Ilustrasi : Edi Wahyono
Sekitar 20 sampel organ tubuh Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J sedang diteliti satu per satu oleh tim dokter forensik independen di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Pemeriksaan beberapa sampel seukuran ibu jari tersebut dilakukan setelah Yoshua diautopsi untuk kedua pada Rabu pekan lalu di RSUD Sungai Bahar, Jambi.
Tim forensik independen, dipimpin dokter spesialis forensik dan medikolegal yang juga Ketua Umum Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia Ade Firmansyah Sugiharto, memeriksa sampel-sampel itu atas permintaan Bareskrim Polri. Hasil pemeriksaan tim tersebut nantinya akan dijadikan bahan penyidikan kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Yoshua di rumah bosnya, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, Jumat, 8 Juli 2022.
Sebelumnya, Yoshua diautopsi pada hari kematiannya oleh dokter forensik Rumah Sakit Polri. Namun proses autopsi itu diduga terjadi di bawah tekanan. Hal tersebut terindikasi dari beberapa kejanggalan yang ditemukan pihak keluarga Yoshua, dua di antaranya mengenai dugaan adanya luka penyiksaan dengan benda tumpul dan kesalahan identitas pada beberapa dokumen.
Ahmad Thovan Sugandi, reporter detikX, menemui ketua tim forensik independen kasus kematian Yoshua, Dokter Ade Firmansyah, pada sore hari menjelang malam di sebuah warung kecil yang terletak persis di samping rumah duka RSCM, Jumat, 29 Juli 2022, untuk menanyakan perkembangan pemeriksaan jenazah Yoshua.
Ade mengajak reporter detikX berjalan menuju ruangannya, melewati bangsal-bangsal kamar mayat dengan nuansa bangunan lama khas arsitektur era kolonial. Ruangan Ade terletak di ujung deretan bangsal itu.
Berikut petikan wawancara dengan Ade:
Tiga hari menjelang ekshumasi dan autopsi ulang, makam Brigadir J dipagari garis polisi, Minggu (24/7/2022).
Foto : Dok. detikSumut
Kami dari Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia menerima surat permintaan dari Bareskrim Polri mengenai penunjukan ahli untuk autopsi kedua. Pertama, saya mencari dulu orang-orang untuk menjadi tim autopsinya berdasarkan tingkat kompetensi, orang-orang yang saya yakini integritas dan kompetensinya cocok untuk pemeriksaan ini.
Memang ada masukan dan saya baca juga di media bahwa dari penasihat hukum menginginkan harus netral-independen, ada dari dokter TNI juga. Untuk itu, kami juga turut masukkan ke dalam tim, dokter forensik dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Tapi, tetap, pertimbangan utama adalah kompetensi. Kami ingin menunjukkan bahwa kami ini independen.
Baca Juga : Menyisir Ulang Kejanggalan Luka Brigadir J
Kami di perhimpunan, ada semacam mekanisme lima tahunan untuk perpanjangan sertifikat kompetensi. Di sana kami mengumpulkan bukti-bukti terkait pendidikan dan keprofesian. Terkait dengan continuing professional development (CPD).
Kami juga pilih yang kompetensinya terjaga dan beragam, dari perguruan tinggi dan rumah sakit. Ada dari RSCM, Kedokteran Udayana, Andalas. Ada penasihat yang merupakan tiga guru besar: Fakultas Kedokteran UI, Unair, dan Universitas Riau.
Kami bagi tugas, ada yang bagian khusus dokumentasi, di seksi (tindakan memotong atau mengiris), ada yang bagian screening. Masing-masing punya keahlian. Kalau saya sebagai ketua tim dan juga pemeriksa. Semua memiliki peran.
Sebenarnya satu orang mungkin cukup. Tapi, karena ini kasus yang khusus, jadi kami bentuk tim. Nantinya, kan sangat mungkin setiap anggota tim memiliki pandangan yang berbeda atau interpretasi berbeda atas temuan pada jenazah. Ini untuk memperkaya pandangan dan agar hasilnya baik.
Tidak sama sekali. Kami juga belum melihat dan mendapatkan hasil autopsi pertama.
Kami periksa menyeluruh, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Semua bagian diperiksa.
Memang ada perhatian khusus pada informasi-informasi yang kami dapat dari keluarga dan penasihat hukum. Mereka sampaikan beberapa tempat (yang perlu diperhatikan), itu juga jadi perhatian kami. Tapi, secara keseluruhan, kami kerjakan seperti biasa sesuai dengan prosedur.
Kamar jenazah RUSD Sungai Bahar, Muaro Jambi yang menjadi tempat autopsi jenazah Brigadir J, Rabu (27/7/2022).
Foto : Ferdi Almunanda/detikSumut
Tidak, tidak ada. Tidak ada pesan sponsor. Kami kemarin bekerja dengan sangat nyaman. Benar-benar tidak ada intervensi sama sekali.
Iya, kalau autopsi kan sudah selesai di Jambi kemarin. Tapi, untuk mencapai kesimpulan, kita harus membuktikan. Nah, untuk derajat pembuktian, kita harus nilai itu adekuat atau tidak. Jadi, pertama, bukti yang kita temukan harus relevan.
Misal, ada orang mati dengan luka tusuk di dada. Itu ada kekerasan benda tajam. Apakah itu relevan? Relevan. Ada luka, ada bukti kekerasan, dan ada kematian. Tinggal nanti yang relevan itu kita nilai, adekuat apa tidak.
Untuk bisa menilai adekuat atau tidak, kita akan lihat mekanisme kematiannya, luka tusuk di dada tidak selalu bikin mati. Ia menjadi adekuat, misalnya, karena luka tusuk itu mengakibatkan pendarahan sebanyak 20 persen darah atau, misalnya, menyebabkan masuknya udara ke rongga dada dan membuat paru-paru tidak bisa mengembang.
Nah, untuk kemarin kita autopsi, itu kan sudah sulit, ya, kondisinya. Mau tidak mau, kita cari lagi tanda-tanda itu semua di jaringan. Jaringan yang mengalami pendarahan hebat itu efeknya apa, sih? Nah, itu kita lihat di jaringannya. Atau betul tidak mengalami pendarahan? Betul tidak mengalami kekurangan oksigen?
Kami cek ke jaringan dan sel-selnya. Sampel jaringan itu memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Ada yang kena formalin, tapi ada yang sudah mengalami pembusukan. Ada yang keras, ada yang lembek. Sampel itu juga harus difiksasi, diproses, dan itu tidak sebentar.
Sampel yang kami ambil itu kurang lebih sebesar bagian kuku ibu jari, itu kami perlu potong untuk dicek. Bila belum dapat, perlu kami potong ulang. Dari 20 sampel itu, mungkin slide pemeriksaannya itu bisa sampai 50-an. Itu makanya lama.
Kami ketemu beberapa luka, tentunya dengan kondisi jenazah yang sudah mengalami pembusukan. Luka itu akan kami konfirmasi dengan pemeriksaan lebih lanjut di laboratorium. Kami harus pastikan itu betul luka atau bukan. Kalau misal luka, itu kami cek lagi, apakah luka vital atau luka yang terjadi setelah kematian.
Nah, luka setelah kematian ini bisa diakibatkan oleh tindakan pascaautopsi sebelumnya. Kalau luka yang terjadi sebelum kematian, itu ada gambaran intravital, seperti adanya pendarahan dan reaksi jaringan. Autopsi ini kan bedah mayat. Pasti membedah dan menyayat, tetapi luka sayatan autopsi akan berbeda dengan luka sebelum kematian.
Baca Juga : Tembakan Penghabisan untuk Brigadir J
Ibunda dari Brigadir J, Rosti Simanjuntak (kedua kanan) didampingi kerabat mendatangi makam anaknya sebelum proses ekshumasi dan autopsi ulang, Rabu (27/7/2022).
Foto : Wahdi Septiawan/Antarafoto
Terkait perubahan kondisi jenazah setelah kematian, orang awam akan melihat dan menganggapnya sebagai luka sebelum kematian. Misalnya, perubahan seperti adanya lebam mayat, itu bisa terjadi terutama pada jenazah yang mulai mengalami pembusukan. Contohnya pewarnaan (alami) pada jaringan, seperti muncul kemerahan akibat pembusukan sel darah merah.
Secara makroskopik akan terlihat seperti luka, tetapi secara mikroskopik akan berbeda. Kita memang harus teliti lebih lanjut. Untuk autopsi jenazah yang sudah membusuk atau sudah dikuburkan, kita harus hati-hati. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan jenazah yang masih segar. Ini tingkat kesulitannya lebih tinggi.
Saya tidak bisa sebutkan, tapi memang ada beberapa luka yang harus saya teliti lebih lanjut. Untuk jenisnya luka apa, saya belum bisa menyebutkan. Untuk saat ini masih proses.
Reporter: Ahmad Thovan Sugandi
Penulis: May Rahmadi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban