Ilustrasi : Edi Wahyono
Nyaris tengah malam medio 2018, Lia—bukan nama sebenarnya—dan suaminya bergegas menuju Rumah Sakit Elisabeth di Kemang Pratama, Bojong Rawalumbu, Bekasi. Saat itu Lia sedang mengandung anak ketiga. Dia merasakan perutnya mules tidak karuan. Sudah bukaan kelima, kata Lia.
Sesampai di RS Elisabeth, Lia dan suami meminta kepada dokter kandungan agar anaknya dilahirkan dengan metode sectio caesarea—metode persalinan yang lebih dikenal dengan istilah operasi atau bedah caesar. Dia sekaligus ingin mengambil program steril setelah persalinan anak ketiga itu.
Dokter bilang itu bisa saja dilakukan, tapi biayanya tidak akan ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sebab, tak ada indikasi medis yang memastikan agar persalinan anak Lia dilakukan secara caesar.
Baca Juga : Celah Masalah Perut Dibedah
Wakil Ketua I Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Slamet Budiarto.
Foto : Usman Hadi/detikcom
Yang kaya akan lebih mudah memilih. Dia mau (persalinan) normal, mau caesar, atau apa pun, itu terserah. Asuransi selain BPJS pun bisa memilih. Hanya BPJS yang nggak bisa.”
Lia tidak punya pilihan lain. Mau tidak mau, ia memutuskan anak ketiganya lahir dengan metode pervaginam alias persalinan normal. Dia dan suami tak punya cukup uang untuk membayar ongkos caesar secara mandiri.
“Setahu saya, kan BPJS bisa menanggung. Pikir saya sekalian (sterilisasi) pas lahiran. Ternyata tidak bisa,” kata perempuan berusia 37 tahun itu kepada reporter detikX melalui pesan singkat, Jumat, 27 Mei 2022.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf membenarkan bahwa persalinan caesar tanpa indikasi medis tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Meski demikian, ketika ditanya lebih rinci, Iqbal tidak dapat menjelaskan indikasi medis seperti apa yang dimaksud. Dia hanya bilang bahwa pedoman tindakan medis itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Pasal 51 aturan itu berbunyi dokter wajib memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar operasional serta kebutuhan medis pasien. Pada regulasi yang sama pada Pasal 49 juga dikatakan, dokter wajib melakukan kendali mutu dan biaya kesehatan.
“Artinya, ranah penetapan indikasi medis berada di tangan dokter, dengan memperhatikan kewajiban-kewajibannya tersebut,” kata Iqbal melalui pesan singkat.
Pernyataan Iqbal ini seolah menegaskan, sebetulnya ibu hamil peserta BPJS Kesehatan tidak punya hak ataupun kendali untuk memilih metode kelahiran seperti apa yang mereka inginkan. Semua harus sesuai dengan diagnosis dokter. Jika tidak sesuai diagnosis, BPJS Kesehatan tak akan menanggung biayanya.
Hal ini dibenarkan oleh Wakil Ketua I Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Slamet Budiarto. Slamet menyebut metode persalinan caesar dengan fasilitas BPJS Kesehatan tidak bisa dilakukan berdasarkan permintaan pasien. Perlu ada kondisi tertentu, semisal kondisi gawat janin atau darurat persalinan terlebih dahulu untuk mengambil tindakan caesar.
Tanpa itu semua, operasi caesar yang dilakukan dokter tidak akan mendapatkan bayaran dari BPJS Kesehatan. Sebaliknya, dokter malah akan dinyatakan melanggar etika kedokteran jika itu dilakukan. Dokter bakal diberi sanksi. Sanksi ini juga berlaku bagi dokter yang melakukan operasi caesar tanpa indikasi medis kepada nonpeserta BPJS Kesehatan.
“Intinya, semua tindakan, semuapelayanan medis, harus sesuai dengan indikasi medis,” jelas Slamet saat dihubungi reporter detikX pekanlalu.
Tidak jelas juga etika kedokteran mana yang Slamet maksud. Sebab, justru Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) berdasarkan keputusan PB IDI No 221/PB/A-4/04/2022 menyebutkan dokter harus menghormati pilihan pasien. Pasal 7c aturan tersebut berbunyi: dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak sejawat, hak tenaga kesehatan lainnya, dan menjaga kepercayaan pasien.
Pasal itu didalami oleh empat peneliti kesehatan dari Universitas Sriwijaya, Palembang, yaitu Dumilah Ayuningtyas, Ratih Oktarina, Misnaniarti, dan Ni Nyoman Dwi Sutrisnawati. Kesimpulannya, pasal ini telah secara gamblang menyebutkan: dokter seharusnya menghormati pilihan ibu hamil untuk melahirkan dengan metode yang mereka inginkan. Dokter perlu mempertimbangkan untuk menyetujui permintaan tersebut dengan tetap memperhatikan keselamatan pasien.
“Karena pasien mempunyai haknya sendiri untuk menentukan tindakan medis yang akan dilakukan,” bunyi hasil penelitian dalam jurnal bertajuk “Etika Kesehatan pada Kelahiran Melalui Sectio Caesarea Tanpa Indikasi Medis”.
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), yang menaungi dokter-dokter spesialis kebidanan dan kandungan, juga telah menyatakan tindakan sectio caesarea atas permintaan pasien bukanlah satu pelanggaran etika. Namun ada catatannya, yakni dokter sudah menjelaskan risiko operasi caesar dan pasien setuju. Pernyataan ini disampaikan POGI dalam sebuah pertemuan ilmiah tahunan pada Juli 2011.
Ketua Pokja Infeksi Saluran Reproduksi POGI M Alamsyah menjelaskan persetujuan antara pasien dan dokter ini harus didasari juga dengan diagnosis terlebih dahulu. Boleh jadi, permintaan caesar akan ditolak jika dokter melihat adanya potensi risiko yang berbahaya jika calon ibu melahirkan secara caesar.
“Intinya, harus ada informasi yang diberikan oleh dokter kepada pasien terlebih dahulu, tetapi pemilihan metodenya harus didasari atas informasi yang diberikan itu,” tukas Alamsyah.
Masalahnya, hak memilih metode persalinan ini hampir tidak pernah diberikan kepada ibu hamil peserta JKN-KIS. Dosen Program Studi Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Sofia Al Farizi mengatakan peserta JKN-KIS hanya bisa patuh terhadap prosedur yang sudah ditetapkan BPJS Kesehatan.
Apabila dokter merekomendasikan persalinan pasien BPJS Kesehatan dilakukan dengan metode caesar, pasien harus menyetujui rekomendasi itu. Sebab, jika tidak, BPJS Kesehatan tidak akan membayar proses persalinannya.
Sebaliknya, jika dokter merekomendasikan pasien tersebut melahirkan dengan proses pervaginam, pasien pun harus menyetujuinya. Sebab, lagi-lagi, jika tidak disetujui, proses persalinannya tidak akan ditanggung BPJS Kesehatan.
Baca Juga : Jangan Atur Rahimku
Aktivitas di Kantor BPJS Kesehatan Bandung, Selasa (10/3/2020).
Foto : Wisma Putra/detikcom
Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa hak perempuan atau ibu hamil pasien BPJS Kesehatan dalam memilih metode kelahiran jabang bayinya tak lebih dari sekadar fatamorgana. Sebab, hak memilih metode kelahiran di Indonesia rupanya hanya berlaku bagi orang-orang di kalangan tertentu saja.
“Yang kaya akan lebih mudah memilih. Dia mau (persalinan) normal, mau caesar, atau apa pun, itu terserah. Asuransi selain BPJS pun bisa memilih. Hanya BPJS yang nggak bisa,” ungkap Sofia, yang sempat meneliti pelbagai masalah BPJS Kesehatan dalam metode persalinan ini, kepada detikX pekan lalu.
Pernyataan Sofia ini terbukti dalam beberapa kasus persalinan di Indonesia. Misalnya saja, dalam kasus persalinan anak pertama bintang sinetron “Ratapan Anak Tiri” Kesha Ratuliu. Anak Kesha bernama Baby Qwenzy dikabarkan lahir dengan metode caesar di RS Ibu dan Anak Bina Medika, Bintaro, tanpa indikasi medis sama sekali.
