Ilustrasi : Edi Wahyyono
"Ha-ha-ha…. Sebenarnya istilah itu, ha-ha-ha…," begitu respons pertama dr Alamsyah Aziz, SpOG, ketika mendengar sebutan dokter 'pro-caesar' dan 'pro-normal' yang berkembang di masyarakat. Dia tertawa, kemudian membantah. "Istilah itu nggak ada."
Alamsyah adalah seorang dokter kandungan yang juga Ketua Kelompok Kerja Infeksi Saluran Reproduksi. Dia juga menekuni bidang ilmiah di Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI).
Menurutnya, istilah pro-caesar dan pro-normal itu tidak dikenal di kalangan profesional. Dia menduga istilah itu muncul karena mungkin adanya perbedaan opini di kalangan dokter dalam melihat kondisi pasien. Menurutnya, itu hal wajar.
"Semua kembali ke hubungan (kepercayaan) antara dokter dan pasien," katanya. "Silakan pasien melakukan second opinion. Jadi antara satu dokter dan dokter lain bisa saja berbeda."
Baca Juga : Belenggu Aturan Persalinan Caesar
Potret Nafsiah Mboi, mantan Menteri Kesehatan yang meminta para dokter tidak mudah memberikan rekomendasi operasi caesar untuk pasien.
Foto : Lamhot aritonang/detikcom
Kalau sectio caesarea (SC) itu, sederhananya, bikin dokter lebih mudah. Mereka tidak perlu melakukan observasi yang terlalu panjang. Tinggal mereka SC, selesai SC, bisa langsung pindah ke rumah sakit lain. Lalu SC lagi."
Sebutan dokter pro-caesar dan pro-normal berkembang dan mudah ditemui di percakapan masyarakat, forum ibu hamil di internet, dan media sosial. Bagi yang menginginkan persalinan normal atau pervaginam, mereka tidak mau mendapatkan dokter yang 'pro-caesar' atau cenderung mendukung tindakan persalinan sectio caesarea. Istilah itu ada seperti mitos. Tidak jelas maksudnya, tetapi dipercaya.
Gulang Wicaksono, warga Jawa Barat, adalah salah satu yang mempercayainya. Dia berpendapat dokter pro-caesar adalah dokter yang selalu ingin praktis dalam melayani persalinan ibu hamil. "Mungkin dokter yang nggak mau ribet. Penginnya cepat saja. Kalau caesar, kan, tinggal bedah perut, sementara kalau normal, harus menunggu lama," kata dia.
Pada pertengahan April lalu, Gulang baru saja menemani istrinya melahirkan secara caesar. Dia mengaku sebenarnya sang istri mau melahirkan normal. Namun dokter menyuruh caesar karena ketuban istri sudah pecah lebih dari 24 jam.
Dengan kondisi itu, Gulang mengaku tidak diberi opsi lain. "Kami tidak ditawari induksi (perangsangan) sama sekali. Daripada berisiko, ya sudah, ikuti dokter saja," katanya.
Label pro-normal dan pro-caesar kerap digunakan banyak ibu hamil dan keluarganya sebagai cara untuk memilih dokter. Mereka yang ingin persalinan normal akan mencari dokter yang dikenal pro-normal.
Dosen Kebidanan Universitas Airlangga Sofia Al-Farizi, SKeb, Bd, MKes mengatakan, memang ada dokter yang ingin cepat melayani pasien hingga menerobos keilmuan. Padahal, kalau sesuai dengan ilmu yang ada, persalinan paling utama adalah persalinan pervaginam atau biasa dikenal dengan persalinan normal.
"Kalau sectio caesarea (SC) itu, sederhananya, bikin dokter lebih mudah. Mereka tidak perlu melakukan observasi yang terlalu panjang. Tinggal mereka SC, selesai SC, bisa langsung pindah ke rumah sakit lain. Lalu SC lagi," kata Sofia kepada reporter detikX pekan lalu.
Dalam penelitian Sofia yang dilakukan pada 2018, dua dokter kandungan mengakui bahwa persalinan caesar lebih menguntungkan. Penelitian itu berjudul ‘Studi Komparasi Karakteristik Kematian Ibu Sebelum dan Selama Jaminan Kesehatan Nasional di Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut Kabupaten Banyuwangi'.
“Ya, memang, daripada melakukan observasi 24 jam cuma dapat Rp 100 ribu, lebih baik SC cuma 2 jam tapi dapatnya lebih banyak,” kata salah satu dokter seperti tercantum dalam penelitian tersebut.
Sementara itu, dokter lainnya memandang, “Kalau persalinan normal tidak dihargai (jasanya), ya larinya pasti ke SC, yang penggantian jasanya lebih besar."
Permasalahan persalinan caesar ini diutarakan mantan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pada 2012. Kala itu, setelah melihat tingginya angka persalinan caesar, Nafsiah meminta para dokter tidak mudah memberikan rekomendasi operasi caesar untuk pasien. Waktu itu belum ada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Tapi, berdasarkan data PT Askes, jumlah tindakan sectio caesarea sangat tinggi, sampai melebihi batasan yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
Ketika memasuki era BPJS pada 2014, Nafsiah mengatakan tren persalinan caesar justru semakin buruk. “Kemudian kita lihat waktu ada BPJS, angkanya meningkat,” kata Nafsiah kepada reporter detikX pekan lalu.
Bukan hanya itu, eks Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pun sempat menyinggung hal serupa. Pada 2019, Terawan mengungkapkan tingginya angka operasi caesar bahkan turut berkontribusi pada defisit BPJS Kesehatan. Menurutnya, itu terjadi karena potensi fraud dalam pelaksanaan operasi caesar.
Persalinan dengan operasi caesar perlu dikurangi karena memiliki risiko lebih besar daripada persalinan normal. Pada 2015, WHO menyebut persalinan caesar dapat memberikan dampak komplikasi, cacat, sampai kematian.
Data BPJS Kesehatan yang diambil dari fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjut menunjukkan, pada 2021, terjadi peristiwa persalinan sebanyak 2.462.669. Dari angka tersebut, 41,34 persen atau 1.018.113 di antaranya adalah persalinan melalui operasi caesar.
WHO merekomendasikan seluruh negara menekan angka persalinan dengan menggunakan metode sectio caesarea. WHO mengimbau, jumlah tindakan caesar di suatu negara tidak lebih dari 15 persen dari jumlah persalinan. Jika menggunakan standar tersebut pada 2021, seharusnya persalinan dengan metode caesar hanya 369.400 kasus.
Ketua Kelompok Kerja Infeksi Saluran Reproduksi dr Alamsyah Aziz, SpOG, memandang data itu tidak bisa digunakan sebagai dasar evaluasi karena hanya menggambarkan peristiwa persalinan yang terjadi pada pasien BPJS Kesehatan. Hal tersebut tidak mencerminkan seluruh populasi. Sebab ada pasien persalinan yang tidak menggunakan BPJS Kesehatan.
Potret eks Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang pernah menyinggung tingginya angka operasi caesar berkontribusi terhadap defisit BPJS Kesehatan.
Foto : Rengga Sancaya/detikcom
“Harus dilihat data community based. Data dari BPJS Kesehatan itu kan hospital based,” kata Alamsyah. “Kalau (dari data community based) ternyata hasilnya memang tindakan sectio caesarea sangat tinggi, mungkin memang harus dievaluasi. Pertama masalah rujukannya, kemudian masalah tindakannya, perawatannya, dan sebagainya.”
Sialnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tidak memiliki data yang dimaksud Alamsyah. Tiga pejabat Kemenkes menyatakan hal serupa: data yang paling lengkap adalah milik BPJS Kesehatan. Mereka adalah Sekretaris Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Azhar Jaya, Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Siti Khalimah, serta Kepala Subdirektorat Pelayanan Medik dan Keperawatan Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes Nani Hidayanti Widodo.
"Kami tidak punya datanya," kata Azhar Jaya kepada reporter detikX pekan lalu.
BPJS Kesehatan menggandeng Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB) dalam upaya menekan angka persalinan caesar. Ketua TKMKB Adang Bachtiar mengatakan setidaknya ada dua permasalahan yang menyebabkan tingginya angka persalinan caesar.
Pertama, buruknya sistem pelayanan kesehatan primer (faskes pertama). Adang menjelaskan, ada masalah kualitas tenaga kesehatan di faskes pertama. Dokter umum dan bidan yang berada di sana tidak cukup mumpuni dalam mendeteksi high risk seorang ibu hamil.
"Ketika sudah pada posisi yang sangat susah, baru dirujuk ke RS rujukan, sudah sangat terlambat, sehingga keputusannya harus sectio caesarea," kata Adang kepada reporter detikX pekan lalu.
Hal lain yang menjadi soal adalah rendahnya bayaran yang didapat bidan. Menurut Adang, para bidan tidak mendapatkan biaya persalinan yang cukup. Padahal, secara teknis, persalinan normal di bidan lebih sulit dan memakan waktu lebih lama daripada persalinan caesar.
Para bidan yang membantu persalinan normal hanya diupah Rp 600 ribu. Meski nilai nominal itu dibayarkan oleh BPJS Kesehatan, angkanya ditetapkan oleh pemerintah.
"BPJS tidak salah, yang salah pemerintah. Karena kenapa tidak menentukan biaya yang cukup?" kata Adang. "BPJS, kan, hanya juru bayar."
Permasalahan kedua yang berkontribusi meningkatkan jumlah operasi caesar adalah fraud yang dilakukan nakes. Adang menyebut ada dokter-dokter yang bekerja tidak sesuai standar. Para dokter itu melakukan tindakan caesar tanpa berdasarkan indikasi medis yang jelas.
Baca Juga : Jangan Atur Rahimku
Adang menjelaskan sebenarnya POGI sudah membuat standar tersebut, yang dibuat berdasarkan sistem klasifikasi Robson. Namun pemerintah tidak menguatkan standar itu dalam Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK).
"Sampai sekarang PNPK-nya belum ada terkait persalinan terutama persalinan sectio caesarea. Kan, mestinya ada," kata dia. "Mestinya regulator untuk jaminan kesehatan nasional itu jauh lebih responsif terhadap kebutuhan pelayanan kesehatan yang terkendali mutunya dan terkendali biayanya."
Itu sebabnya, menurut Adang, para dokter yang melakukan fraud juga tidak bisa disalahkan. "Intinya sistem perlu dibangun dengan baik. Salah satunya PNPK itu," kata Adang.
Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes Siti Khalimah mengatakan Kemenkes tidak bisa menerbitkan PNPK yang dimaksud. Sebab, PNPK tidak bisa berbasis pada tindakan.
"PNPK itu basic-nya penyakit atau diagnosis. Sedangkan sectio itu tindakan. Jadi sectio tidak bisa dibuat PNPK. Yang bisa dibuat adalah penyakit-penyakit atau kondisi-kondisi apa yang memerlukan sectio," katanya.
Kemenkes sudah memiliki PNPK Tata Laksana Komplikasi Kesehatan Kehamilan. Pedoman tersebut terbit pada 2017. Namun permasalahan fraud pada persalinan caesar masih terus dibahas hingga saat ini.
Reporter: May Rahmadi, Rani Rahayu, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: May Rahmadi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban