Bahkan, agama menjadi sangat praktis karena seluruh pertanyaan-pertanyaan spiritual dapat ditemukan di dunia siber seketika itu juga. Entah itu melalui surat elektronik, grup diskusi, membaca laman di situs internet atau bisa juga mengunduh file.
Sama halnya dengan keberadaan guru spiritual. Sosok fisik ini tergantikan dengan sosok virtual. Bagaimana melakukan ibadah dan mengucapkan doa-doa yang benar, sebagai misal, dapat dilakukan dengan mengunduh file-file audio visual tetang hal tersebut sehingga pengguna internet dapat melihat dan mendengar secara langsung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Brenda Brasherβs (Give Me That Online Religion, 2001) mendefinisikan cyber - religion sebagai kehadiran institusi dan aktivitas keagamaan di dunia siber. Sementara Lorne L Dawson (Anti-Modernism, Modernism, and Postmodernism, 2000) mengartikan sebagai organisasi atau grup keagamaan yang eksistensinya hanya berada di dunia siber.
Sementara bagi Morten T Hojsgaard (Religion and Cyberspace, 2005) menyebutkan bahwa ada tiga perbedaan konsep mengenai agama di dunia online, yaitu adanya komunikasi virtual yang menggantikan komunikasi bersifat nyata (Mediation), tidak perlunya institusi keagamaan yang bersifat komplit (Organization), dan refleksi dari kultur siber yang menggantikan refleksi dari tradisi keagamaan (Content).
Akan tetapi, apakah dengan beragama secara online siapa pun akan mendapatkan 'pengalaman' yang sama dibandingkan pola-pola keagamaan yang didapatkan dalam kehidupan nyata?
Pertanyaan tersebut semakin menukik apabila mengutip definisi agama menurut Durkheim (The Elementary Forms of The Religious Life, 1965) yang menyatakan agama sebagai ' ... unified system of beliefs and practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and forbidden - beliefs and practices which unite into one single moral community called a Church, all those who adhere to them'.
Dari pengertian ini Durkheim menyimpulkan bahwa ada tiga elemen penting dalam agama, yaitu kepercayaan akan sesuatu dan bersifat sakral, praktek agama (ritual), dan kehidupan beragama dalam komunitas global.
Elemen pertama, setiap agama di dunia ini tentunya memiliki asas kepercayaan akan sesuatu dan bersifat sakral --disebut juga sebagai ultimate concern (Tillich, 1967) dan unrestricted value (Hall, Pilgrim, and Cavanagh, 1986)-- yang termuat dalam kitab suci.
Dalam kehidupan beragama, segala apa yang berasal dari kitab suci terekspresikan secara naratif dan menuntut tanggung jawab untuk memercayainya. Pernyataan-pernyataan seperti Tuhan, surga-neraka, kehidupan setelah kematian, karma, reinkarnasi, atau perbuatan baik-buruk merupakan bagian dari agama yang bersifat kepercayaan akan sesuatu yang sakral.
Di dunia siber, hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan dan bersifat sakral sangat mudah didapat. Misalnya kata 'Allah', jika kita memasukkan kata tersebut ke mesin pencari seperi Google, maka hanya dalam hitungan 0.16 detik saja kita sudah mendapatkan sekitar 51,2 juta halaman situs yang memuatnnya. Sementara 'God' terpapar di sekitar 354 juta hanya dalam hitungan 0.18 detik.
Ritual keagamaan, elemen kedua Durkheim, merupakan prasayarat dan penggambaran nyata dari pemeluk agama. Seseorang baru dikatakan beragama apabila ia telah melakukan kredo atau upacara keagamaan yang sifatnya ritual.
Masing-masing agama memiliki tata cara maupun ritual tersendiri, yang merupakan kombinasi antara kehidupan spiritual dan material. Salat di masjid, pergi ke gereja, mengunjungi vihara, atau tempat-tempat suci lainnya yang dipakai untuk melakukan ibadah merupakan contoh kecil dari pelaksanaan ritual keagamaan.
Secara online, pengguna internet dapat mengakses informasi mengenai ritual keagamaan dan tata cara melakukannya. Sehingga pengguna internet merupakan bagian dari pemeluk agama dunia yang melakukan kredo kegamaan yang sama. Bukankah berhubungan dengan-Nya bisa dilakukan di mana dan kapan saja?
Bahkan, yang menurut Durkheim sebagai Social-Credo, lembaga pernikahan pun dapat dibentuk secara online. Laporan Reuters (13 Juli 2007) menyebutkan bahwa Departemen Darul Uloom Deoband di negara bagian Uttar Pradesh, Lucknowm, India mengesahkan perkawinan yang dilakukan secara online. Termasuk di dalamnya melakukan ritual hubungan suami istri, seks (Schnarch & Morehouse 2002); bahwa pasangan virtual pun dapat merasakan perasaan yang sama saat berhubungan seperti hubungan suami-istri secara nyata (Whitty, 2005).
Sedangkan elemen terakhir, kehidupan beragama dalam komunitas global. Menurut Durkheim, dalam kehidupan beragama ada interaksi di antara pemeluk agama dalam sebuah struktur sosial tertentu. Dari hubungan inilah muncul, salah satunya, ritual dan simbol-simbol keagamaan.
Dilihat dari sistem, agama juga membuat hubungan secara erat dan berstruktur antara individu dengan sistem sosial di mana mereka mengembangan diri. Bahkan para ahli sosiologis menyatakan bahwa institusi keagamaan memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan komunitas sosial di dunia.
Misalnya, seorang muslim menginterpretasikan pandangannya tentang dunia dan bertingkah laku sesuai dengan kultur yang dihasilkan dari jaringan kehidupan
sosialnya dan institusi, kepercayaan, serta praktek dari orang-orang yang berbeda agama. Kondisi ini yang dimaksud dengan proses globalisasi.
Berkaitan dengan kehidupoan sosial, ada banyak definisi yang menjelaskan tentang arti komunitas. Tetapi setidaknya definisi komunitas dapat didekati melalui; pertama, terbentuk dari sekelompok orang; kedua, saling berinteraksi secara sosial di antara anggota kelompok itu; ketiga, berdasarkan adanya kesamaan kebutuhan atau tujuan dalam diri mereka atau di antara anggota kelompok yang lain; keempat, adanya wilayah-wilayah individu yang terbuka untuk anggota kelompok yang lain, misalnya waktu (Hillery, 1955).
Saling berinteraksinya para netter di dunia siber pada kenyataannya, disadari maupun tidak, membentuk sebuah komunitas baru yakni komunitas virtual (virtual community). Anggota dari komunitas ini tentu saling berinterakasi dan berkomunikasi; dan pada akhirnya dari interaksi inilah muncul sebuah kebudayaan siber atau cyber culture.
Kebudayaan memiliki hubungan yang signifikan dengan komunitas. Menurut Melville J Herskovits dan Bronislaw Malinowski, segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat (komunitas) ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Termasuk juga dalam beragama.
Rulli Nasrullah MSi
Jalan Pancawarga I No 2 RT 03/01
Cipinang Besar Selatan Jakarta Timur
kangarul@gmail.com
08128749407
Penulis adalah Dosen Komunikasi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
(msh/msh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini