"Banyak faktor yang menjadi pemicu dan kemudian terakumulasi, kemudian longgarnya kontrol dan pengasuhan keluarga," kata Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam dalam keterangannya kepada detikcom, Jumat (14/3/2014).
Niam menjelaskan, jalan kekerasan juga dipilih sejumlah remaja karena lingkungan di sekitarnya yang biasa cenderung keras sehingga terimitasi oleh pelaku.
"Sajian tayangan kekerasan baik dalam pemberitaan maupun sinetron yang kemudian menjadikan remaja cenderung permisif terhadap kekerasan," imbuhnya.
Yang paling merisaukan, talk show politik yang diisi orang-orang terhormat juga menjadi hiruk pikuk berdebat adu urat dengan bahasa sarkastik yang menunjukkan kekerasan verbal hingga sampai ke fisik tidak menunjukkan keteladanan yang baik.
"Hal itu dilihat remaja seolah menjadi pembenar bahwa penyelesaian masalah harus dengan kekerasan," tambahnya.
Tambah lagi, ada persepsi masyarakat yang tak percaya lembaga penegak hukum juga mendorong budaya kekerasan menjadi jalan pintas. "Kekerasan dimaknai sebagai simbol kekuasaan dan kemenangan," imbuhnya.
Belum lagi game digital juga kerap dihiasi kekerasan dan pornografi. Mau tak mau sejak dini remaja menjadi terbiasa dengan hal tersebut, utamanya di perkotaan.
"Perlu strategi kebudayaan yang friendly terhadap anak, dan menjelang pemilihan legislatif harus dipilih Caleg yang tidak memiliki masalah dengan perlindungan anak. Jangan pilih Caleg yang gagal menjadi pimpinan dan teladan dalam urusan domestik rumah tangganya," tutup dia.
(dha/vid)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini