INVESTIGASI
KORUPSI E-KTP
Pemenang lelang proyek e-KTP sudah diatur jauh sebelum tender dibuka. Hampir separuh anggaran dijadikan bancakan.
Ilustrasi: Edi Wahyono
Irman tak merasa ada yang istimewa dengan tamu yang tengah bertandang di ruangannya di kantor Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), Jalan Taman Makam Pahlawan Kalibata Nomor 17, Jakarta Selatan. Lelaki di hadapannya memperkenalkan diri sebagai Andi Agustinus, pemilik CV Wijaya Kusuma, yang ingin ikut serta dalam tender pengadaan KTP elektronik.
Ia lupa kapan tepatnya pertemuan itu, namun saat itu sekitar sebulan setelah iklan tender pengadaan e-KTP dipampang di media masa pada 2010. Selaku Pelaksana Tugas Dirjen Dukcapil, Irman hanya mempersilakan Andi mengikuti proses pendaftaran tender.
“Iya, itu awal-awal bertemu dulu, biasa saja. Kan namanya pengusaha cari peluang. Cuma sudah dijawab Irman, ‘Silakan ikuti proses lelang.’ Tidak ada yang salah,” kata pengacara Irman, Susilo Ari Wibowo.
“Kesaktian” Andi baru tampak ketika Irman berurusan dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat soal urusan penganggaran proyek bernilai Rp 5,9 triliun itu. Ketua Komisi II DPR saat itu, Burhanuddin Napitupulu, memanggil Irman. Ia menegaskan anggaran proyek pengadaan e-KTP akan diurus Andi Narogong, nama panggilan Andi Agustinus.
Andi sudah lihai berurusan dengan anggota DPR. Setelah ditunjuk oleh Burnap—nama sapaan Burhanuddin Napitupulu—ia mengajak Irman bertemu dengan Setya Novanto. Menurut dia, Setya Novanto-lah yang menentukan persetujuan anggaran selaku Ketua Fraksi Partai Golkar.
Dua terdakwa kasus tindak pidana korupsi pengadaan e-KTP, Sugiharto (kiri) dan Irman, menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (27/3).
Foto: Sigid Kurniawan/Antara Foto
“Pokoknya masalah e-KTP saya dukung sepenuhnya.”
Setya NovantoAndi, Setnov—nama akrab Setya Novanto—dan Irman pun lantas bertemu di ruang Ketua Fraksi Partai Golkar di Gedung Nusantara I, kompleks DPR, MPR, dan DPD, Senayan, Jakarta. Setnov, seperti tertulis dalam berkas dakwaan Irman dan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Sugiharto, menyatakan fraksinya mendukung pelolosan anggaran proyek e-KTP.
Pertemuan membahas proyek KTP elektronik ini berlanjut di Hotel Gran Melia, Jakarta. Setnov mengumpulkan pejabat Kemendagri, termasuk Irman. Pejabat lainnya yang datang dalam pertemuan singkat di Gran Melia adalah Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraini dan Sugiharto. Pertemuan hari itu hanya berjalan sekitar 10 menit. Sebab, Novanto segera pamit karena banyak agenda yang harus dijalaninya.
“Bu Diah, Pak Irman, saya hari ini ada banyak acara sehingga saya tidak bisa lama, hanya bisa bertemu sebentar. Pokoknya masalah e-KTP saya dukung sepenuhnya,” kata Setnov. Setelah dukungan Golkar “diamankan”, Andi bergerilya merayu Partai Demokrat. Lobi ke Fraksi Partai Demokrat dilakukan lewat Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan Bendahara Umum Muhammad Nazaruddin.
Surat dakwaan kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP dengan tersangka Irman dan Sugiharto menyebutkan mereka merancang anggaran e-KTP tak kurang dari Rp 5,9 triliun. Rencananya, anggaran ini akan dipangkas 49 persen, yakni untuk anggota Komisi II DPR (5 persen atau Rp 261 miliar), pejabat Kemendagri (7 persen atau Rp 365,4 miliar), Setnov dan Andi (11 persen atau Rp 574,2 miliar), Anas dan Nazaruddin (11 persen), serta keuntungan rekanan (15 persen atau Rp 783 miliar). Sedangkan anggaran untuk pekerjaan riil hanya 51 persen atau Rp 2,6 triliun. Pekerjaan ini akan dilakukan oleh perusahaan negara agar mudah diatur.
Mantan Sekjen Kemendagri Diah Anggraini
Foto: dok. Antara Foto
Terdakwa kasus e-KTP Sugiharto
Foto: Hasan Alhabshy/detikcom
Pelicin itu mulai digelontorkan pada September-Oktober 2010. Andi menebar uang kepada sejumlah anggota DPR di ruang kerja Mustoko Weni, anggota DPR dari Golkar. Politikus Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, kebagian US$ 800 ribu dalam dua tahap, yakni US$ 500 ribu dan US$ 300 ribu.
Bukan hanya untuk Anas, berdasarkan berkas Irman dan Sugiharto, anggota parlemen dari Partai Demokrat yang tengah menggelar kongres di Bandung 2010 turut menikmati pelicin proyek e-KTP. Andi menyerahkan kepada politikus Partai Demokrat, Khatibul Umam Wiranu, sebanyak US$ 400 ribu dan Ketua Fraksi Partai Demokrat Jafar Hafsah sebesar US$ 100 ribu.
Uang “pelumas” proyek KTP elektronik juga mengalir deras ke sejumlah anggota dan pimpinan Komisi II, Badan Anggaran, serta sembilan ketua fraksi DPR. Mereka yang menikmati “pelumas” itu, menurut berkas dokumen Irman dan Sugiharto, antara lain Arief Wibowo sebanyak US$ 100 ribu, Ganjar Pranowo sebanyak US$ 500 ribu, Agun Gunandjar Sudarsa sebesar US$ 1 juta, serta pimpinan Badan Anggaran, yakni Melchias Marcus Mekeng sebesar US$ 1,4 juta, Mirwan Amir dan Olly Dondokambey sebesar US$ 1,2 juta.
Bak Robin Hood bagi-bagi uang hasil mencuri, Andi yang “murah hati” kembali bagi-bagi “rezeki” dari proyek e-KTP setelah mengantongi izin pelaksanaan kontrak tahun jamak dari Dirjen Anggaran Herry Purnomo pada 17 September 2011. Dalam izin kontrak tahun jamak bernomor S-26/ MK.2/ 2011 tersebut ditentukan anggaran kontrak tahun jamak Penyediaan Jaringan Komunikasi dalam Rangka Penerbitan NIK dan Penerapan KTP Berbasis NIK Secara Elektronik sebesar Rp 5,95 triliun. Perinciannya, pada 2011 sebesar Rp 2,29 triliun dan pada 2012 sebesar Rp 3,66 triliun.
Andi menyiapkan uang Rp 520 miliar yang akan diserahkan ke fraksi-fraksi di DPR. Perinciannya, Partai Golkar dan Demokrat masing-masing mendapat jatah Rp 150 miliar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan partai lainnya sebesar Rp 80 miliar, Marzuki Alie sebesar Rp 20 miliar, Anas Urbaningrum sebesar Rp 20 miliar, dan Chairuman Harahap sebesar Rp 20 miliar.
Ketua DPR Setya Novanto memberikan keterangan pers sehubungan dengan kasus e-KTP di gedung DPR, Jakarta.
Foto: Lamhot Aritonang/detikcom
Kelihaian Andi mengurusi proyek e-KTP tak hanya di DPR. Pemilik CV Wijaya Kusuma ini turut mengatur “strategi” lelang proyek e-KTP. Untuk merancang patgulipat proyek, dia minta bantuan dua orang, Direktur PT Java Trade Utama Johanes Richard Tanjaya dan Husni Fahmi. Andi meminta Johanes menyewa kamar di Hotel Sultan agar gampang berkoordinasi seusai rapat dengar pendapat antara Kementerian Dalam Negeri dan Komisi II DPR.
Untuk rapat lanjutan, Andi menyarankan memakai kantornya di Graha Mas Fatmawati Blok B Nomor 33-35, Jakarta Selatan. Tim Fatmawati ini membentuk tiga konsorsium sebagai peserta lelang, yakni Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), Konsorsium Astragraphia, dan Konsorsium Murakabi Sejahtera. Skenarionya, Konsorsium PNRI akan jadi pemenang lelang.
Untuk melicinkan jalan skenario tim Fatmawati, “pelumas” kembali digelontorkan Andi. Dia menitipkan US$ 775 ribu kepada Sugiharto untuk dibagikan kepada enam anggota panitia lelang dan beberapa pejabat Kementerian. Masing-masing anggota panitia mendapat US$ 25 ribu. Jatah ketua panitia, Drajat Wisnu Setyawan, sebesar US$ 75 ribu. Jatah untuk Irman, Diah, dan Sugiharto tentu tak boleh dilupakan. Menjelang pengumuman lelang, Drajat kembali menemui Andi di Fatmawati. Andi menyerahkan uang US$ 650 ribu.
Agar lelang “aman dan lancar”, Andi terus menggelontorkan setoran ke Medan Merdeka Utara, tempat Kementerian Dalam Negeri berkantor. Selain setoran tambahan lewat Sugiharto, Andi mengirim “amplop” untuk Menteri Gamawan. Pertengahan Juni 2011, Andi memberikan uang US$ 2,5 juta kepada Azmin Aulia. Azmin merupakan saudara Gamawan. Dua pekan lalu Gamawan membantah kabar itu. “Doakan saya dikutuk jika saya terima uang e-KTP,” kata dia.
Pada Kamis, 23 Maret lalu, Andi dijemput paksa KPK. Petugas komisi antikorupsi itu menemukan uang US$ 200 ribu dalam tas plastik yang ditentengnya. Sebelumnya, penyidik menjeratnya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP. Dalam dokumen berita acara pemeriksaan, Andi membantah semua pertemuan yang tertera dalam dakwaan Irman dan Sugiharto itu. Ia mengaku tak pernah menemui Diah di luar ruang kerjanya. Dia juga mengaku tak kenal Burhanuddin Napitupulu, Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap, maupun Nazaruddin.
Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi (tengah) bersama mantan Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap memberikan keterangan dalam sidang dugaan korupsi proyek E-KTP.
Foto: Adhi Wicaksono/CNN Indonesia
Soal Setnov, ia mengatakan pernah bertemu sekali di Kafe Tee Box menjelang pemilu. Pertemuan itu terkait rencana pemesanan atribut pemilu untuk Partai Golkar. “Namun akhirnya tidak terjadi kesepakatan terkait dengan pemesanan atribut kampanye oleh Saudara Setya Novanto kepada saya,” kata Andi dikutip dalam dokumen tersebut.
Setnov juga berkelit. Dalam dokumen pemeriksaan yang diperoleh detikX, tertulis Setya Novanto mengaku tak tahu-menahu mengenai proyek e-KTP. Proyek ini hanya jadi perbincangan di Komisi II DPR saja. “Saya tidak pernah mendapat laporan dari anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar tentang permasalahan proyek e-KTP,” ujarnya dalam dokumen itu.
Namun mantan Sekjen Kemendagri Diah Anggraini mengaku, saat pelantikan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan pada 2013, ia bertemu dengan Setnov. Saat itu, Diah dibisiki Setnov untuk menyampaikan pesan kepada Irman bahwa keduanya tak saling mengenal.
Reporter: Ibad Durohman, Gresnia Arela F.
Penulis: Aryo Bhawono
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Fuad Hasim
Rubrik Investigasi mengupas isu panas terbaru yang mendapat perhatian besar publik secara mendalam. Isu ini mencakup politik, hukum, kriminal, dan lingkungan.