INVESTIGASI

Jangan Main-main dengan Tukang Gigi

Tukang gigi merupakan alternatif karena biayanya murah, tetapi berisiko tinggi. Pemerintah dianggap setengah hati dalam melakukan pengawasan dan pembinaan tukang gigi.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Selasa, 17 Mei 2022

Kursi dental berwarna putih telur tampak reyot di ruangan berukuran sekitar 2x2 meter. Ada banyak bercak karat di bagian rangkanya. Di ruangan itu, Tono—bukan nama sebenarnya—seorang tukang gigi di Jakarta Barat, melayani para pasien dengan beragam masalah gigi.

Dia lebih sering membuat dan memasang gigi palsu. Namun beberapa tindakan medis pernah Tono lakoni juga.

"Kalau tambal (gigi) itu, saya cuma yang (tambal) sementara saja. Nggak permanen, gitu, maksudnya," kata Tono kepada reporter detikX.

Selain tambal gigi, Tono juga bisa memasang behel seperti layaknya dokter gigi. Praktiknya telah dia jalani bertahun-tahun, meski tidak memiliki pendidikan formal mengenai perawatan gigi.

Tentu tak semua pasien merasa puas terhadap kerjanya. Tono pernah mendapat keluhan dari beberapa pasien. Salah satunya mengenai kenyamanan setelah pemasangan gigi palsu.

"Misalnya, pasang gigi palsu, nggak enak. Makan jadi nggak enak. Itu jadi keluhan utama saat pasang gigi," katanya. Tono menolak menyebutkan bahan gigi palsu yang dia buat.

Tono tergabung dalam Serikat Tukang Gigi Indonesia (STGI). Sertifikat STGI terpampang di tempat praktiknya.

Ratusan tukang gigi demo tolak RUU KUHP di Gedung DPRD Jabar, Kota Bandung, Kamis (26/9/2019).
Foto : Dony Indra Ramadhan/detikcom

Ikhsan, tukang gigi di Tangerang, yang juga tergabung dalam STGI, punya kemampuan yang lebih dari Tono. Bukan hanya pasang gigi palsu, pasang behel, dan tambal gigi, Ikhsan mengaku mampu melakukan cabut gigi. Dia telah malang melintang membuka praktik di berbagai kota, antara lain Madura, Kediri, dan Bandung.

"Kalau ada komplain, pasti dibenerin," kata Ihsan.

Praktik tukang gigi menjamur di berbagai tempat. Sebagian dari mereka menggunakan plang 'ahli gigi'. Secara hukum, pemerintah hanya mengakui profesi 'tukang gigi', bukan 'ahli gigi'. Itu pun dengan kewenangan yang sangat terbatas, yaitu membuat gigi palsu yang bisa dilepas dan memasangnya.

Ketua STGI Hamdani Prayogo memperkirakan, ada 10-15 ribu tukang gigi di Indonesia. Namun yang memiliki legalitas hanya 4.000 sampai 5.000. Legalitas ini berarti tercatat sebagai anggota STGI.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan, Perizinan, dan Pengawasan Tukang Gigi, seorang tukang gigi hanya akan mendapat izin praktik dari dinas kesehatan setempat jika memiliki rekomendasi dari organisasi profesi tukang gigi. Sampai saat ini, STGI adalah satu-satunya organisasi profesi tukang gigi yang resmi atau tercatat di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Alternatif yang Berisiko

Tukang gigi menjadi alternatif karena biayanya yang lebih murah dibanding dokter gigi. Sebagian merasa puas, tapi tak sedikit pula yang dirugikan. Salah satu korbannya Ani Sidiq. Dia pernah dua tahun memasang behel gigi, tapi tak ada perubahan. Setelah diperbaiki ulang, susunan giginya malah memburuk.

“Sekarang gigiku malah kalau senyum agak miring gitu. Aku pengin konsultasi ke dokter gigi, cuma takut mahal,” kata Ani kepada reporter detikX.

Begitu juga dengan Gusti Rosaline dan Rumi Ananda. Alih-alih mempercantik gigi dengan memasang veneer—cangkang tipis untuk melapisi bagian depan gigi—tukang gigi justru membuat mulut Gusti bermasalah: mengeluarkan bau busuk dan darah dari gusi.

"Kalau ingat pengalamanku dulu, aku pasti nangis," kata Gusti.

Sementara itu, Rumi mengalami pembengkakan pada gusi dan bernanah, sehingga mengeluarkan bau busuk. Beberapa tahun sebelumnya, dia memasang behel di tukang gigi. "Aku nggak ada pikiran untuk protes dan balik lagi ke tukang gigi. Aku mikirnya memang salah aku. Ngapain coba ke ahli gigi,” kata Rumi.

Berbagai korban tersebut bermunculan karena tukang gigi yang bekerja melampaui kewenangannya. Ketua STGI Hamdani Prayogo menjelaskan seharusnya tukang gigi hanya membuat dan memasang gigi palsu lepasan, bukan melakukan prosedur veneer, memasang behel, dan sebagainya. Ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan, Perizinan, dan Pengawasan Tukang Gigi.

"Kalau dokter itu tindakan medis. Kalau kita, kan, tindakan nonmedis," kata Hamdani. "Semua yang dilakukan (selain membuat dan memasang gigi palsu), itu oknum."

Hamdani pun mengaku telah mewanti-wanti seluruh anggotanya agar taat pada aturan pemerintah. Jika ada anggota STGI yang melampaui kewenangan tukang gigi, Hamdani mengatakan organisasi yang dipimpinnya tidak akan bertanggung jawab.

Demonstasi Serikat Tukang Gigi Indonesia menolak RUU KUHP di Gedung DPRD Jabar, Kota Bandung, Kamis (26/9/2019).
Foto : Dony Indra Ramadhan/detikcom

"Saya sudah bilangin, hati-hati!" katanya.

Di Indonesia, pemerintah sempat ingin meniadakan praktik tukang gigi melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1871 Tahun 2011 tentang Pekerjaan Tukang Gigi. Regulasi ini mencabut Permenkes sebelumnya, yang melegitimasi keberadaan profesi ini. Dalam regulasi tersebut, merujuk pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pemerintah mencabut kewenangan tukang gigi karena dianggap menggunakan alat dan melakukan pekerjaan yang terkesan seperti dokter.

Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi membatalkan norma hukum tersebut pada 2012. Beberapa pertimbangan MK, antara lain, norma tersebut berlaku untuk dokter gadungan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi profesi tukang gigi, pemerintah tidak bisa menghapus suatu pekerjaan tanpa memberikan pekerjaan lainnya, keberadaan tukang gigi sudah ada lebih dahulu daripada dokter gigi, dan pemerintah tidak bisa menjamin masyarakat dapat menjangkau biaya pengobatan dokter gigi.

Di sisi lain, MK menyadari adanya permasalahan kesehatan atas praktik tukang gigi. Oleh sebab itu, MK mengamanatkan Kementerian Kesehatan melakukan pembinaan, perizinan, dan pengawasan terhadap tukang gigi.

Kendati begitu, Hamdani Prayogo menyatakan para tukang gigi tidak merasakan pembinaan dan pengawasan dari Kemenkes. Menurutnya, pemerintah seperti mengabaikan. Apalagi pada saat pandemi, tidak pernah ada pembinaan.

"Tukang gigi itu dibiarkan saja sejak 2019-an. Belum ada pengawasan dan pelatihan," katanya. "Sebelum itu, paling hanya diberi pelatihan satu tahun sekali."

Kepala Biro Hukum Kemenkes Indah Febrianti menjelaskan, dalam Permenkes 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan, Perizinan, dan Pengawasan Tukang Gigi, amanat pembinaan dan pengawasan diberikan kepada Direktorat Jenderal Tenaga Kesehatan. Aturan itu membuat pemerintah terlibat dalam fenomena korban tukang gigi, meskipun tukang gigi bukanlah tenaga kesehatan.

“Kita tidak bisa lepas dengan adanya fenomena tukang gigi,” katanya. Menurut Indah, aturan itu sudah sangat rinci. Tinggal implementasinya yang perlu diperkuat.

Indah tidak bisa menjelaskan pembinaan dan pengawasan selama ini yang dilakukan Kemenkes terhadap tukang gigi. Indah menyebut Kepala Bagian Hukum dan Administrasi Umum Direktorat Jenderal Tenaga Kesehatan Novica Mutiara-lah yang bisa menjelaskan hal tersebut.

Namun Novica menolak permintaan wawancara yang diajukan reporter detikX. “Saya rasa cukup dari Bu Indah saja,” katanya.


Reporter: May Rahmadi, Rani Rahayu, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: May Rahmadi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE