Fogging Tak Lebih Baik dari Obat Nyamuk dalam Memberantas Nyamuk DB

Fogging Tak Lebih Baik dari Obat Nyamuk dalam Memberantas Nyamuk DB

- detikNews
Rabu, 25 Feb 2015 17:45 WIB
Surabaya - Seiring musim hujan yang datang, teriring juga bayangan wabah demam berdarah (DB) yang selalu menyertainya. Dan hal itu selalu terbukti.

Sejak 1 Januari 2005, tercatat telah terjadi peningkatan laporan kasus DB di berbagai rumah sakit di Jawa Timur. Hingga 30 Januari, tercatat telah ada 2.734 pasien DB dengan jumlah 50 pasien DB yang meninggal dunia.

Jumlah itu meningkat jauh dibandingkan dengan tahun lalu dengan penderita sebanyak 980 pasien. Hal itulah yang membuat Pemprop Jatim menetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) DB di Jatim. KLB yang awalnya hanya di 11 kabupaten/kota, bertambah menjadi 21 kabupaten/kota.

Menurut hasil studi ekologi tahun 2013 yang merupakan disertasi Tri Yunis Miko Wahyono dengan judul 'Modeling Intervensi Penyakit Demam Berdarah di Indonesia (Suatu Pendekatan Kontekstual)', fogging atau pengasapan ternyata kurang efektif dalam memberantas penyebaran penularan nyamuk aedes aegypti. Justru penggunaan insektisida dan larvasida lebih efektif di banding fogging.

Disertasi yang melibatkan 20.902 sampel dari 265 kabupaten/kota di Indonesia ini mempunyai kesimpulan bahwa penggunaan obat nyamuk (insektisida) sebagai personal protection memberikan efek penurunan angka DB terbesar dibandingkan larvasida dan fogging.

"Penggunaan obat nyamuk dan larvasida atau memberantas jentik nyamuk mampu menurunkan kasus DB dari 16 juta kasus di tahun 2007 menjadi 12 juta kasus di tahun 2010," kata Tri dalam Media Gathering Langkah Pencegahan Demam Berdarah Paling Efektif, Rabu (25/2/2015).

Dan dari berbagai macam obat nyamuk yang digunakan, kata Tri, lotion atau obat nyamuk krim menjadi obat nyamuk yang paling banyak digunakan. Jumlahnya lebih banyak daripada penggunaan obat nyamuk semprot atau bakar.

"Lebih banyak disukai karena kepraktisannya dan bisa digunakan di mana saja," lanjut pengajar dan peneliti di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ini.

Sementara fogging, kata Tri, kurang bisa mencegah penyebaran DB karena sifatnya yang singkat dan biayanya yang mahal. Bahkan fogging kini telah menjadi bisnis tersendiri. Banyak agen-agen fogging yang telah berdiri dan berpromosi dengan janji mematikan nyamuk aedes aegypti. Bahkan fogging gratis yang merupakan program pemerintah pun bisa menjadi bisnis akibat ulah oknum yang tak bertanggungjawab.

"Takaran fogging pun kadang disalahgunakan. Terkadang lebih banyak solarnya daripada obat foggingnya," terang Tri.

Sementara itu, pengajar Fakultas Kedokteran Univesitas Airlangga, Profesor DR Usman Hadi mengatakan jika DB adalah penyakit yang menipu dengan gejalanya. Banyak orang mengira jika penderita telah melewati masa kritis dengan turunnya demam penderita. Padahal itu adalah masa kritis.

"1-4 hari adalah masa demam. 5-7 hari adalah masa kritis. Pada masa kritis inilah pasien seperti tak mengalami apa-apa," ujar pria yang juga seorang konsultan penyakit tropik dan infeksi ini.

Usman mengatakan, setiap tahunnya,kasus DB di Indonesia terus meningkat. Indonesia sendiri menduduki peringkat dua kejadian DB setelah Brazil. Dan Indonesia adalah peringkat tertinggi dalam kasus penyakit DB di Asia Tenggara.

"10 tahun lalu, kota besar di Indonesia adalah peringkat tertinggi untuk DB. Tetapi sekarang daerah kecil pun sudah menjadi daerah tertinggi untuk DB. Dan puncak DB ini akan terjadi pada April mendatang. Ancaman ini belum seleai," tandas Usman.

(iwd/iwd)
Berita Terkait