"Selain pelanggaran atas asas keterbukaan, pernyataan sejumlah pembantu Presiden yang seperti menoleransi bahwa seseorang WNI yang pernah mempunyai kewarganegaraan lain masih berhak atas kewarganegaraan WNI, sepanjang tidak ada tindakan pencabutan secara formal atas kewarganegaraan WNI yang bersangkutan adalah pernyataan yang mengingkari ketentuan UU Kewarganegaraaan dan PP Nomor 2 Tahun 2007 tentang Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan RI," ujar Bayu saat dihubungi, Senin (15/8/2016).
Bayu menjelaskan, frasa "dengan sendirinya" dalam Pasal 31 ayat (1) PP 2/2007 yang berbunyi "Warga Negara Indonesia dengan sendirinya kehilangan kewarganegaraannya karena memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri", tidak bisa dan tidak boleh ditafsirkan lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pernyataan pembantu presiden yang menyatakan bahwa selama belum ada tindakan pencabutan atas status WNI seseorang yang jelas-jelas telah menerima kewarganegaraan lain adalah pernyataan yang bertolak belakang dengan maksud baik dirumuskannya Pasal 31 ayat (1) PP 2/2007 yaitu mengantisipasi apabila terdapat WNI yang jelas-jelas telah menerima kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri," sambung Bayu.
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember ini juga menganggap Arcandra tidak memiliki itikad baik untuk melaporkan diperolehnya kewarganegaraan lain tersebut ke perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri atau Kementerian Hukum dan HAM.
Tidak dilaporkannya status kewarganegaraan lain oleh Arcandra diduga ber tujuan untuk tetap mendapat manfaat dari kepemilikan dwi kewarganegaraan, meskipun hal tersebut dilarang di Indonesia.
"Gugur dengan sendirinya status WNI seseorang yang telah menerima kewarganegaraan lain sebagaimana diatur Pasal 31 ayat (1) PP 2/2007 juga dimaksudkan untuk mengantisipasi jika instansi pemerintah yang bertanggung jawab di urusan kewarganegaraan yaitu Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan HAM tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dalam melakukan pendataan siapa-siapa WNI yang tidak lagi memenuhi syarat untuk dapat memiliki kewarganegeraan Indonesia," papar Bayu.
Selain itu Bayu menyoroti gagalnya Ditjen AHU Kemenkum HAM dalam melakukan tugasnya untuk selalu memantau perkembangan perubahan status kewarganegaraan WNI yang ada di luar negeri.
Untuk mengakhiri polemik menenai status kewarganegaraan menteri ESDM dam tidak mengganggu konsentrasi kerja kabinet Presiden Jokowi, maka presiden harus mengambil keputusan sesegera mungkin.
"Apabila telah terdapat bukti yang valid bahwa Arcandra Tahar pernah memperoleh kewarganegaraan dari AS tiada jalan lain kecuali yang bersangkutan harus diberhentikan mengingat tidak memenuhi syarat diangkat sebagai menteri sebagaimana diatur dalam UU Kementerian," tutur Bayu. (fdn/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini