Cerita Pahit Petani Kopi Asal Kabupaten Bandung di Tengah Pandemi Corona

Cerita Pahit Petani Kopi Asal Kabupaten Bandung di Tengah Pandemi Corona

Muhammad Iqbal - detikNews
Kamis, 25 Jun 2020 19:24 WIB
Petani kopi di Kabupaten Bandung
Petani kopi di Kabupaten Bandunng (Foto: Muhammad Iqbal/detikcom)
Kabupaten Bandung - Sejumlah petani kopi mengalami nasib pahit di tengah maraknya pandemi virus Corona. Seperti yang dialami oleh para petani kopi di Kecamatan Cimaung Kabupaten Bandung atau lebih tepatnya di kaki Gunung Puntang.

Para petani mengalami penurunan penjualan. Padahal, di bulan Mei-September ini, petani kopi sedang dihadapkan dengan panen raya.

Seperti yang dikeluhkan Aa Caca (55), petani kopi asal Kampung Pasisian. Selama pandemi Corona, kopi miliknya tidak terjual sama sekali. Bahkan, ia terpaksa membuang kopi yang sudah lama tidak diolah di warung-warung.

"Saya terpaksa ambil lagi kopi yang dititipin dan diganti yang baru. Yang lama ya kepaksa dibuang. Sebetulnya kopi enggak ada kadaluarsanya tapi aromanya hilang, sayang jadi enggak enak," tutur Caca kepada detikcom saat ditemui di kebunnya, Kamis (25/6/2020).

Caca mengatakan, selain tidak adanya pembeli, harga kopi saat ini turun. Harga kopi pasca panen atau ceri hanya dihargai Rp 5 ribu per kilo gram, sedangkan dalam keadaan normal harga sekitar angka Rp 7 ribu-Rp 8 ribu per kilo gram.

"Turun sekali harganya sekarang paling di harga Rp 5 ribu atau enggak Rp 6 ribu. Barang saya saja ini tidak keluar empat bulan," kata Caca.

Biasanya, kata Caca, dalam sebulan ia dapat penghasilan sekira Rp 2 juta. Namun, saat ini sepersen pun dari kopi tidak ia peroleh. Dia kadang mengisi pagi hari dengan mengojek atau menggarap kebun orang lain. Setelah pekerjaan yang lain sudah, barulah ia menggarap kebun miliknya.

Di tengah panen raya ini, kebunnya bisa menghasilkan sekitar 2 kuintal atau 200 kilo gram. Namun, untuk mengantisipasi agar kopi tidak dibuang, ia menyimpan kopi dalam kondisi menjadi green bean. Green bean dinilai mampu bertahan lama.

"Besar mah tidak cuman Rp 2 juta, itu juga belum bersih," ucapnya.

Sebetulnya, apabila tidak terhalang adanya virus Corona, para petani berkesempatan untuk ikut pelatihan penjualan secara online. Namun, pelatihan tersebut harus tertunda sampai waktu yang tidak diketahui.

"Padalah yah, kalo enggak ada COVID sekarang kita ada pelatihan online. Tapi da enggak bisa digelar soalnya tersendat juga anggarannya," katanya.

Sementara itu, tidak jauh dari kebun Caca, nasib sama pun dialami oleh petani kopi lainnya Abah Ara. Ia mengalami penurunan pendapatan akibat COVID ini. Bahkan dampaknya masih terasa meskipun pembatasan sosial sudah direnggangkan.

Di dalam sebuah gudang, terlihat beberapa karung berisi kopi yang disimpan rapat menggunakan plastik dan karung. Ada sekitar dua kuintal lebih yang ia simpan. Ia lebih memilih untuk menyimpan kopi hingga harga stabil.

"Sempat ada yang nawar ke Abah juga, tapi sama Abah gak kasih mending nanti aja kalau sudah normal," ucapnya.

Bukan hanya kopi saja yang pahit, tapi nasib para petani pun ikut pahit. Namun, bukan petani apabila tidak dengan risiko. Bahkan tidak terlihat keluh mengerut di atas kening mereka. (mso/mso)




Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads