INTERMESO

Beli Petasan Satu Sen Pun Sukarno Tak Mampu

Di masa kecilnya, Presiden Sukarno hidup melarat. Setiap Lebaran, jangankan baju baru, petasan pun Sukarno tak mampu beli. Dulu anak-anak bermain petasan pada malam takbiran.

Sukarno melaksanakan salat Idul Fitri di Lapangan Banteng, Jakarta, pada 1950.
Foto: Arsip Nasional RI

Kamis, 28 April 2022

Hari raya Idul Fitri setiap tanggal 1 Syawal merupakan hari kemenangan bagi umat Islam yang telah menjalankan ibadah puasa Ramadan satu bulan penuh. Hari kemenangan yang oleh masyarakat Indonesia disebut hari Lebaran itu juga dirayakan umat Islam di seluruh penjuru dunia.

Takbir, tasbih, tahmid, dan tahlil mulai bergema di malam menjelang Idul Fitri. Suara beduk bertalu-talu, tak hentinya ditabuh. Tua, muda, dan anak-anak membawa obor, kentongan, dan beduk berkeliling kampung, desa, bahkan kota pada malam takbiran. Sesekali suara letusan petasan terdengar begitu memekakkan telinga. Keesokan harinya, masyarakat mengenakan pakaian terbaru untuk melaksanakan salat Idul Fitri dan bersilaturahmi.

Tak lupa beragam makanan dihidangkan di meja makan atau meja tamu. Ya, hanya setahun sekali, makanan itu dihidangkan secara ‘mewah’ karena jarang bisa dimakan setiap hari. Kegembiraan hari itu merupakan manifestasi kebahagiaan umat Islam yang berhasil mengalahkan hawa nafsu saat menjalani puasa Ramadan. Hari itu manusia diibaratkan kembali pada fitrahnya.

Sukarno kecil sekolah HBS pada 1916.
Foto: Repro buku Bung Karno, Penjambung Lidah Rakjat Indonesia.


Aku merasa diriku sangat malang. Hatiku serasa akan pecah. Di sekeliling terdengar bunyi petasan berletusan di sela sorak-sorai kawan-kawanku karena kegirangan. Betapa hancur luluh rasa hatiku yang kecil itu memikirkannya. Mengapa semua kawanku dengan jalan bagaimanapun dapat membeli petasan yang harganya 1 sen itu, dan aku tidak!”

“Akan tetapi kami tak pernah berpesta maupun mengeluarkan fitrah. Karena kami tidak punya uang untuk itu. Di malam sebelum Lebaran sudah menjadi kebiasaan bagi kanak-kanak untuk main petasan. Semua anak-anak melakukannya.  Semuanya, kecuali aku,” ucap Sukarno, Presiden pertama Republik Indonesia, saat mengenang masa kecilnya di tengah merayakan Idul Fitri di awal abad ke-20.

Kenangan sedih Sukarno di masa kecilnya dituangkan di dalam buku Bung Karno, Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, yang merupakan terjemahan dari buku Sukarno an Autobiography as Told Cindy Adam pada 1966. Kisah muramnya Sukarno saat Lebaran terangkum di dalam bab ketiga buku tersebut dengan sub judul ‘Modjokerto: Kesedihan di Masa Muda’.

Pada hari Lebaran Idul Fitri satu abad lalu, Sukarno hanya terbaring seorang diri di dalam kamar tidurnya. Ia terbaring di tempat tidur yang hanya cukup untuk dirinya sendiri. Hatinya yang gundah sesekali mengintip ke luar ke arah langit melalui tiga buah lubang udara yang kecil pada dinding bambu rumahnya. Lubang kecil itu besarnya kira-kira sebesar batu bata.

“Aku merasa diriku sangat malang. Hatiku serasa akan pecah. Di sekeliling terdengar bunyi petasan berletusan di sela sorak-sorai kawan-kawanku karena kegirangan. Betapa hancur luluh rasa hatiku yang kecil itu memikirkannya. Mengapa semua kawanku dengan jalan bagaimanapun dapat membeli petasan yang harganya 1 sen itu, dan aku tidak!” ucap Sukarno kepada Cindy Adam yang mewawancarainya.

Sukarno mengungkapkan perasaan dirinya saat itu seperti ingin mati saja. Ia melampiaskan sedu sedan yang tak terkendali dengan meratapi kemalangannya di tempat tidur. Ia hanya berani menangis kepada ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, sambil menyesali nasibnya. “Dari tahun ke tahun aku selalu berharap-harap, tapi tak sekali pun aku bisa melepaskan mercon,” keluh Sukarno, yang saat itu masih berumur 6 atau 7 tahun.

Suatu malam, di malam takbiran, seorang tamu datang menemui ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo. Tamu itu memegang bungkusan kecil di tangannya. “Ini,” kata tamu itu sambil mengulurkan bingkisan kecil kepada Sukarno kecil. Tangannya gemetar. Ia terharu menerima hadiah dan hampir tak sanggup membuka bingkisan kecil itu. Begitu dibuka di kamarnya, bingkisan itu berisi sebungkus petasan.  

“Tak ada harta, lukisan, ataupun istana di dunia ini yang dapat memberikan kegembiraan kepadaku seperti pemberian itu. Dan kejadian ini tak dapat kulupakan untuk selama-lamanya,” kenang Sukarno.

Sukarno melaksanakan salat Idul Fitri di Lapangan Merdeka, Sukabumi, Jawa Barat, pada 1951.
Foto: Arsip Nasional RI

Sukarno, yang lahir di Peneleh, Surabaya, 6 Juni 1902, merupakan anak bangsawan. Ayahnya, Soekemi, merupakan seorang guru dengan gaji 25 gulden sebulan. Itu pun harus dipotong uang sewa rumah  di Jalan Pahlawan No 88, Mojokerto. Nyaris uang yang tersisa untuk hidup hanya 15 golden saja. Uang itu tak cukup untuk menghidupi keluarga Soekemi yang berjumlah empat orang, termasuk Sukarmi, kakak Sukarno.

“Kami sangat melarat, sehingga hampir tidak bisa makan satu kali dalam sehari. Yang terbanyak kami makan ialah ubi kayu, jagung tumbuk, dengan makanan lain. Bahkan Ibu tidak mampu membeli beras murah yang biasa dibeli oleh para petani,” jelas Sukarno lagi.

Ibu Sukarno hanya bisa membeli padi, bukan beras seperti di pasar. Ia harus menumbuk terlebih dahulu gabah itu agar bisa menjadi beras sebelum dimakan oleh keluarga. Hampir setiap hari Ida Ayu Nyoman melakukan itu, hingga telapak tangannya memerah dan melepuh. Sukarno sering iba dan membantu menumbuk gabah padi itu sebelum berangkat sekolah.

Kemelaratan itu menjadi akrab bagi Sukarno sejak kecil. Satu-satunya sumber pelepas kepuasan hati Sukarno adalah ibunya, Ida Ayu Nyoman. “Ia adalah ganti gula-gula yang tak dapat kumiliki dan ia adalah semua milikku yang ada di dunia ini. Ya, ibu mempunyai hati yang begitu besar dan mulia,” terang Sukarno lagi.

Berbeda dengan ayahnya, Sukarno dididik begitu keras. Soekemi begitu tega menyuruh anaknya belajar membaca dan menulis berjam-jam lamanya. “Hayo Karno, hafal ini. Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Karno hafal ini. Hafal ini, A-B-C-D-E dan terus-menerus sampai kepalaku yang malang ini merasa sakit,” jelas Sukarno mengenang kerasnya pendidikan ayahnya.

Soekemi memang memiliki keyakinan bahwa suatu saat anaknya yang lahir di saat fajar menyingsing itu kelak akan menjadi orang yang disegani. Suatu saat Sukarno membuat ayahnya marah ketika ia naik pohon jambu dan tak sengaja membuat sarang burung jatuh ke tanah. “Bukankah engkau sudah ditunjuki untuk melindungi makhluk Tuhan?” hardik Soekemi.

Sukarno sungkem kepada ibunya, Ida Ayu Nyoman.
Foto : Pena Soekarno.

“Sekalipun dengan permintaan maaf demikian, Bapak memukul pantatku dengan rotan. Aku seorang yang baik laku, akan tetapi Bapak menghendaki disiplin yang keras dan cepat marah kalau aturannya tidak dituruti,” imbuh Sukarno mengenang kenalan di masa kanak-kanaknya itu.

Tapi setelah Sukarno dewasa, lebih-lebih setelah menjadi Presiden RI, ia kerap merayakan Idul Fitri dengan gembira hati. Ia dikenal kerap merayakan Idul Fitri bersama rakyat. Beberapa kali ia melaksanakan salat Id (Idul Fitri) di daerah lain. Seperti salat Idul Fitri di Lapangan Banteng, Jakarta, pada 1950. Begitu juga berlebaran dan salat Id di Lapangan Merdeka, Sukabumi, Jawa Barat, pada 1951.


Penulis: M. Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE