Notifikasi untuk Anda

Belum ada notifikasi baru.

Lihat Semua Notifikasi
Daftar/Masuk
Notifikasi untuk Anda

Belum ada notifikasi baru.

Lihat Semua Notifikasi
Daftar/Masuk

SPOTLIGHT

Risau Menanti Nasib Nakes Manggarai

Tenaga kesehatan menjadi tonggak penting pelayanan kesehatan di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, sebagai daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Namun kini rasa cemas menyelimuti para nakes non-ASN di daerah tersebut, menanti putusan nasib setelah dipecat sepihak.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Kamis, 25 April 2024

Sejak awal April, Yohan—bukan nama sebenarnya—memulai hari dengan rutinitas yang berbeda. Setiap pukul setengah empat pagi, Yohan bergegas bangun untuk memberi makan ayam-ayam ternaknya, kemudian lekas bersiap untuk berangkat ke salah satu puskesmas di Manggarai. Jaraknya 20 kilometer dari rumahnya, butuh persiapan lebih awal setiap harinya.

“(Tugas saya) melayani pasien terkait dengan obat-obatan, terus ada juga kegiatan luar, misalnya pergi posyandu, pergi ya untuk posyandu, untuk balita punya, terus kemudian posbindu untuk lansianya,” tutur Yohan kepada detikX.

Kini pria berusia awal 30 tahunan itu tak lagi mesti buru-buru bangun pagi. Sebab, ia dan sejumlah nakes non-ASN lainnya telah dirumahkan atau dipecat oleh Bupati Manggarai Herybertus Geradus Laju Nabit karena menyampaikan aspirasi di DPRD Kabupaten Manggarai pada awal April silam.

Sudah enam tahun lamanya Yohan mengabdi di puskesmas yang berada di Kecamatan Waeri tersebut. Yohan merupakan tenaga pendukung kesehatan kefarmasian sebagai apoteker pembantu. Honor yang ia peroleh setiap bulannya sebesar Rp 600 ribu. Sebagai gambaran, upah minimum kabupaten/kota di Manggarai sebesar Rp 2.186.826, jauh dari honor Yohan.

“Kalau untuk mengatur soal uang gaji, ya memang sangat sulit kalau kita misalnya atur dari uang Rp 600 (ribu), apalagi dia punya harga ekonomi sekarang kan market naik. Beras saja tidak cukup untuk beli satu karung. Kalau di sini, untuk satu karung itu butuh Rp 750 ribu. Ya, satu karung 50 kilogram,” ujar Yohan.

Oleh sebab itu, ia mengandalkan berjualan ayam ternak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, yaitu istri dan satu anaknya. Uang tersebut, kata Yohan, tak cukup untuk membeli bensin pergi-pulang ke puskesmas setiap harinya. “Menghadirkan satu piring di atas meja saja setengah mati, belum bensin Rp 25 ribu, muaranya dari situ kemarin,” ungkap Yohan.

Pikir Yohan, dengan menyampaikan aspirasinya di DPRD Manggarai, ia sudah berupaya untuk memperbaiki nasibnya ke depan. Namun, nahasnya, ia malah ‘dipecat’ dan kini dirinya hanya bisa menunggu keputusan pemerintah Manggarai.  

Petugas tenaga kesehatan Manggarai tengah mencatat kegiatan posyandu.
Foto : Dok. Istimewa

Padahal, setiap bulannya, Yohan mendapat tugas membantu kegiatan posyandu dan posbindu di desa-desa pedalaman Kecamatan Waeri. Program tersebut sudah memiliki perwakilan dari masing-masing tenaga kesehatan secara lengkap agar kebutuhan balita maupun lansia bisa terpenuhi.

Meski tak mendengar keluhan langsung dari tugas-tugasnya yang terpaksa Yohan tinggalkan, ia justru mendapat protes dari warga setempat yang memanfaatkan puskesmas pembantu (pustu). Sebab, bidan dan perawat non-ASN yang biasanya berjaga di pustu tersebut ikut dirumahkan dan belum ada yang menggantikan mereka.

“Teman-teman banyak bilang bagaimana pustunya kosong sama sekali, (mereka minta) kepada kepala puskesmas, seperti apa kebijakan yang dia bisa buat karena masyarakat-masyarakat di bawah kan sangat membutuhkan itu, apalagi yang untuk melahirkan. Saya dengar kemarin juga, apalagi bidannya kan tidak bisa ini, karena kami sudah dirumahkan,” jelas Yohan.

Jarak rumah sakit dari pedesaan puluhan kilometer, masyarakat desa sudah akrab dengan petugas kesehatan lapangan di pustu maupun puskesmas. Jalinan ini semakin kuat sejak tenaga kesehatan kerap turun ke rumah-rumah di pedalaman saat menangani pandemi COVID-19 lalu.

Yohan, meski seorang apoteker pembantu, saat pandemi COVID-19, harus merangkap berbagai tugas, mulai melakukan rapid test bersama perawat dan bidan di tengah malam, menjadi sopir ambulans untuk membawa jenazah, sampai menguburkannya sesuai SOP jenazah terkonfirmasi COVID-19.

Selain itu, menurut Yohan, beberapa nakes non-ASN baru-baru ini mendapat pelatihan di Jakarta, bahkan ada yang menjadi pemimpin program. Mereka yang paling paham di lapangan dan mengenal warga desa terutama, yang sudah bekerja selama belasan tahun. Absennya mereka sementara ini, kata Yohan, memperlambat kerja beberapa program puskesmas.

Oleh sebab itu, kini Yohan berharap Bupati Manggarai berkenan mengaktifkan kembali para nakes untuk bekerja di puskesmas masing-masing. “Karena banyak masyarakat desa sekarang mengeluh di kami terkait pelayanan yang kurang maksimal, bahkan tidak maksimal sama sekali, karena kurangnya tenaga kesehatan di fasilitas puskesmas dan pustu,” katanya.

Berbeda dengan Yohan, Andreas—bukan nama sebenarnya—masih tetap bekerja membantu penyuluhan kesehatan di desa meski sudah dirumahkan. Sebab, ia tak punya pilihan, program mesti berjalan dan sudah dijadwalkan untuk masing-masing nakes. “Dan sementara ini, kami sudah diterima kembali untuk beraktivitas di puskesmas,” kata Andreas.

Tugas Andreas melakukan penyuluhan menyoal hidup bersih dan penyakit-penyakit yang sedang tinggi kasusnya, salah satunya DBD. Andreas mesti memastikan warga paham untuk tidak membiarkan jentik-jentik hidup di dekat tempat tinggal mereka. Tugas ini, menurut Andreas, tidak mudah karena, di desa tempat ia melakukan penyuluhan, masih banyak masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan rendah.

“Karena kebanyakan ya tamat SD, tapi ada beberapa juga yang tamat SMP, SMA, maupun sarjana, ada beberapa saja, tapi kebanyakan ya tamat SD dengan sampai ada yang tidak tamat SD,” ujar Andreas.

Menurutnya, pekerjaan rumah untuk melakukan penyuluhan kesehatan di Manggarai masih harus terus dilakukan. Sebagai promotor kesehatan masyarakat, ia berharap bisa segera kembali bekerja dengan normal seperti sedia kala. Sebab, di puskesmas, masing-masing nakes saling mengandalkan.

“Harapannya, setelah beraudiensi dengan Pak Bupati, bisa menerima kami kembali untuk bisa bekerja di puskesmas. Harapannya untuk di Kementerian supaya tahun ini kami bisa diakomodasilah dan diangkatlah karena kami sudah mengabdi lama dan bekerja sudah lama. Kami sudah banyak pengalaman di dalam pekerjaan kami sehingga semoga tahun ini kami bisa diangkat oleh pemerintah,” tandas Andreas.

Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Manggarai Thomas Edison Rihimone berharap 249 tenaga kesehatan bisa kembali bertugas. Sebab, menurutnya, pengalaman mereka tak bisa dikesampingkan begitu saja. “Mereka membantu tugas bidan di setiap puskesmas, membantu pemerintah mengatasi stunting, dan mereka garda terdepan pada saat COVID-19,” tuturnya kepada detikX.

Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia Wilayah Nusa Tenggara Timur Amelianus menyerukan hal serupa. “Apalagi mereka sekolah dengan mahal, berpredikat yang profesional, kerja juga secara standar yang diturunkan. Nah, ini mesti ada pertimbangan kebijakan dari pemerintah,” kata laki-laki yang akrab disapa Willy tersebut.

Petugas tenaga kesehatan Manggarai tengah melayani kegiatan posyandu.
Foto : Dok. Istimewa

Menurut Willy, persoalan keluhan nakes seperti di Manggarai ini sebenarnya juga banyak terjadi di daerah lain. Hanya, ini menjadi fenomena gunung es. Yang lainnya masih terpendam karena ketakutan. Padahal mereka berharap ada kebijakan terkait dengan pengabdian mereka selama belasan tahun lamanya.

“Teman-teman (nakes) yang mengabdi kepada bangsa dan negara melalui daerah di Manggarai itu juga harus dipertimbangkan oleh pemerintah pusat, termasuk kami profesi juga demikian, karena kita kan sudah pernah melakukan advokasi sebelum-sebelum ini, kebijakan sudah 10 tahun yang lalu, kalau ya itu perawat, tenaga kesehatan lainnya yang sudah mengabdi 10 tahun ke atas itu menjadi prioritas pertama (untuk PPPK),” terangnya.

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Mohammad Adib Khumaidi memahami betul persoalan kesejahteraan tenaga kesehatan yang marak diperbincangkan. Menurutnya, mesti ada apresiasi terhadap profesi di bidang kemanusiaan tersebut, terutama mereka yang bekerja di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

“Tenaga medis dan tenaga kesehatan itu jam kerjanya nol sampai tak terbatas. Bisa 24 jam dia. Sewaktu-waktu bisa dipanggil. Kalau pegawai jam tiga pulang, pulang. Kalau namanya dokter dan tenaga kesehatan lainnya, kalau dibilang jam tiga pulang, tiba-tiba ada pasien jam 6, kan jadi nggak bisa kan,” kata Adib.

Alhasil, menurutnya, wajar apabila tenaga kesehatan menyampaikan aspirasi terkait kebutuhan hidupnya di masa mendatang. “Karena kepentingan sebuah pekerjaan yang juga nanti akan berdampak pada masalah hajat hidup, ya saya kira wajar kalau kemudian teman-teman (nakes) berdialog dengan DPR dan yang penting ya, apalagi kasus ini sudah menjadi secara nasional, ya harus ada bantuan kepada pemerintah daerah (terkait penyelesaiannya),” tandasnya. 

Saat dihubungi melalui pesan singkat, Bupati Manggarai Herybertus mengatakan sedang mempertimbangkan dan mengkaji untuk mempekerjakan ulang sejumlah nakes. Namun ia belum dapat memastikan berapa jumlah nakes yang tidak jadi dipecat.

"Terkait persoalan nakes ini, saya tidak mau kembali ke belakang lagi. Yang pasti bahwa para nakes sudah minta maaf, saya pun sudah memberi maaf. Terkait ke-249 nakes yang tidak diperpanjang kontraknya ini, Pemkab sedang mengkaji berapa banyak yang akan dipekerjakan kembali untuk menjamin normalnya pelayanan kesehatan di puskesmas, pustu, polindes," kata Herybertus kepada detikX pada Selasa, 23 April 2024.


Reporter: Ani Mardatila, Ahmad Thovan Sugandi
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

Baca Juga+

SHARE