Ilustrasi : Luthfy Syahban
Sukarno tak gentar meski harus berhadapan dengan penjajah Belanda. Suaranya juga lantang memekikan kata ‘merdeka’ di depan antek-antek Jepang. Sukarno telah menjadi pemimpin yang disegani, baik di dalam maupun di belahan dunia lain. Namun, hanya ada satu orang di dunia yang mampu membuat Sukarno tunduk. Sosok wanita itu bernama Ida Ayu Nyoman Rai, yang tak lain adalah ibu dari presiden pertama Republik Indonesia.
Sebagai bentuk hormat setinggi-tingginya seorang putra kepada ibunya, Sukarno kerap melakukan sungkem. Sukarno bersujud dengan hikmat ketika berkunjung ke rumah orang tuanya di Blitar, Jawa Timur. Pertama ia bersimpuh lalu mengatupkan kedua telapak tangan dengan gerakan menempelkannya di depan wajah, lalu turun ke dada. Wajahnya menunduk mencium lutut sang ibu.
Bung Karno tidak mendapatkan ‘kesaktian’ dari jimat atau tongkat sakti. Kekuatan justru datang dari setiap bait doa yang diuntai ibunya dalam senyap. Wanita yang memiliki nama kecil Idayu ini selalu mendukung perjuangan Sukarno dalam memerdekakan Indonesia. Idayu membalas sungkem Sukarno dengan menumpahkan restu seraya mendekap anaknya.
Presiden Soekarno dan ibundanya
Foto : Luthfy Syahban
Sukarno lahir dari kedua orang tua yang berbeda agama. Ibunya, adalah seorang bangsawan Hindu dari kasta Brahmana. Sementara ayahnya seorang Jawa Muslim. Dalam buku biografinya, Penyambung Lidah Rakyat, yang ditulis oleh Cindy Adams menceritakan bagaimana sulitnya pernikahan kedua orang tuanya karena status ibunya sebagai bangsawan. Pada akhirnya mereka berdua menikah pada tahun 1987.
Idayu tidak seperti ibu-ibu Indonesia lain yang menuntut anaknya bekerja sebagai pegawai pemerintahan agar mendapat sebutan ‘Priyayi’. Impiannya hanya satu. Dia ingin anaknya kelak menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. “Jadilah Kau Kusno orang yang baik-baik, sehat, dan selamat, “ demikian selalu yang dipinta sang ibunda. Meski dikemudian hari Sukarno menjadi presiden, belum pernah sekali pun ia menginjakan kaki di istana.
Keberanian Sukarno menerjang penjajah rupanya sudah terasah sejak ia kecil. Ibunya selalu menceritakan kisah heroik perjuangan anak bangsa dalam mengusir penjajah. Mulai dari kisah Perang Puputan, cerita Perang Diponegoro, serta kisah heroik para pejuang bangsa dari seluruh pelosok negeri. Sambil bercerita, Sukarno mendengarkan sembari duduk di lantai dan bersandar di kedua kaki ibunya dengan wajah menengadah.
Sosok ibunya juga menjadi teladan keberanian Sukarno. Pada 1946 terjadi perlawanan jarak dekat antara laskar pejuang dengan musuh. Kejadian ini terjadi persis di belakang rumah Sukarno. Pasukan Indonesia menunggu dalam posisi tiarap. Idayu menghampiri pasukan itu dan membentak dengan suara keras.
“Kenapa tidak ada tembakan? Kenapa tidak bertempur? Apa kamu semua penakut? Kenapa kamu tidak keluar menembak Belanda?” katanya sembari memberikan semangat kepada pasukan Indonesia. “Majulah kalian semua, keluarlah, dan bunuh Belanda-Belanda itu!”
Presiden Sukarno saat membaca naskah Proklamasi, 17 Agustus 2019
Foto : Istimewa
Sejak kelahiran Sukarno ke dunia, Idayu mengamini bahwa anaknya adalah Putera Sang Fajar. Sebabnya ia lahir menjelang matahari terbit. Meski Idayu merupakan wanita kelahiran Bali, ia meyakini kepercayaan Jawa bahwa bayi yang lahir saat matahari terbit, nasibnya sudah digariskan oleh takdir. Selain itu, Sukarno lahir ketika Gunung Kelud meletus. Idayu percaya, itulah pertanda alam bahwa kelak anaknya akan tumbuh menjadi pemimpin besar.
”Ibu katakan padamu Nak, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, menjadi pemimpin rakyat kita. Jangan pernah lupakan itu, jangan sekali-kali kau lupakan Nak, bahwa engkau ini putera dari sang fajar,” ujar Idayu mengatakan kepada Sukarno kecil pada suatu pagi.
Kantor Berita Nasional Antara menyiarkan berita kematian Idayu pada Sabtu, 13 September 1958. “Ibunda Presiden Sukarno, telah pulang ke Rahmatullah di tempat kediamanannya di Blitar dalam usia 88 tahun, setelah menderita sakit tua lebih kurang 5 tahun. Presiden Sukarno menunggu di sisi almarhumah sampai saat-saat terakhir,” tulis Antara.
Setelah itu, seluruh surat kabar yang ada di Indonesia memberitakannya dengan huruf-huruf besar sebagai kepala berita memuat kabar duka cita ini di halaman muka. Surat Kabar Bintang Timur menulis dengan kepala berita ‘Jakarta Raya Berdukacita; Seluruh Hati Rakyat Indonesia Tertumpah ke Blitar.’ Sebagai bentuk penghormatan, nama berkasta Ida Ayu diberikan Soekarno sesaat sebelum ibundanya itu meninggal dunia di Istana Kepresidenen Tampaksiring, Bali.
Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nurgroho
Desainer: Luthfy Syahban