SPOTLIGHT

Indonesia Darurat Kasus Perdagangan Bayi

Kasus-kasus tindak pidana perdagangan orang, terutama bayi banyak ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Kasus baru terus bermunculan dari tahun ke tahun dan terbukti mengalami peningkatan. Kasus paling anyar terjadi di Bandung.

Ilustrasi : Getty Images

Selasa, 22 Juli 2025

Baru-baru ini jaringan kejahatan perdagangan bayi lintas provinsi dan lintas negara terungkap di Bandung, Jawa Barat. Dengan modus adopsi ilegal dan pemalsuan dokumen, sindikat ini merekrut bayi-bayi sejak masih dalam kandungan, memalsukan identitasnya, lalu menjualnya ke luar negeri, terutama ke Singapura.

Terungkapnya kasus berawal dari sebuah unggahan di Facebook. Akun milik Astri Fitrinika alias Fira alias Desi alias Aisyah Nur Hasanah alias Annisa (26 tahun) mengunggah penawaran adopsi bayi tanpa proses yang berbelit. Unggahan itu ia sematkan di sebuah grup Facebook bernama Adopsi Harapan Amanah. Di sana Astri juga mengaku sebagai pasangan suami istri yang telah lama mendambakan kehadiran seorang anak.

“AF ini kan mempunyai akun di media sosial, Facebook itu, yang menyampaikan bahwa dia itu mau adopsi tapi no rebet prosesnya,” ucap Kabid Humas Polda Jawa Barat Hendra Rochmawan kepada detikX pekan lalu.

Tak butuh lama, unggahan Astri akhirnya ditanggapi oleh seorang perempuan yang mengaku hamil dan sudah mendekati hari perkiraan lahir. Mereka saling bertukar nomor kontak pribadi dan mulai komunikasi secara intens. Kepada ibu korban tersebut, Astri menjanjikan bantuan biaya senilai Rp10 juta sebagai bagian dari proses tersebut. Biaya itu akan diberikan begitu proses kelahiran selesai.

Ketika proses persalinan berlangsung di sebuah rumah bidan di Kabupaten Bandung, Astri datang ditemani pria yang mengaku suaminya bernama Djaka Hamdani Hutabarat. Pasangan ini mentransfer Rp600.000 lewat bidan dan sisanya dijanjikan menyusul. Namun, setelah bayi lahir, keduanya langsung membawa pergi bayi tersebut dan tidak pernah kembali.

“Kabur dia. Panik lah si ibu ini, makanya lapor ke polisi,” jelas Hendra.

Setelah laporan ibu korban tercatat pada 23 April 2025, penyelidikan Polda Jabar pun bergulir. Polisi memburu para pelaku dan menemukan fakta lebih besar dari sekadar penipuan adopsi. Jaringan sindikat perdagangan bayi ini memiliki sistem terstruktur, dari perekrut, penampung, pengurus dokumen, hingga agen yang memasarkan bayi ke luar negeri.

Para bayi yang diambil dari ibu kandungnya itu dirawat oleh pengasuh hingga berumur tiga bulan. Setelah dianggap cukup umur, bayi dibawa ke rumah singgah di Tangerang, kemudian diterbangkan ke Pontianak. Di sana, identitas bayi dihapus, lalu dibuatkan identitas baru. Para pelaku melakukan pemalsuan dokumen identitas bayi, seperti surat keterangan lahir, kartu keluarga, akta lahir, dan paspor.

Untuk proses tersebut, para pelaku mencari orang tua kandung palsu. Caranya adalah dengan memasukkan identitas bayi ke dalam Kartu Keluarga milik orang-orang yang bersedia menjadi orang tua palsu, dengan imbalan Rp5 juta hingga Rp6 juta.

“Dibikinkan identitas baru di Kalimantan Barat Pontianak itu. Kemudian disitulah udah dalam cengkeraman para sindikat itu, dijual lah mereka, promosikan ke Singapura sana itu, tapi ada juga yang diambil sama orang Jakarta, tapi tujuan utamanya mereka keluar negeri, yaitu Singapura,” ungkapnya.

Sejauh ini Polisi menangkap 14 pelaku, dan dua pelaku masih dalam daftar pencarian orang (DPO). Sindikat ini melakukan aksisnya sejak 2023 dan telah menjual sekitar 25 bayi. Kepada polisi Astri telah melakukan aksinya sebanyak empat kali dan diberi bekal dana sekitar Rp10–Rp16 juta untuk berburu bayi. Adapun ia mendapat bagian sekitar Rp2,5 juta untuk tiap bayi yang berhasil ia dapat. Namun jumlah itu disebut tak pasti, bisa jadi dalam beberapa kasus jumlah yang diperoleh Astri lebih dari itu.

Tampang para pelaku perdagangan bayi ke Singapura.
Foto : Wisma Putra/detikJabar

Menurut polisi modus sindikat ini menyasar ibu-ibu yang hamil di luar nikah atau tidak mampu secara ekonomi. Selain itu mereka juga memanfaatkan berbagai saluran media sosial termasuk grup-grup bertema adopsi untuk berburu bayi yang akan diperdagangkan.

“Dan itu saya yakin banyak grup-grup di media sosial (yang seperti itu),” ucap Hendra.

Di sisi lain pihak kepolisian juga mendalami keterlibatan aparat dalam pemalsuan dokumen. “Sekarang kita dalami itu. Yang pasti dari Dukcapil dulu, sama RT, RW, sama kepala desa di sana kan sudah. Kita selidiki aparat desa situ, aparat Dukcapil, kemudian juga yang membuat paspor. Berarti kan imigrasi, paspor kan di imigrasi, kan di sana juga ada di daerah,” jelasnya.

Sementara itu, pelaku utama sekaligus otak sindikat perdagangan bayi ini adalah Lie Siu Luan alias Lily S alias Popo alias Ai, perempuan berusia 69 Tahun. Lie dikabarkan sempat buron ke luar negeri. Tetapi berhasil ditangkap saat tiba di bandara Sukarno-Hatta Tangerang dari perjalanan luar negeri.

Adapun nasib para korban bayi saat ini tersebar di berbagai tempat. Menurut data imigrasi yang dipaparkan kepolisian dan keterangan para tersangka, ada 15 bayi berusia 5 hingga 14 bulan yang sudah berangkat ke luar negeri, terutama ke Singapura. Sementara itu, terdapat 5 bayi yang masih di Indonesia namun sudah siap diberangkatkan, lengkap dengan dokumen ilegal yang telah diamankan polisi. Ada juga 1 bayi yang sudah diadopsi secara ilegal di dalam negeri, serta 4 bayi lain yang keberadaannya masih dalam proses penyidikan.

Sindikat perdagangan bayi menjamur dan menjangkit di banyak kota
Perdagangan manusia, khususnya penjualan bayi, masih menjadi masalah serius di Indonesia. Sejak 2020 hingga pertengahan 2025, sejumlah kasus jual beli bayi terungkap di berbagai daerah. Modusnya beragam, mulai dari pemanfaatan media sosial, grup WhatsApp, hingga keterlibatan bidan sebagai perantara.

Pada Agustus 2020, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kota Tasikmalaya berhasil menggagalkan dugaan praktik jual beli bayi. Seorang wanita ditangkap saat akan menyerahkan bayi berusia satu bulan kepada pasangan yang diduga calon pembeli.

Kasus ini terungkap setelah adanya laporan dari warga yang curiga dengan aktivitas di sebuah rumah kos di Kota Tasikmalaya. KPAI bersama Dinas Sosial dan pihak kepolisian kemudian mengamankan bayi tersebut untuk mendapatkan perlindungan.

Lalu pada Januari 2021, praktik jual beli bayi terungkap di Medan. Seorang bayi berusia dua pekan dijual oleh ibunya kepada seorang pelaku. Bayi tersebut kemudian dijual lagi dengan harga Rp28 juta.


 Polisi menyebutkan, ada beberapa perantara dalam kasus ini. Penangkapan dilakukan setelah polisi mendapat informasi dari media sosial tentang adanya penawaran bayi untuk diadopsi.

Kasus serupa juga muncul di Jakarta. Pada September 2024, seorang bayi di Jakarta Barat dijual oleh orang tuanya dengan harga Rp4 juta. Fakta ini terungkap saat Polres Metro Jakarta Barat melakukan penangkapan sindikat perdagangan bayi lintas daerah. Dari kasus itu selanjutnya dilakukan penangkapan pelaku hingga Bandung dan Karawang. Jaringan jual beli bayi tersebut beroperasi melalui media sosial.

Dalam proses penyelidikan, terungkap para pelaku menawarkan bayi di grup WhatsApp bertema adopsi anak. Pelaku utama berperan sebagai penghubung antara orang tua yang ingin "menitipkan" bayinya dengan pembeli.
 Melalui grup-grup tersebut, pelaku mencari ibu-ibu yang sedang hamil dan berniat menyerahkan anaknya.
 Bayi-bayi itu kemudian dijual dengan harga yang bervariasi, tergantung kesepakatan dengan calon pembeli.

Sementara itu, di bulan yang sama, polisi juga menggerebek sebuah rumah di Tabanan, Bali, yang diduga menjadi tempat penampungan bayi hasil perdagangan lintas daerah Jawa-Bali.

Masih di tahun yang sama, November 2024, seorang bayi di Kulon Progo dijual oleh sindikat dengan harga Rp25 juta. Polisi menangkap empat tersangka yang diduga terlibat dalam praktik jual beli bayi tersebut.


 Dalam aksinya para pelaku jual beli bayi memanfaatkan media sosial Facebook. Kasus ini memperlihatkan bagaimana media sosial masih menjadi medium utama perdagangan bayi di Indonesia.

Kasus yang paling mengejutkan terjadi di Yogyakarta pada Desember 2024, saat dua bidan ditangkap karena menjual 66 bayi sejak tahun 2010. Harga per bayi bisa mencapai Rp85 juta.


 Bayi-bayi yang dijual merupakan anak dari orang tua yang sebelumnya menitipkan atau menyerahkan anaknya kepada bidan tersebut dengan berbagai alasan.

Tak hanya Facebook, perdagangan bayi juga dilakukan para pelaku kejahatan melalui TikTok, seperti yang terjadi di Pekanbaru, Riau, pada Januari lalu. Bayi korban TPPO itu dijual dengan harga Rp20 hingga Rp25 juta. Aksi pelaku TPPO ini terungkap pada Sabtu (20/1/2025) saat akan melakukan transaksi menjual bayi. Dari hasil pengembangan, polisi kemudian menetapkan enam orang tersangka dalam kasus ini. Termasuk seorang bidan yang kini tidak lagi membuka praktik.

Bergeser ke Batu, Jawa Timur, pada Januari 2025 polisi membongkar sindikat penjualan bayi dengan modus penawaran via Facebook. Bayi dijual dengan harga Rp19 juta, setelah sebelumnya dibeli dari para orang tuanya.

Selain Batu, di Ngawi Jawa Timur juga ditemukan sindikat perdagangan bayi pada Mei lalu. Menurut Polres Ngawi dalam melancarkan aksinya sindikat tersebut berkedok usaha adopsi yang sebetulnya ilegal. Pelaku membeli bayi dari para orangtua kandungnya lalu menjual kembali seharga Rp15 juta kepada pihak lain tanpa prosedur resmi. Keempat pelaku mengaku telah melakukan tindakan perdagangan bayi hingga 10 kali. Mereka memperdagangkan 10 bayi tersebut tersebar di berbagai daerah di Jatim dan Jakarta.

Sementara itu, kasus penjualan bayi yang terbongkar dan menyeret jaringan hingga ke Singapura, menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), adalah puncak gunung es dari persoalan lama. Yaitu perdagangan orang yang memanfaatkan celah regulasi, lemahnya pengawasan, dan keterbatasan aparat di lapangan.

“Perdagangan bayi, perdagangan orang, itu termasuk dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Itu sebenarnya seluruhnya sudah diatur dalam undang-undang,” kata Plt. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Pribudiarta Nur Sitepu, kepada detikX pekan lalu.

Sindikat perdagangan bayi di Kota Batu
Foto : M Bagus Ibrahim

Pemerintah, melalui KemenPPPA, sebetulnya telah menerbitkan sejumlah regulasi untuk mencegah dan menangani TPPO. Salah satunya Permen PPPA Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Korban TPPO Berbasis Masyarakat, serta Permen Nomor 8 Tahun 2021 tentang SOP Layanan Terpadu bagi Saksi atau Korban TPPO. SOP itu mengatur pelayanan terpadu bagi korban, mulai dari aspek hukum hingga pemulihan hak dan martabatnya.

“Tindak pidana perdagangan orang ini tidak bisa ditangani hanya oleh satu kementerian saja atau satu pihak, hanya pemerintah saja, tapi juga harus kerjasama holistik,” kata Pribudiarta.

KemenPPPA mencatat peningkatan signifikan kasus trafficking dari tahun ke tahun. Pada 2021 terdapat 13 kasus dengan 27 korban, lalu pada 2022 ada 28 kasus dengan 89 korban. Adapun pada 2023 tercatat 21 kasus dengan 45 korban, dan ada lonjakan kasus 2024 hingga 50 kasus dengan 70 korban.

Di sisi lain, menurut Pribudiarta, kasus bayi yang dijual hingga Singapura mencerminkan lemahnya sistem pencegahan. Meskipun regulasi adopsi sudah ada, implementasinya di daerah masih banyak celah. Pengawasan terhadap proses adopsi sering longgar. Padahal banyak kasus TPPO anak menggunakan modusnya adopsi ilegal. Bahkan modus penjualan bayi biasanya sudah dirancang sejak masa kehamilan.

“Kadang-kadang sudah dirancang atau didesain kejahatan ini sejak dari ibunya itu hamil. Jadi ibunya itu sudah diiming-imingi,” kata dia.

KemenPPPA mengakui pencegahan selama ini masih bersifat reaktif.

“Saat ini memang pendekatannya masih reaktif. Jadi misalnya terjadi kasus kemudian semua ribut gitu kan, terus semua kita diskusi. Nah ini memang pendekatannya masih cenderung reaktif belum optimal dalam melakukan deteksi dini," ucapnya.

Selain itu, belum ada sistem nasional untuk melacak risiko TPPO di daerah rawan migrasi atau daerah miskin ekstrem. Gugus tugas TPPO memang telah dibentuk di daerah, tapi implementasinya lemah.

“Tidak semua daerah aktif menyusun tindakan pencegahan atau menyusun rencana aksi daerah untuk merespon atau mencegah,” ujar Pribudiarta.

Kendala lain adalah kapasitas sumber daya manusia (SDM) di daerah. Di kepolisian, meskipun secara struktur sudah ada Direktorat TPPO hingga di tingkat Polda, di tingkat Polsek masih kekurangan personel. “Kalau di pusat sudah setingkat direktur, tapi di daerah ternyata nggak ada orangnya. Itu kendala.”

Menurut Pribudiarta, yang rawan justru di tingkat bawah seperti desa, kelurahan, bahkan RT/RW. Pemerintah saat ini mendorong Desa Ramah Perempuan dan Anak sebagai upaya pencegahan dari akar.

“Kami kerjasama dengan Kementerian Desa, itu ada namanya Desa Ramah Perempuan. Biasanya itu ciri-cirinya kasus kekerasan rendah. Bentuk lembaga masyarakat yang mampu menangani PP dan PA-nya tinggi.”

Namun upaya itu belum cukup masif. Banyak desa dan daerah yang belum memiliki mekanisme pencegahan secara aktif. Padahal, menurutnya, permasalahan ini adalah gabungan dari berbagai faktor, mulai dari sosial, ekonomi, budaya, hingga kelemahan kelembagaan.

“Kemiskinan struktural itu, berbagai macam saling keterkaitan yang menyebabkan ini terjadi," ucapnya.


Reporter/Penulis: Thovan Sugandhi, Ani Mardatila
Editor: Melisa Mailoa
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE