata Dede membuat rasa buah menjadi lebih manis. "Kombinasi Nitroku dan Jeranti membuat tanaman tumbuh lebat dan berbuah manis. Alhasil keuntungan panen jadi berlipat," ujarnya.

Di pasaran, kata Dede harga jual buah tin cukup tinggi. Untuk satu kilogram buah masak, bisa mencapai Rp 200 hingga Rp 300 ribu.
Setelah gunakan dua pupuk itu, setiap bulan, Dede mendapat order paling sedikit seribu batang bibit buah tin. Dengan harga jual Rp 20 ribu per batang, Dede bisa meraup untung rata - rata Rp 20 juta setiap bulan.

"Saya kirim bibit buah tin ke Bandung, Purwakarta, Subang bahkan sampai ke Lombok," tutur dia.

"Merawat pohon tin juga tidak merepotkan. Cuma perlu dipupuk dan disiram dua hari sekali. Tidak perlu perawatan yang ribet," Dede menambahkan.

Mengoptimalkan dua pupuk itu, kata Dede adalah cara paling realistis membuat usahanya meraup untung. Sebab, kata Dede ia bertani di lahan sempit.

"Kebun ini hanya seluas 10 X 12 meter. Dengan pemupukan yang baik, tanaman tumbuh subur dan rasanya enak. Alhasil bertani menguntungkan meski tak punya lahan luas," kata Dede yang sedang membina 14 petani muda di Ciranggon ini.

Halaman 2 dari 2
(mso/mso)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads