INVESTIGASI

Banjir Dolar di Senayan

Kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP hampir setengah dari nilai proyeknya, Rp 2,3 triliun. Uang dolar pun dibagi-bagi di DPR.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Sabtu, 11 Maret 2017

Niat Marzuki Alie mengadukan Andi Narogong dan dua terdakwa kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (e-KTP), Irman dan Sugiharto, sudah bulat. Pengakuan ketiganya di depan penyidik KPK dirasa Marzuki sudah menyinggung kehormatannya. Namanya diseret-seret sebagai penerima duit haram proyek e-KTP.

Jumat, 10 Maret 2017, Marzuki pun melenggang ke kantor sementara Badan Reserse Kriminal Mabes Polri di kompleks Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat. Berulang kali ia mengaku tak kenal Andi Narogong dan tak mengurusi proyek pengadaan e-KTP semasa menjabat Ketua DPR periode 2009-2014. Tiba-tiba saja namanya tertera dalam surat dakwaan dua terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP, Irman dan Sugiharto.

“Terus terang saya kan punya keluarga, saya punya sahabat, saya punya anak-anak didik. Kan jelas ini telah menghina saya secara pribadi. Kehormatan saya betul-betul terhina,” ujarnya kesal.

Sidang dakwaan kasus dugaan korupsi e-KTP yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jalan Bungur Raya, Jakarta Pusat, Kamis, 9 Maret lalu, memang memunculkan banyak kejutan. Dokumen dakwaan setebal 121 halaman tersebut membeberkan nama-nama anggota DPR yang menerima aliran duit korupsi proyek jumbo senilai Rp 5,9 triliun itu.

Baca Juga : Ajaib Setya Novanto

Gamawan Fauzi
Foto : Agung Pambudhy/detikcom


Rapat-rapat e-KTP yang dimulai raker dengan Mendagri tanggal 5 Mei 2010 serta rapat dengar pendapat dengan Sekjen dan Dirjen tanggal 21 Mei 2010, saya tidak pernah hadir.”

Marzuki hanya salah satu dari daftar penerima setoran duit e-KTP. Masih ada 24 anggota DPR lainnya yang tertera dalam dakwaan itu. Sedangkan 35 anggota Komisi II DPR periode 2009-2014 yang diduga juga menerima uang tidak disebutkan namanya.

Bagi-bagi duit proyek e-KTP sendiri mulai dilakukan sejak pelaksanaan proyek ini mendapat dukungan dari tingkat fraksi Partai Golkar dan Partai Demokrat, dua fraksi yang memiliki suara menentukan di DPR pada masa itu.

Pada Mei 2010, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Mustoko Weni, memperkenalkan Andi Narogong kepada beberapa anggota Komisi II DPR sebagai pengusaha calon pelaksana proyek e-KTP. Pertemuan ini digelar sebelum rapat dengar pendapat Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di kompleks DPR, Senayan, Jakarta. Andi memastikan sejumlah uang kepada anggota DPR dan pejabat Kemendagri.

Janji ini mulai dijalankan sekitar September-Oktober 2010. Andi menebar uang ke sejumlah anggota DPR di ruang kerja Mustoko Weni. Politikus Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, kebagian US$ 800 ribu, yang diserahkan dua kali, yakni US$ 500 ribu dan US$ 300 ribu.

Sebagian uang ini dipakai untuk kepentingan Kongres Partai Demokrat di Bandung, diserahkan kepada politikus Partai Demokrat Khatibul Umam Wiranu sebanyak US$ 400 ribu dan kepada Ketua Fraksi Partai Demokrat Jafar Hafsah sebesar US$ 100 ribu, yang kemudian dibelikan mobil Toyota Land Cruiser.

Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah
Foto : Agung Pambudhy/detikcom

Selain Anas, sejumlah anggota dan pimpinan Komisi II turut mendapat uang, yakni Arief Wibowo sebanyak US$ 100 ribu, Chairuman Harahap sebesar US$ 550 ribu, Ganjar Pranowo sebanyak US$ 500 ribu, Agun Gunandjar Sudarsa sebesar US$ 1 juta, Mustoko Weni sebesar US$ 400, Ignatius Mulyono sebesar US$ 250 ribu, Taufik Effendi US$ 50 ribu, dan Teguh Juwarno sebesar US$ 100 ribu.

Penyerahan uang untuk mendapat dukungan dari Komisi II DPR pun dilanjutkan menuju Badan Anggaran DPR. Andi menyerahkan uang kepada pimpinan Banggar, yakni Melchias Marcus Mekeng, sebesar US$ 1,4 juta serta Mirwan Amir dan Olly Dondokambey masing-masing US$ 1,2 juta. Selain itu, Tamsil Linrung mendapat uang US$ 700 ribu.

Sebelum memasuki masa reses pada Oktober 2010, Andi kembali menyerahkan uang US$ 500 ribu kepada Arief Wibowo untuk dibagikan kepada rekan-rekan Komisi II DPR. Uang ini pun dibagikan dengan perincian Ketua Komisi II sebesar US$ 30 ribu, tiga orang Wakil Ketua Komisi II masing-masing US$ 20 ribu, sembilan ketua kelompok fraksi pada Komisi II DPR masing-masing US$ 15 ribu, dan dibagikan kepada 37 anggota Komisi II dengan besaran mulai US$ 5.000 sampai US$ 10 ribu.

Aliran duit e-KTP tak berhenti pada 2010. Setelah mengantongi izin pelaksanaan kontrak tahun jamak (multi years) dari Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Herry Purnomo pada 17 September 2011, uang ke DPR terus mengalir.

Dalam izin kontrak tahun jamak bernomor S-26/ MK.2/ 2011 tersebut ditentukan anggaran penyediaan jaringan komunikasi dalam rangka penerbitan NIK dan penerapan KTP berbasis NIK secara elektronik sebesar Rp 5,95 triliun. Perinciannya, pada 2011 sebesar Rp 2,29 triliun dan pada 2012 sebesar Rp 3,66 triliun.

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly
Foto : Martahan Sohuturon/CNN Indonesia

Rencana pemberian uang kembali dilakukan pada akhir Februari 2011 untuk kepentingan penganggaran di DPR. Andi menyiapkan uang Rp 520 miliar, yang akan diserahkan ke berbagai fraksi di DPR. Perincian uang tersebut adalah Partai Golkar dan Demokrat masing-masing Rp 150 miliar, PDIP Rp 80 miliar, partai lainnya sebesar Rp 80 miliar, Marzuki Alie sebesar Rp 20 miliar, Anas Urbaningrum sebesar Rp 20 miliar, dan Chairuman Harahap sebesar Rp 20 miliar.

Saat rapat Kemendagri dengan Komisi II pada Mei 2011, Chairuman meminta uang kepada Achmad Fauzi, Direktur Quadra Solution, selaku konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), pemenang lelang e-KTP. Permintaan ini disampaikan melalui anggota Komisi II DPR, Miryam S. Haryani, sebesar US$ 100 ribu untuk kepentingan kunjungan kerja komisinya. Achmad menyanggupi permintaan ini.

Serah-terima uang kembali terjadi saat pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kementerian Dalam Negeri tahun 2012 pada rentang Agustus-September 2011. Miryam kembali menerima uang Rp 1 miliar yang disiapkan oleh Sugiharto.

Keterlambatan cetak blangko e-KTP pun menjadi ujung dari serah-terima uang. Konsorsium PNRI tak dapat memenuhi tenggat cetak e-KTP pada Maret 2012. Karena itulah Gamawan mengusulkan penambahan anggaran melalui APBN Perubahan 2012 sebesar Rp 1 triliun. Anggaran ini dibahas melalui Komisi II DPR.

Persetujuan ini ada harganya. Anggota Komisi II DPR, Markus Nari, meminta uang Rp 5 miliar. Permintaan ini hanya disanggupi oleh Anang S. Budiharjo, perwakilan konsorsium PNRI, sebesar Rp 4 miliar. Permintaan penambahan anggaran tak lolos.

Gedung DPR
Foto : Lamhot Aritonang/detikcom

Permintaan penambahan anggaran ini kembali muncul saat pembahasan APBN 2013 pada Agustus 2012. Miryam meminta Rp 5 miliar untuk dibagikan kepada anggota Komisi II DPR. Mereka yang menerima antara lain empat pimpinan Komisi II DPR, yakni Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Teguh Juwarno, dan Taufik Effendi, masing-masing US$ 25 ribu.

Sembilan kelompok fraksi di Komisi II DPR menerima masing-masing US$ 14 ribu. Sedangkan 50 anggota Komisi II DPR menerima US$ 8.000.

Panjangnya deretan nama penerima dana kasus dugaan korupsi e-KTP yang tertera di dakwaan ini terang saja membuat semua pihak terkejut. Satu per satu mantan dan anggota DPR membantah mendapat jatah uang dugaan korupsi e-KTP.

Ganjar Pranowo, yang kini duduk sebagai Gubernur Jawa Tengah, membantah adanya duit yang mengalir ke kantongnya. Ia mengaku tak kenal dengan Andi Narogong, yang gencar menebar uang di parlemen demi proyek e-KTP.

“Nggak (kenal Andi Narogong). Saya ditanya waktu menjadi saksi, dimintai keterangan KPK. Persis pertanyaanmu itu. Dikasih fotonya malah, kenal nggak yang namanya Andi Narogong. Baru tahu jadi saksi itu,” ujarnya.

Teguh Juwarno pun membantah seluruh transaksi yang ditudingkan kepadanya. Ia menganggap kronologi penyerahan uang di ruangan Mustoko Weni janggal karena terjadi pada rentang September-Oktober 2010. Padahal Mustoko Weni meninggal pada 8 Juni 2010.


Infografis: Luthfy Syahban

Aktivitas Teguh di Komisi II sendiri hanya sampai 21 September 2010. Ia dipindahkan ke Komisi I. Menurutnya, dalam dokumen yang ditunjukkan penyidik KPK saat diperiksa menjadi saksi, tidak ada bukti kehadirannya dalam rapat penambahan anggaran e-KTP pada Oktober-November 2010.

“Rapat-rapat e-KTP yang dimulai raker dengan Mendagri tanggal 5 Mei 2010 serta rapat dengar pendapat dengan Sekjen dan Dirjen tanggal 21 Mei 2010, saya tidak pernah hadir. Saya masuk panja pertanahan, sedangkan e-KTP masuk panja Kemendagri,” tuturnya.

Dari dalam Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Anas membuat surat bantahan atas tudingan ikut mencicipi uang e-KTP itu. Dia menyebut “sebuah fitnah pada waktunya akan kembali kepada pelakunya”. “Keterangan yang tidak benar (fitnah), berdasarkan dendam atau (mungkin) pesanan, jelas tidak layak,” katanya.

Namun KPK terus mengembangkan kasus ini. Penyidik menelusuri indikasi tindak pidana pencucian uang. Daftar nama penerima uang pun terus dikembangkan. “Itu selalu yang akhir-akhir ini dilakukan KPK,” ujar Ketua KPK Agus Rahardjo.

Potensi kerugian negara atas kasus ini mencapai Rp 2,3 triliun. Terdakwa Irman didakwa memperkaya diri sebesar Rp 2,3 miliar, US$ 877 ribu, dan Sin$ 6.000. Sedangkan Sugiharto memperkaya diri sendiri sebesar US$ 3,4 juta.

Meski mereka yang dituding menerima uang e-KTP itu ramai-ramai membantah, kenyataannya ada pengembalian uang proyek KTP yang diduga dikorupsi tersebut ke KPK. Perinciannya, Rp 220 miliar dari korporasi dan konsorsium serta Rp 30 miliar dari perorangan. Sayang, siapa saja nama-nama yang telah mengembalikan uang itu masih tersembunyi hingga kini.


Reporter: Ibad Durohman, Elza Astari Retaduari, Angling Adhitya Purbaya, Aryo Bhawono
Penulis: Aryo Bhawono
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Investigasi mengupas isu panas terbaru yang mendapat perhatian besar publik secara mendalam. Isu ini mencakup politik, hukum, kriminal, dan lingkungan.

SHARE