Bandung -
Lantunan lagu Auld Lang Syne mengiringi peringatan jatuhnya ribuan korban perang yang dimakamkan di Ereveld Pandu, Kota Bandung, Selasa (10/11/2020). Suara khas yang keluar dari lubang doedelzak (bagpipes) atau tas pipa membuat peringatan bersama yang dilakukan Lokra dan Oorlogsgraven Stichting Indonesie semakin syahdu.
Ereveld Pandu merupakan tempat peristirahatan terakhir bagi 3.842 korban perang saat masa penjajahan Jepang dan Agresi Militer Belanda pada 1945-1949. Banyak korban yang gugur, baik dari Indonesia maupun Belanda ketika itu.
Kelamnya peperangan tak hanya menewaskan orang dewasa, jiwa anak-anak tak berdosa pun terenggut di dalamnya. Anak-anak yang meninggal dalam peperangan, sebagian dimakamkan di Ereveled. Nisan mereka ukurannya lebih kecil, dibandingkan nisan-nisan yang lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Oorlogsgraven Stichting Indonesie Robbert van de Rijdt tak kuasa menahan kesedihannya. Ia pun mengikuti prosesi tabur bunga di depan makam anak-anak korban perang bersamaan dengan sekelompok anak yang berpakaian pangsi hitam.
"Kita tidak bisa mengubah sejarah, sejarah telah terjadi. Tetapi, Kita harus belajar dari itu, ini adalah hasil dari perang. 80 persen adalah sipil di sini, 20 persen adalah militer jadi kita perlu belajar. Ini tidak soal orang Belanda, tapi pelajarannya kita harus melihat bahwa ini adalah hasil perang," ujarnya.
"Dari pihak Indonesia juga banyak yang meninggal, baik sipil atau militer. Dan ada yang dimakamkan di makam umum," kata Robbert menambahkan.
Robbert berharap peringatan yang dilakukan secara bersama ini bisa membuat pemahaman yang lebih baik antara Indonesia dan Belanda, begitu juga agar generasi mendatang bisa belajar dari masa lalu.
"Inilah hasilnya dari perang, banyak korban yang berguguran. kenapa kita kemudian harus memperingati bersama-sama, kami pikir ini hal yang baik untuk kebaikan bersama. Supaya kita memiliki relasi yang lebih baik ke depannya," ujar Robbert.
Peringatan jatuhnya ribuan korban perang yang dimakamkan di Ereveld Pandu, Kota Bandung. (Foto: Yudha Maulana/detikcom) |
Meski diperingati bersamaan dengan Hari Pahlawan, Robbert mengatakan orang-orang yang dimakamkan di Ereveld tak bisa disebut pahlawan. Ia menyebutnya korban perang.
"Tidak ada pahlawan, kami menyebutnya sebagai korban perang. Bahkan militer sekali pun kami menyebutnya korban perang, para militer juga disuruh berperang oleh para politikus, di mana sebenarnya mereka tidak mau untuk berperang," kata Robbert.
Ia pun menguak sejarah, sedianya pada masa kolonial dahulu warga sipil Belanda pun dipaksa untuk terjun ke daerah jajahan. Bila menolak, sipil Belanda yang rata-rata berusia 18 tahun itu akan dihukum kurungan penjara selama lima tahun.
"Jika kamu sudah diperintahkan kau harus pergi, kamu harus pergi. Peraturannya begitu, seperti petani dan mereka harus pergi. Tidak hanya cukup dari militer, jadi kamu-kamu lelaki usia 18 tahun harus pergi berperang. Jika tidak mereka akan dipenjara," tutur Robbert.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini