INTERMESO

Jejak Mata Hari di Tanah Jawa

Margaretha atau Mata Hari belajar tarian Jawa ketika hidup di Hindia Belanda. Lalu menjadi penari erotis dan mata-mata di Eropa.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Minggu, 15 Januari 2022

Mata Hari, pemilik nama asli Margaretha Geertruida Zelle, sejak kecil hidup senang di kota kelahirannya, Leeuwarden, Friesland, Belanda. Dari empat bersaudara, Margaretha paling dimanja oleh kedua orangtuanya, Adam Zelle dan Antje van der Muelen, karena ia satu-satunya anak perempuan.

Mata Hari kecil selalu menjadi pusat perhatian banyak orang. Ia sering tampil dengan gaun baru dan berwarna mencolok. Bahkan, di usia enam tahun, Mata Hari pernah dibelikan kereta yang ditarik oleh kambing. Di akhir abad ke-19, tak semua orang Eropa bisa membeli kereta itu.

Namun, kehidupan Mata Hari berubah ketika usaha ayahnya bangkrut. Ditambah kemudian ibunya meninggal pada 1889, ketika Mata Hari berusia 15 tahun. Ayahnya menikah lagi. Ketiga adik kandungnya tercerai berai tinggal dengan para kerabat.

Adapun Mata Hari ikut ayah baptisnya, Tuan Visser, yang tinggal di Sneek, Leiden. Visser mendaftarkan Mata Hari ke sekolah khusus guru taman kanak-kanak. Rupanya, Kepala Sekolah Wybrandus Haanstra terpesona dan selalu mengejar Mata Hari. Kepala sekolah itu dikenal kerap menggoda para murid perempuan.

Karena tak senang, Visser memaksa Mata Hari keluar dari sekolah tersebut. Mata Hari pun memutuskan tinggal bersama pamannya, Tuan Taconis di Den Haag. Bersama pamannya itu, Mata Hari semakin tumbuh menjadi gadis dewasa dan mempesona.

Dikutip dari Encyclopedia, sekitar Maret 1895, Mata Hari, yang kala itu berumur 17 tahun, melihat iklan di koran Nieuws van de Dag, yang isinya tentang seorang pria tengah mencari istri. Si pengiklan adalah pria berpangkat Kapten dari Angkatan Darat Kerajaan Belanda atau Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL).

Margaretha Geertruida Zelle 'Mata Hari'.
Foto: BBC News

Perwira menengah militer itu, Rudolf John MacLeod, tengah libur cuti. Pria berusia 38 tahun itu sudah hampir 20 tahun bertugas di Hindia Belanda. Saat usia 21 tahun, Rudolf dikirim ke Hindia Belanda dengan pangkat Letnan. Ia pernah ikut dalam pertempuran hebat di Aceh pada 1873.

Karena menderita reumatik dan diabetes, tubuh Rudolf menjadi lemah. Akhirnya ia disarankan mengambil cuti dan libur ke Belanda. Atas saran temannya, Rudolf diminta mencari istri lewat iklan di koran. Mata Hari tertarik dan bertemu dengan Rudolf di Rijkmuseum. Walau bertaut umur 20 tahun, Mata Hari terpukau dengan pribadi Rudolf.

Lebih-lebih ia terpukau dengan cerita karir militer Rudolf dan keindahan alam di Hindia Belanda. “Aku tidak pernah tertarik pada lelaki yang bukan tentara. Tentara di mataku adalah makhluk yang lebih tinggi, pahlawan, dan selalu berani menantang segala bahaya, serta menjalani petualang,” begitu ungkapnya.

Setelah bertunangan, Margaretha dan Rudolf melangsungkan pernikahan di Balai Kota Amsterdam pada 11 Juli 1895. Dua tahun kemudian, Margaretha melahirkan putra pertama yang diberi nama Norman John MacLeod, 30 Januari 1897. Empat bulan kemudian, Rudolf mengajak keduanya hijrah ke Hindia Belanda dengan menumpang kapal laut SS Princes Amalia pada Mei 1897.

Sesampainya di Hindia Belanda, mereka pertama kali tinggal di Malang, Jawa Timur. Tapi versi lain menyebutkan keluarga kecil Rudolf pertama berdiam di Ambarawa, Jawa Tengah. Di Hindia Belanda ini juga Mata Hari melahirkan anak kedua, seorang perempuan yang diberi nama Louise Jeanne MacLoed, pada 2 Mei 1898.

Mata Hari merasa kerasan hidup di lingkungan tropis yang indah dan sunyi. Walau ia sering berkumpul dengan orang Eropa, Mata Hari juga pandai bergaul dengan masyarakat lokal. Bahkan, tak segan ia mengenakan sarung seperti dipakai perempuan Jawa pada umumnya. Dalam bergaul, Mata Hari juga sempat belajar Bahasa Melayu.

Saat berumah tangga, sifat asli Rudolf mulai muncul. Ia gemar selingkuh, mabuk, dan suka bertindak kasar kepada Mata Hari. Di tengah situasi itu, muncul pria lain, seorang perwira Belanda bernama Van Rhedes. Dari pria inilah Mata Hari dikenalkan ke dunia tarian Jawa. Ia malah sempat ikut menari di sanggar tari lokal di tempat tinggalnya.