Alasan Kesha memilih metode persalinan ini adalah operasi caesar memakan waktu lebih singkat ketimbang persalinan normal. Kesha takut suaminya, Adhi Permana, tidak bisa mendampinginya selama masa persalinan jika ia melahirkan dengan metode pervaginam. Dia tidak siap mental untuk jauh dari Adhi.
Karena itu, dia pun memilih persalinan caesar. Atas alasan itu, dokter di RS Ibu dan Anak Bina Medika menyetujui permintaan Kesha. Akhirnya anak Kesha pun lahir pada “tanggal cantik” 12 Desember 2021 dengan metode yang dia inginkan.
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia Erfen Gustiawan Suwangto memandang apa yang dilakukan Kesha dan dokter RS Ibu dan Anak Bina Medika tidaklah salah secara hukum. Sebab, dalam hal ini, keduanya telah sepakat dengan segala risiko yang ada. Lagi pula Kesha membayar sendiri biaya caesar-nya. Tidak ada yang dirugikan.
Kasusnya akan berbeda jika itu dilakukan oleh pasien BPJS Kesehatan. Hak memilih pasien BPJS Kesehatan, kata Erfen, dibatasi oleh peraturan. Jika dokter menyepakati permintaan yang demikian kepada pasien BPJS Kesehatan, keduanya bakal dikenai sanksi hukum. Sebab, dalam hal ini, subjek hukum yang ikut terlibat bukan lagi hanya pasien dan dokter saja, tetapi juga negara sebagai regulator.
“Karena, kalau dia itu pasien BPJS, dia menggunakan dana negara, dana rakyat, jadi nggak boleh sembarangan,” jelas Erfen kepada reporter detikX pekan lalu.
Pernyataan Erfen ini pun semakin mempertegas adanya pembatasan hak atas nama hukum bagi para peserta BPJS Kesehatan. Realitas pembatasan hak ini memperlihatkan adanya ketimpangan pelayanan rumah sakit dan keberpihakan negara terhadap ibu hamil peserta BPJS Kesehatan dengan ibu hamil nonpeserta BPJS Kesehatan.
Karena itu, komisioner Komnas Perempuan Retty Ratnawati pun memandang perlu adanya diskusi ulang terkait pembiayaan BPJS Kesehatan terhadap metode persalinan, baik itu caesar maupun pervaginam. Nantinya, dalam diskusi ini, BPJS diharapkan juga dapat mempertimbangkan hak perempuan, khususnya ibu hamil, untuk memilih metode kelahirannya sendiri, terlepas dari ada atau tidaknya indikasi medis tertentu.
Sebab, faktanya, banyak juga alasan nonmedis bagi para calon ibu untuk lebih memilih persalinan caesar ketimbang vaginal. Misalnya, kesiapan mental, kekhawatiran akan waktu persalinan vaginal yang memakan waktu lama, dan takut merasakan sakit persalinan normal. Kemudian, ada juga alasan takut mengalami luka atau trauma pada jalan lahir, takut trauma pada persalinan pervaginam akibat keguguran berulang, dan suami atau keluarga yang tidak tega melihat nyeri persalinan yang dialami pasien.
Faktor-faktor ini, khususnya faktor psikis, perlu menjadi pertimbangan lain bagi BPJS Kesehatan untuk juga menanggung biaya persalinan caesar. Walau demikian, Retty juga mengingatkan agar pertimbangan atas hak perempuan ini juga jangan sampai kebablasan sehingga membebani keuangan BPJS Kesehatan seperti yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan.
Istilahnya, bebas tapi juga bukan tanpa batas. Dengan demikian, pelayanan BPJS Kesehatan bagi ibu hamil maupun pasien lainnya pun diharapkan menjadi jauh lebih baik di masa mendatang.
“Jadi idealnya bisa dibicarakan bersama-sama (antara peserta BPJS Kesehatan, dokter atau rumah sakit, dan regulator) untuk mencari win-win solution,” tukas Retty.
Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto, May Rahmadi, Rani Rahayu
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban