Semua peserta aksi memakai topeng hanya dilubangi di bagian mata. Mahasiswa tergabung dalam Forum Mahasiswa Hukum Peduli Keadilan (Formah PK) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) Malang, juga membawa spanduk besar berisi dukungan tanda tangan masyarakat menolak RUU tersebut.
"Pakai topeng merupakan implikasi kekecewaan masyarakat atas RUU Pilkada," kata Koordinator aksi Valerianus Beatae Jehanu di sela menggelar aksinya, Senin (15/9/2014).
Dia menambahkan ungkapan kekecewaan rakyat nantinya akan ditampilkan aksi teratikal, menggambarkan kekejaman penguasa merampas demokrasi. "Teratikal ini, gambarkan pemaksaan atas kepentingan penguasa merampas hak demokrasi," sambungnya.
RUU Pilkada tidak langsung disebutkan dalam Pasal 2, bahwa gubernur dipilih oleh DPRD propinsi secara demokratis berdasar asa bebas, rahasia dan jurdil.
"Kami menolaknya, karena bila gubernur dipilih oleh wakil rakyat, maka secara langsung masyarakat tidak memiliki hak politiknya. Tak hanya itu, kepala daerah bakal tidak dikenal oleh rakyatnya sendiri," ungkapnya.
Menurutnya, bukan hanya Pasal 2, penolakan mahasiswa juga untuk Pasal 11 huruf d yang berbunyi undang-undang pemilu kepala daerah mempunyai kecakapan dan pengalaman di bidang pemerintahan.
"Jelas di situ rakyat tidak dapat mengakses potensi seorang calon kepala daerah," tuturnya.
Namun selama menjalankan aksinya, mahasiswa tidak mendapat respon dari wakil rakyat. Rencana mereka memberikan petisi 'Jangan Tolak Peran Rakyat untuk Memilih Langsung Kepala Daerahnya' gagal. "Ini wakil rakyat tengah berada di Surabaya. Padahal masalah ini sangat penting demi hak politik rakyat," cetus orator.
Hingga pukul 11.00 WIB, para mahasiswa terus melakukan aksinya dengan pengawalan aparat keamanan.
(fat/fat)