Mata Hari merasa sudah betah hidup di Jawa. Tapi ia hanya bisa pasrah begitu Rudolf dipindahtugas ke Medan, Sumatera Utara, pada 1899. Hubungan Rudolf dan Mata Hari semakin tak harmonis di kota itu. Lebih-lebih sejak anak pertama mereka, Norman, meninggal tanpa sebab.

Ilustrasi Mata Hari
Ilustrator: Edi Wahyono

Rudolf yang sebentar lagi masuk masa pensiun pada 1900 berencana memboyong keluarganya ke Sindanglaya, Jawa Barat. Di kawasan sejuk itu, Rudolf ingin menghabiskan sisa hidupnya. Tapi Mata Hari menolak keinginan suaminya itu. "Aku tak ingin mengubur masa mudaku di kuburan seperti Sindanglaya. Aku ingin menikmati hidup," ucap Mata Hari yang saat itu berumur 24-25 tahun.

Rudolf pun mengalah. Ia lalu membawa Mata Hari dan Louise kembali ke Amsterdam, Belanda, pada Maret 1902. Hubungan Rudolf dan Mata Hari semakin renggang, hingga keduanya memutuskan bercerai di pengadilan pada Agustus 1902. Louise pun diboyong Mata Hari.

Sebagai seorang janda muda dan memiliki tanggungan anak, Mata Hari mulai kelimpungan soal finansial. Sebagai pensiunan tentara, Rudolf sering kali terlambat mengirim uang tunjangan untuk mantan istri dan anaknya. Mata Hari lalu memutuskan untuk bekerja ke Paris, Prancis.

Ia sempat menitipkan Louise kepada Rudolf pada 1903. Setibanya di Paris, Mata Hari mendapat pekerjaan sebagai penunggang kuda di arena sirkus. Sebagai penunggang kuda, Margaretha menggunakan julukan ‘Lady MacLeod’. Ia juga menyambi kerja sebagai penari di beberapa klab, baik klab kecil, besar, umum, maupun eksklusif.

Saat itulah Margaretha diperkenalkan kepada Emile Guimet, pemilik Museum Guimet yang khusus menampilkan barang antik dan kebudayaan sejumlah negara di benua Asia. Di museum itu juga sering dipertunjukkan berbagai macam tarian di Asia. Mata Hari pun ditawari untuk menjadi penari di tempat itu.

Sejak itu pula secara resmi Margaretha selalu menggunakan nama ‘Mata Hari’. Penampilan perdananya terjadi pada 13 Maret 1905. Ia menari tarian India yang sangat erotis dan sensual. Ia tampil dengan pakaian begitu tipis dan transparan, dengan dekorasi panggung mirip kuil Hindu.

Kepada penontonnya yang selalu berjubel, Mata Hari selalu mengklaim dirinya sebagai putri dari India. Kadang juga ia mengaku sebagai putri dari Jawa. Malah, ia mengklaim belajar tari di keraton istana Jawa. Padahal, penampilannya justru banyak menunjukkan tarian kas India, Persia, Mesir, dan sebagainya.

Penari erotis dan juga mata-mata kelahiran Belanda, Mata Hari, dieksekusi mati pemerintah Prancis pada 15 Oktober 1917
Foto: BBC News

Kian hari popularitas Mata Hari kian tinggi. Dengan bayaran mahal ia bisa tampil di berbagai klab elite di Eropa. Misalnya di Paris (Perancis), Berlin (Jerman), Madrid (Spanyol), Monte Carlo dan Wina (Austria). Puncak penampilannya di Theater La Scala di Milan, Italia, pada 1911. Koran New York Herald menuliskan karier Margaretha moncer sebagai Mata Hari, karena menjadi penari erotis dan pelacur papan atas.

Popularitasnya sebagai penari erotis dimanfaatkan untuk menjalin hubungan gelap dengan penggemar berkantong tebal. Seperti pengusaha, pejabat pemerintah, dan militer. Contohnya ketika Mata Hari menjadi istri simpanan Letnan Alferd Kiepert, komandan Resimen ke-11 Haussars pada 1907. Ia juga berkenalan cukup intens dengan Menteri Perang Perancis, Jenderal Adolph Messimy.

Di Berlin, pada 1914, Mata Hari menjalin hubungan harmonis dengan pejabat polisi senior bernama Griebel. Kedekatan Mata Hari dengan sejumlah pejabat militer dan polisi Jerman tentu memancing pengawasan dari dinas intelijen Prancis, menjelang meletusnya Perang Dunia I (1914-1918).

Di usia yang semakin menua, ketika pamornya sebagai penari erotis memudar, Mata Hari direkrut sebagai agen Jerman dan Perancis sekaligus. Namun, aksinya sebagai double agent itu ketahuan dan ia ditangkap. Ia dihukum mati di Prancis pada 15 Oktober 1917.

Di dalam dunia spionase, Mata Hari juga memiliki nama samaran lainnya, yaitu Baroness von der Linden, Clara Benedix, Red Dancer atau agen H21. Kisahnya banyak ditulis dalam buku novel dan film. Termasuk di Indonesia, seperti novel ‘Namaku Mata Hari’ karya Remy Sylado dan novel-film ‘Sang Penari’ karya Dukut Imam Widodo.


Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE