Dia bergabung dengan kelompok radikal sejak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 1991. Kurnia muda mulai mengenal jihad dan ajaran Negara Islam Indonesia (NII).
"Saya mengenal jihad dan ajaran NII melalui banyak buku yang diberikan oleh teman saya," kata Kurnia saat menceritakan pengalamannya di hadapan puluhan peserta seminar dan bedah buku 'Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya' di kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Jalan Setiabudi, Kota Bandung, Kamis (5/4/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi ajaran yang saya pahami dengan bubu-buku yang saya baca berbeda. Jadi saya tertarik dengan kelompok tersebut," ujarnya.
Baca juga: Pengakuan Eks Napi Teroris: Alhamdulillah Saya Ditangkap
Setelah lulus SMA pada 1992, Kurnia meneruskan pendidikannya ke jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB). Dunia perkuliahan membuatnya mengenal banyak orang yang sepaham dengannya.
Sekitar tahun 1994, Kurnia berinisiatif belajar merakit bom. Ia belajar merakit bom dengan mengikuti petunjuk dari sebuah buku yang didapatnya dari perpustakaan.
"Selama proses merakit bom, saya nyaris meninggal tiga kali. Biasanya bom yang saya buat diledakkan di Jayagiri, Lembang," tutur Kurnia mengungkapkan.
Singkat cerita setelah lulus kuliah, Kurnia pernah bergabung dengan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Bergabung dengan MMI, jaringan kelompok teroris yang dikenal kurnia semakin luas.
Ia mengenal pendiri MMI Abu Bakar Ba'asyir, lalu Aman Abdurrahman, pimpinan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Bahrun Naim, anggota ISIS.
Kurnia pernah mengikuti pelatihan militer di Aceh yang diadakan Dulmatin pada awal 2010. Usai menjalani pelatihan, Kurnia merencanakan aksi teror di Mako Brimob untuk membalas dendam atas kematian salah seorang rekan seperjuangannya.
"Tapi sebelum saya melakukan aksi itu, saya ditangkap di Padalarang sekitar Agustus 2010. Saya divonis enam tahun penjara," katanya.
Di penjara membuat Kurnia menyadari kesalahannya. Selama berada di balik jeruji besi, dia banyak berkomunikasi dengan tokoh-tokoh Islam moderat. Bahkan dalam beberapa kesempatan juga bertemu keluarga korban terorisme.
"Rasa empati saya muncul saat melihat keluarga korban meneteskan air mata di depan saya. Sejak saat itu saya menyadari apa yang kita lakukan telah menyakiti orang lain," tutur Kurnia.
Pada 2014, Kurnia mendapat status bebas bersyarat. Setelah bebas dari penjara, Kurnia bergabung dengan organisasi Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dan aktif mengkampanyekan perdamaian.
Berlabel eks teroris tak membuatnya merasa kecil di masyarakat. Dia bertransformasi. Kurnia bangkit menapaki babak baru dan kini merintis usaha menjual es jelly, serta mengajar les privat untuk anak sekolah. (bbn/bbn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini