Ilustrasi : Edi Wahyono
Senin, 16 Mei 2022“Nyiit… nyiit... nyiit…” hingga kini, Gusti Rosaline masih saja dihantui oleh suara ngilu giginya itu. Artis yang biasa dipanggil Oca itu menderita dampak buruk pemasangan veneer ke tukang gigi. Rasa sakitnya luar biasa, dibarengi bau busuk yang keluar dari mulut, serta gusinya yang terus-menerus mengeluarkan darah.
Ingatan itu terasa masih segar, setiap hari menghampirinya, seperti kawan lama. Padahal sudah lewat lima tahun kejadian memilukan itu berlalu.
Itu semua bermula dari ambisi Oca memiliki gigi yang dianggap cantik. Sebelumnya, tak ada keluhan atau kerusakan apa pun pada giginya. Namun, akibat ambisinya, akhirnya ia memutuskan menjalani prosedur veneer. Veneer adalah prosedur estetika perawatan gigi yang dilakukan dengan merekatkan cangkang tipis menyerupai gigi pada permukaan gigi. Prosedur medis ini sangat populer dan biasa digunakan untuk menutupi keretakan atau ingin mengubah warna gigi.
Baca Juga : Jangan Main-main dengan Tukang Gigi
Gigi Gusti Rosaline semula, sebelum pemasangan veneer. Setelahnya, beragam masalah mulai bermunculan.
Foto : doc. istimewa
Berbekal rekomendasi dari temannya, akhirnya pada 2017 ia melakukan prosedur veneer di salah satu klinik gigi di bilangan Antasari, Jakarta Selatan. Ia mengeluarkan kocek Rp 2 juta per biji gigi ke Dokter Gigi Opet—bukan nama sebenarnya.
Kalau liat fotoku dan ingat pengalamanku dulu, aku pasti nangis. Bentuknya sudah runcing-runcing semua, kayak syaiton nirojim.”
Sayang, tidak sampai 24 jam, beberapa veneer-nya lepas. Dia kelimpungan. Sebab, saat itu ia berada di Singapura.
Sepulang dari Negeri Singa, akhirnya ia minta pertanggungjawaban Opet. Dia marah lantaran sudah mengeluarkan puluhan juta rupiah tapi gigi cantiknya hanya bertahan kurang dari sehari.
Opet akhirnya sepakat mengembalikan uang Oca, meski hanya 90 persen dari total biaya veneer.
Ambisi Oca belum padam. Tanpa bekal riset dan hanya mengandalkan rekomendasi dari kawannya, Oca memasang veneer. Namun kali ini di tukang gigi Dewo—bukan nama sebenarnya.
Gigi Gusti Rosaline ketika bermasalah. Dia tak menyadari jika di balik veneer, giginya telah dibuat runcing.
Foto : doc. istimewa
Awalnya, Oca tidak tahu Dewo adalah seorang tukang gigi. Perjumpaan pertama Oca dengan Dewo adalah di rumah Oca di kawasan Jakarta Selatan.
Kali ini Oca mengeluarkan kocek Rp 1,5 juta per gigi. Selama pertemuan dengan Dewo, tak ada kecurigaan sama sekali dalam benak Oca. Di mana pun Oca berada, Dewo siap mengerjakan gigi Oca. Mulai di rumah hingga di lokasi syuting, Dewo siap datang untuk mengerjakan kebutuhan veneer. Bahkan Oca juga sempat mengunjungi tempat Dewo praktik, yang berlokasi di Jakarta Pusat.
Gigi Oca yang sudah di-veneer akhirnya rampung sekitar tiga minggu. Namun, kurang dari hitungan seminggu setelahnya, keluar bau busuk dari mulut. Selain itu, timbul rasa nyeri yang luar biasa dan darah terus-menerus keluar dari gusi.
Jangankan untuk makan, Oca sama sekali tidak bisa menggerakkan mulutnya. Dia tidak bisa apa-apa selain meminta kepada Sang Khalik agar tidak meregang nyawanya. “Aku berdoa, ya Allah, jangan cabut nyawaku,” katanya lirih.
Keesokan harinya, gusi Oca terasa ngilu dan sakit gigi semakin parah. Oca memutuskan memeriksakan gigi ke Dokter Gigi Jessica Freddy, yang berlokasi di Tebet, Jakarta Selatan.
Dokter Jessica akhirnya membongkar veneer Oca. Ketika veneer dibuka, seluruh gigi Oca tajam menyerupai taring. Seketika, Oca menangis sambil menjerit. Dia tak percaya kondisi asli giginya kini terlihat ringkih, runcing, dan berjarak.
“Kalau liat fotoku dan ingat pengalamanku dulu, aku pasti nangis. Bentuknya sudah runcing-runcing semua, kayak syaiton nirojim,” ujarnya.
Dokter Jessica kemudian membersihkan dan menghentikan pendarahan pada gigi Oca. Menurutnya, kondisi awal gigi Oca tidak memerlukan veneer. Sebab, untuk mencerahkan warna saja, bisa dilakukan pemutihan atau bleaching gigi.
Sementara itu, rasa ngilu yang luar biasa, menurut Dokter Jessica, muncul akibat dari pengikisan gigi Oca yang terlalu banyak. Lapisan email gigi terkikis terlalu banyak.
Mau tak mau, Oca harus kembali di-veneer untuk menutupi kondisi giginya yang memprihatinkan. Selama proses penyembuhan, Oca memakai gigi tiruan sementara karena tak pede dengan kondisi asli giginya.
Selama masa penyembuhan itu, ia baru tahu Dewo bukanlah dokter gigi. Ia kemudian meminta pertanggungjawaban Dewo. Awalnya Dewo tak mengakui kesalahannya. Proses yang ditempuh Oca untuk meminta pertanggungjawaban sempat alot. Namun Dewo akhirnya setuju untuk mengembalikan 95 persen uang Oca, dengan cara mencicil.
Dalam kurun waktu sebulan, gigi Oca sudah kembali sehat, proses veneer juga telah rampung. Meski gigi Oca sudah kembali sehat, hingga kini kader Partai NasDem itu masih sering dibayangi rasa sakit dan penyesalan. “Kalau ingat kejadian itu, hatiku sakit. Total aku ngeluarin duit dari awal sampai sembuh itu ratusan juta rupiah. Penyesalan banget sekarang,” katanya kepada reporter detikX.
Tim detikX telah berupaya untuk menghubungi tukang gigi Dewo, tapi ternyata ia telah tutup usia.
Pada pertengahan 2019, Rumi Ananda berhari-hari tak bisa tidur. Giginya ngilu. Gusi gigi atas bagian depan membengkak. Mulutnya mengeluarkan bau tak sedap.
Pikirnya, ini semua adalah buntut dari ulah tukang gigi yang ia datangi sejak duduk di SMK kelas II. Saat itu, hampir seluruh kawan perempuannya memakai behel. Akhirnya ia memutuskan juga memakai behel, meski sedari awal giginya telah rapi, dan tak perlu memakai behel.
Rumi memasang behel di Ikhsan Dental, Tangerang, tak jauh dari rumahnya dengan kocek Rp 200 ribu pada 2014. Pemasangan langsung dilakukan saat pertemuan pertama dengan memakan waktu 2 jam.
Setelah memasang behel, timbul sariawan hampir di seluruh gusi bagian atas. Rumi memang hanya memasang behel di bagian atas giginya.
Kamu untung langsung ke dokter gigi. Kalau nggak, gigi depan kamu bisa ompong.
Sebulan sekali, Rumi rutin kontrol ke tukang gigi untuk mengganti karet behel. Namun, setelah itu, gigi Rumi terus-terusan terasa ngilu dan sariawan tak kunjung sembuh. Tak tahan, dalam jangka tiga bulan, Rumi memutuskan melepas behel di tukang gigi langganannya.
Biaya melepas behel sebesar Rp 50 ribu. Ia kapok memakai behel lagi. Setelah melepas behel, awalnya tak ada dampak apa pun pada giginya. Hingga pada 2018, seluruh gigi atas bagian depan menjadi keropos, menghitam, dan mulutnya mengeluarkan bau tak sedap.
Suatu hari, ketika Rumi sedang memakan makanan alot, salah satu gigi tengah bagian atas patah setengah. Dia akhirnya kembali menyambangi Ikhsan Dental untuk menambal giginya.
Tanpa masker dan sarung tangan medis, Ikhsan menambal gigi Rumi. Satu tahun kemudian, gusi tempat gigi Rumi ditambal membengkak, bau busuk yang keluar dari mulut Rumi juga kian menyengat.
Semakin hari gigi Rumi semakin nyeri. Akhirnya ia memutuskan berobat ke puskesmas dekat rumahnya. Dokter gigi yang bertugas melihat kerusakan gigi yang diderita Rumi telah parah, sehingga dirujuk ke klinik gigi yang memiliki alat lebih lengkap.
Di Dokter Gigi Agusnidar, tambalan gigi Rumi dibuka. Bagian gusi yang membengkak pun diobati. Ternyata, di dalamnya, telah mendekam banyak nanah.
“Kamu untung langsung ke dokter gigi. Kalau nggak, gigi depan kamu bisa ompong. Saking banyaknya nanah, bisa-bisa (kalau lama dibiarkan) kamu ke bedah mulut,” kata Rumi menirukan Dokter Agusnidar.
Rumi akhirnya melakukan perawatan saluran akar bekas gusi yang membengkak. Untuk menghemat biaya, ia merawat akar selama empat bulan di rumah sakit dengan menggunakan kartu BPJS Kesehatan.
Setelah melakukan perawatan akar, menurut dokter, dua gigi depan bagian atas rumi yang telah rusak seharusnya dipasangi mahkota atau crown gigi. Crown gigi adalah metode pemasangan selubung gigi yang membungkus di atas gigi yang telah rusak. Fungsinya melindungi gigi dari kerusakan yang makin parah serta dapat mengembalikan bentuk, ukuran, dan kekuatan gigi.
Biaya pemasangan crown gigi sebesar Rp 3,5 juta per gigi. Namun, karena terbentur biaya, hingga kini Rumi masih menundanya sembari mengumpulkan uang.
Rumi kini terpaksa hidup dengan gigi bagian atas depan yang keropos kehitaman. Hingga kini ia tak pernah kembali lagi ke tukang gigi, bahkan tidak pernah komplain sekali pun.
“Aku nggak ada pikiran untuk protes dan balik lagi ke tukang gigi. (Aku) mikirnya memang salah aku. Ngapain coba ke ahli gigi,” tuturnya kepada reporter detikX.
Tukang gigi Ikhsan menampik tuduhan Rumi. Menurutnya, ketika merasa sakit gigi setelah melakukan penambalan gigi dengannya, Rumi seharusnya kembali ke kios Ikhsan.
“Kalau ada apa-apa, harusnya ke saya. Dia waktu itu nggak balik lagi ke saya. Kalau ada komplain, pasti dibenerin (giginya),” ujar Ikhsan kepada reporter detikX.
Ikhsan berprofesi sebagai ahli gigi sejak 1977. Dia merantau dari kampung halamannya di Madura ke Tangerang. Sejak itu pula, ia tak pernah menerima komplain satu pun dari pasiennya. “Dari dulu nggak pernah ada komplain. Kalau ada masalah, pasti saya betulkan giginya,” kata dia.
Pria berusia 65 tahun itu mengaku telah mewariskan ilmunya kepada anak dan keponakannya. Ia juga tergabung dalam Serikat Tukang Gigi Indonesia (STGI). Dia mengaku menyediakan layanan tambal gigi, cabut gigi, pemasangan gigi palsu, dan behel. Pemasangan behel Ikhsan banderol Rp 350-500 ribu. Setiap bulan Ikhsan dapat meraup keuntungan Rp 3-5 juta.
Padahal, dengan begitu, ia menyalahi Permenkes Nomor 39/2014 tentang Pembinaan, Pengawasan, dan Perizinan Pekerjaan Tukang Gigi. Dalam aturan itu, tukang gigi hanya diperbolehkan membuat dan memasang gigi tiruan lepasan sebagian dan/atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic yang memenuhi ketentuan persyaratan kesehatan.
Dari pemantauan detikX, mudah sekali mendapatkan peralatan veneer dan behel di marketplace. Kebutuhan pemasangan behel dijual mulai harga Rp 10 ribu hingga Rp 700 ribu, lengkap dengan peralatannya. Sedangkan untuk paket usaha veneer dijual dengan harga Rp 350-500 ribu.
ilustrasi sakit gigi.
Foto : detikHealth
Merebaknya tren mempercantik gigi, seperti veneer dan behel, menyebabkan menjamurnya penyedia jasa tersebut. Mulai tukang gigi, ahli gigi, hingga salon kecantikan.
Padahal memasang veneer dan behel harus punya kompetensi khusus. Demi mendapat pelanggan, tukang gigi, ahli gigi, dan salon kecantikan tak segan mempromosikan hasil kerjaan mereka di media sosial.
Beberapa dokter gigi jengkel melihat aksi mereka. Sebab, mereka sering mendapat pasien limpahan tukang gigi atau salon kecantikan yang telah rusak parah.
Akhirnya, pada 2017, beberapa dokter gigi menginisiasi akun Korban Tukang Gigi (Kortugi). Mereka mengkampanyekan kesehatan gigi dan mengulas foto promosi hasil pengerjaan behel dan veneer buah dari tukang gigi atau salon kecantikan—yang prosedurnya jelas menyalahi standar medis.
“Dulu kami lihat hasil pengerjaan yang ngawur itu dari rekan-rekan (dokter gigi). Semakin ke sini, justru kami makin mudah temukan layanan perawatan gigi yang tidak sesuai prosedur dari medsos mereka. Jadi mereka mendokumentasikan perawatan gigi yang salah dan justru makin merusak gigi. Cuma, mereka nggak ngerti,” ujar Ketua Kortugi drg Riefqy Al Haris kepada reporter detikX.
Lima tahun belakangan ini, Kortugi menerima puluhan ribu laporan tukang gigi abal-abal, dengan jumlah laporan harian 10-20. Dari gigi yang rusak akibat pemasangan behel dan veneer yang asal-asalan hingga laporan meninggal karena pemasangan gigi palsu yang tak sesuai dengan prosedur.
Padahal, berdasarkan Permenkes Nomor 39/2014, selain lingkup layanan tukang gigi hanya membuat dan memasang gigi tiruan berbahan heat curing acrylic, setiap bulan mereka juga diwajibkan melapor ke dinas kesehatan.
Sayangnya, pada praktiknya, banyak tukang gigi yang menyimpang dari payung hukum tersebut. Mereka melayani pembuatan behel, veneer, scaling, tambal gigi, cabut gigi, hingga pembuatan gigi palsu dengan bahan self curing acrylic daripada heat curing acrylic.
Self curing acrylic adalah pembuatan gigi tiruan ketika pasta dari gigi palsu berbahan akrilik yang belum mengeras langsung ditempelkan ke gusi satu per satu gigi, kemudian mengeras seiring berjalannya waktu.
Akibatnya, gigi palsu tersebut bersifat permanen, dan tidak bisa dilepas. Dengan kondisi begitu, gigi tidak bisa dibersihkan secara menyeluruh. Sisa-sisa makanan akan menumpuk, kemudian akan menyebabkan bau mulut. Pasta gigi palsu yang telah mengeras akan menekan gusi karena proses polimerisasi.
“Misalnya ada benda yang melukai, benda itu tidak dihilangkan, lukanya kan jadi terus-menerus. Itulah keganasannya, fatalnya di situ. Ada dokumentasi yang Kortugi arsipkan itu, karena gigi palsu self curing acrylic, dia meninggal karena pencabutan,” terang drg Rifqie.
Gigi palsu berbahan self curing acrylic dianggap lebih menguntungkan dan praktis dibanding dengan heat curing acrylic. Sebab, melalui self curing acrylic, tukang gigi dapat langsung memasang gigi dan praktis mendapat uang.Sedangkan heat curing acrylic mesti melalui proses bertahap, seperti mengukur gigi, mencetak gigi dengan bahan akrilik, kemudian melalui proses pemanasan dengan cara direbus.
Baca Juga : Asuransi Bikin Kapok?
Dampak buruk juga diderita Ambarwati. Karena gigi depan bagian atasnya patah lantaran makan kerupuk, akhirnya ia memasang gigi palsu di tukang gigi keliling. Si tukang gigi membius dan mencabut gigi Ambarwati menggunakan bor mini yang biasa digunakan untuk kebutuhan perkakas serta tanpa memakai masker dan sarung tangan medis.
Serba salah kami. Permenkes ada, sedangkan pemerintah nggak aktif memperhatikan kami. Jadi kami serbabingung.
Darah bekas gusi yang dicabut belum berhenti mengalir, tapi si tukang gigi sudah memasangkan gusi Ambar dengan gigi palsu tanpa membersihkannya. Lama-kelamaan keluar bau tak sedap dari mulut Ambar. Gigi kanan dan kiri sebelah gigi palsunya pun keropos dan menghitam.
Dokter Rifqie prihatin atas banyaknya pelanggaran yang ditemukan di akun-akun tukang gigi dan salon kecantikan dalam sterilisasi.
“Ketika pandemi saat ini, bisa dibandingkanlah standar sterilisasi dan keamanan dengan dokter gigi: pakai hazmat, face shield. Bisa dibandingkan dengan tukang gigi, beautician (sebutan untuk tukang salon), yang mengerjakan veneer dengan alat yang minimalis banget,” ujarnya.
Ditambah banyaknya peralatan yang kegunaannya seharusnya untuk kalangan profesional saja. Menurutnya, tukang gigi kerap menggunakan etsa asam untuk veneer. Padahal dokter gigi saja menggunakan bahan itu hanya boleh dalam waktu 10-20 detik, lalu dibilas sampai bersih.
Di atas itu semua, jelas tukang gigi yang nakal dan beautician telah melanggar Permenkes Nomor 39/2014 dan UU 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Sayangnya, peraturan tinggal peraturan. Ketua Serikat Tukang Gigi Indonesia Hamdhani Prayogo mengeluhkan pemerintah yang seolah mengabaikan profesi tukang gigi. Ia mengaku pemerintah tak pernah mengawasi, bahkan melakukan pelatihan, terhadap dirinya dan kawan-kawan sejawatnya.
“Serba salah kami. Permenkes ada, sedangkan pemerintah nggak aktif memperhatikan kami. Jadi kami serbabingung. Di Permenkes serba-ini-itu, sedangkan pemerintah aja gitu,” ujarnya kepada reporter detikX.
Tim detikX juga telah berupaya menghubungi Persatuan Dokter Gigi Indonesia terkait merebaknya korban tukang gigi. Namun, hingga artikel ini dirilis, detikX tak kunjung mendapatkan respons.
Reporter: May Rahmadi, Rani Rahayu
Penulis: Rani Rahayu
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Dieqy Hasbi Widhana