Ilustrasi: detikcom
Senin, 30 September 2024“Ibu sama sekali tidak mengerti, mengapa masih saja ada orang-orang yang tega menyiksa dan membunuh sesamanya. Lebih-lebih mereka sebangsa setanah air. Kasihan Bung Karno.”
Begitu ucap Fatmawati, istri mantan Presiden Sukarno, saat dimintai pendapatnya tentang Gerakan 30 September 1965 kepada wartawan senior Kadjat Adrai di rumahnya, di Jalan Cilandak V No.10, Cilandak, Jakarta Selatan, awal 1970-an. Curhatan Bu Fat, sapaan akrab Fatmawati, itu dituangkan Kadjat Adrai dalam bukunya ‘Suka Duka Fatmawati Sukarno’ terbitan Yayasan Bung Karno pada 2008.
Bung Karno sebagai pemimpin bangsa dan negara tak bosan-bosannya menganjurkan agar persatuan dan kesatuan bangsa dinomorsatukan di atas kepentingan pribadi maupun golongan. Tapi di lain pihak ada kelompok tertentu yang senantiasa memperbesar api perpecahan atas dasar semangat menghancurkan. “Di mana letak kearifan mereka kalau begitu?” tanya Fatmawati entah ditujukan kepada siapa.
Ketika peristiwa penculikan dan pembunuhan 6 petinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD), Fatmawati tengah dirawat secara intensif di Wisma Siliwangi III, Bandung, Jawa Barat, pada 30 September 1965. Dia sengaja tidak dikabari tragedi berdarah itu, karena khawatir kesehatannya bertambah buruk.
Tapi, akhirnya, Fatmawati mendengar juga gugurnya Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat), Mayor Jenderal Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi), Mayor Jenderal Mas Triodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan), Mayor Jenderal Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen).
Fatmawati Sukarno.
Foto : Repro Buku Suka Duka Fatmawati Sukarno
Secara fisik mereka punya hati, tapi secara kejiwaan, ibu anggap mereka tak punya nurani. Ya, apa gunanya menganggap diri memiliki perasaan kalau kenyataannya tidak hadir napas cinta di dalamnya.”
Kemudian Brigadir Jenderal Donal Isac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik) dan Brigadir Jenderal Sutoyo SIswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal AD). Yang kesemuanya diculik dan dibunuh oknum pasukan Cakrabirawa (resimen pengawal presiden) pimpinan Letnan Kolonel Untung Syamsuri.
Berita yang dirahasiakan kepadanya itu terungkap, ketika Rahmawati, Sukmawati, dan Guruh datang menjenguknya dengan menumpang helikopter. Fatmawati kaget dan sedih menerima kabar kematian para petinggi di TNI AD tersebut. Sebagai ibu negara, Fatmawati pun merasa kecewa karena dibohongi semuanya.
“Apa kejujuran tidak berharga lagi bagi kalian semua?” tegur Bu Fat kepada semua orang, termasuk Dalimin Ronoatmojo, sang Komandan Regu di Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden yang mengawalnya.
Dalimin kelabakan. Padahal sebelumnya ia sudah mewanti-wanti kepada ketiga anak Bung Karno untuk tak menceritakan tragedi berdarah tersebut. Bukan tanpa alasan Dalimin merahasikannya, karena kekhawatiran kabar itu malah membuat Fatmawati syok dan kesehatannya makin memburuk.
‘Akhirnya ibu mendengar juga, kan?” ucap Bu Fat kepada semuanya yang terlihat bungkam. “Akhirnya, seperti kalian lihat sendiri, ternyata ibu tidak syok seperti yang kalian takutkan,” sambung Bu Fat kala itu.
Beberapa tahun kemudian, Kadjat Adrai, wartawan senior yang memang dikenal dekat dengan keluarga Bung Karno menanyakan peristiwa G30S kembali. Pandangan mata Fatmawati menerawang jauh ke depan. Dengan helaan nafas yang panjang, Fatmawati mengatakan, para pelaku yang terlibat sangat tidak memiliki hati. Padahal Tuhan telah menganugerahi manusia dengan kejernihan pikiran dan akal budi yang baik, tapi malah berbuat dengan seburuk-buruknya.
“Secara fisik mereka punya hati, tapi secara kejiwaan, Ibu anggap mereka tak punya nurani. Ya, apa gunanya menganggap diri memiliki perasaan kalau kenyataannya tidak hadir napas cinta di dalamnya,” ungkapnya.
Fatmawati menilai G30S sebagai upaya kudeta dan Bung Karno merasa ditusuk dari belakang. Kesalahan Bung Karno terlalu yakin dengan kharismanya. Terlalu yakin dengan orang-orang di sekitarnya yang dianggap mencintainya dengan tulus, benar-benar memiliki tanggung jawab moral yang tinggi dalam mengembangkan kesatuan dan persatuan bangsa.
Ketika ditanya kenapa Bung Karno tak mau membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI), padahal masyarakat menghendakinya, Fatmawati tak menjawab secara lugas. Dia mengajak semuanya untuk kembali mengetahui betul siapa Bung Karno, pandangannya sebagai manusia dan bapak bangsa, dan ikatan batinnya sebagai penggali Pancasila.
“Tanpa lebih dahulu tahu persis siapa Bung Karno, orang-orang akan salah tafsir terhadap semua tindakannya yang dianggap sebagai suatu kekeliruan atau kesalahan. Waktu itu Bung Karno, kan, meminta rakyat tenang. Rustig, rustig, rustig (tenang/santai), agar Bung Karno dapat memutuskan sebaik-baiknya,” jawab Bu Fat.
Presiden Sukarno diapit Jenderal Abdul Haris Nasution dan Jenderal Soeharto.
Foto : dok Perpusnas.png
Kadjat bertanya lagi, apakah sikap Bung Karno yang lamban memutuskan soal pembubaran PKI karena masih menghitung untung-ruginya. “Bagaimana mungkin?” jawab Bu Fat dengan cepat.
Fatmawati ingat betul suaminya seringkali menegaskan bahwa demi pengabdian kepada tanah air, bangsa, dan negara, jangan sekali-kali orang menghitung untung-rugi. Bung Karno dianggap sangat manusiawi dan tidak menginginkan bangsa yang dia persatukan dengan susah payah, malah saling berbunuhan satu sama lain.
“Tapi sudahlah, ngapo (kenapa) kau perpanjang soal yang bagi ibu sangat mengerikan itu,” kata Bu Fat.
Fatmawati pun mengingatkan bahwa yang tidak boleh dilupakan semua orang adalah ketika Bung Karno mengutuk G30S. Bung Karno juga membubarkan kabinet susunannnya sendiri. Selain itu, Bung Karno telah memerintahkan dibentuknya Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk mengadili para pelaku kudeta.
Kemudian sejarah juga mencatat Surat Perintah Presiden Sukarno pada 11 Maret 1966, yang memberikan mandate kepada Mayor Jenderal Suharto untuk mengambil semua langkah dan tindakan atas nama presiden. Surat yang dikenal Supersemar itu pun menjadi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Perwakilan Sementara (MPRS).
“Yang Ibu jelaskan tadi bukan semata-mata karena yang dipojok-pojokkan itu Bung Karno atau bapak dari kelima anak-anak Ibu, tetapi karena Ibu sangat paham betul kebesaran jiwa beliau dalam konteks kenegarawannya,” pungas Fatmawati.
Penulis: M. Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban