Ilustrasi: Edi Wahyono
Selasa, 12 Februari 2019Baru saja merebahkan badan di kasur kamarnya, Rio Firmansyah tersadar.Kamarnya yang gelap mendadak begitu terang. Rio awalnya merasa itu hanya halusinasi. Sebelumnya, dia berjam-jam lamanya menghabiskan waktu bermain game online di warung internet sampai lewat tengah malam.
Ada tiga sosok muncul di depannya. Lantaran silau oleh cahayanya, Rio, yang saat itu berusia 13 tahun, mengaku tak bisa melihat dengan jelas wajah ketiganya. "Hanya yang di tengah berdiri agak ke depan dan dua lainnya berdiridi belakang sisi kanan dan kiri," ujar Rio kepada detikX beberapa waktu lalu.
Sosok yang di tengah memakai jubah putih menjulurkan tangan kanan ke depan Rio. Pergelangan tangan sosok tersebut berlubang. "Rio, ikutlah aku," ujar sosok tadi kepada Rio. Rio kaget dan kebingungan. Ia memilih diam saja kemudian menutupi wajah dengan bantal. Namun sosok itu tetap memanggilnya. "Setelah panggilan ketiga, baru saya putuskan meraih tangannya." Ketika tangannya berada dalam genggaman sosok tadi, Rio merasa melayang. Tapi ia melihat tubuhnya terbaring. "Mau dibilang mimpi jugatidak. Roh saya seperti terangkat. Seperti mati suri," katanya.
Dalam perjalanannya itu, Rio dibawa ke sebuah tempat. Di sebelah kanannya ada istana besar dan megah, sementara di sebelah kiri ada terowongan besar gelap. Istana yang megah itu sangat sepi. Rio justru melihat ribuan sosok berduyun-duyun masuk dalam terowongan gelap di seberangnya. "Akhirnya saya bilang ke sosok tuan itu, 'Saya mau ke istana yang besar.' Tapi ia bilang tempat saya di lorong gelap," katanya.
Rio akhirnya masuk ke dalam terowongan tadi. Ia menjumpai berbagai macam hal yang mengerikan. "Binatang buas, ular kepala tujuh yang sedang melilit manusia," katanya. Akhirnya ia tiba di lautan api yang sangat panas. "Banyak yang berteriak minta tolong. Saya sempatterpikir, 'Ya Allah, apakah saya akan mati. Lalu saya dengar ada suara, 'Rio, cepatlah sebelum waktumu habis.'"
Ia ketakutan dan menangis, tapi sosok yang membawanya datang kembali. "Sosok itu bilang aku adalah Yesus, Tuhan Allahmu. Ikutilah aku," ujar Rio menirukan. "Saya jawab, saya percaya dan akan ikut." Setelah itu, Rio merasa terjatuh lagi menuju bumi, dan rohnya memasuki raganya yang terbaring di kamar. "Saya bangun sudah jam 5 pagi. Pengalaman perjalanan roh tadi kemudian mengubah kehidupan saya."
Baca Juga : Kisah Selsa di Antara Dua Agama
Ilustrasi
Foto: dok. Getty Images
Rio adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Lahir dari ayah yang berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat, dan ibu dari Ogan Komiring Ulu, Sumatera Selatan. Sadar akan status kedua orang tuanya yang sangat keras soal agama, Rio memilih merahasiakan apa yang dialaminya."Sebelumnya, saya tahu agama Kristen dari teman yang kebetulan tetangga dan saya tidak suka dengan mereka," katanya.
Saat tiba hari Minggu, Rio menetapkan hati untuk masuk geraja. Tapi ia hanya tahu Gereja Katedral yang berdekatan dengan Masjid Istiqlal. "Tiap minggu saya bohong mau ke masjid, tapi akhirnya belok masuk gereja," ujarnya. Enam bulan lamanya, Rio, yang lahir di Jakarta pada 7 Agustus 1998, keluar-masuk Gereja Katedral. Hingga akhirnya, ia bertemu dengan seorang ibu yang mengajaknya masuk Gereja Tiberias Indonesia. "Mendingan kamu ke Tiberias, bisa langsung dibaptis," kata ibu itu."Mendengar kata baptis itu, saya pindah ke Tiberias."
Tiap minggu saya bohong mau ke masjid tapi akhirnya belok masuk gereja."
Cita-cita Rio menerima pembaptisan akhirnya terwujud pada Mei 2012. Hampir setahun setelah mengalami peristiwa yang disebutnya perjalanan roh tadi. Setelah dibaptis, akhirnya ia memutuskan membuka statusbarunya kepada keluarga. Ia merasa tidak boleh berbohong lagi untuk menutupi keyakinan yang dianutnya. Adik lelaki ibunya marah besar. "Kaki-tangan saya diikat dan disuruh pindah agama lagi. Bahkan saya pernah dikirim ke pesantren," ujarnya.
Merasa tak bisa berkompromi lagi dengan keluarga, Rio memilih kabur. Keluarganya pun tak pernah mencarinya. "Saya putus sekolah dan jadi gembel," ujarnya. Untungnya ada kenalannya di gereja yang berbaik hati memberi pekerjaan di sebuah toko sepatu. Ia juga kemudian disekolahkan kembali dan sekarang sudah duduk di kelas dua sebuah sekolah menengah kejuruan.
Belakangan, Rio mencoba menjalin hubungan kembali dengan ibunya yang tinggal di Kota Depok. Tapi sikap keluarganya tak berubah. Rio tetap ditolak jika tidak mau kembali ke keyakinan yang lama. Banyak yang mencibir, bahkan menganggap kisah yang disampaikannya itu rekaanbelaka. Namun Rio bergeming. "Memang dalam hidup ini sayadihadapkan dengan lika-liku. Saya percaya itu semua ujian untuk iman saya sekarang agar tetap setia," kata dia.
Ilustrasi
Foto: dok. Getty Images
Persoalan yang dihadapi oleh orang-orang yang berpindah keyakinan, menurut Direktur Eksekutif Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Nurhabibie Rifai, terjadi di hampir setiap agama. Ada ego masing-masing pemeluk agama yang mengklaim bahwa agamanyalah yang paling benar, suci, dan besar. "Akan selalu ada pertanyaan mengapa sih kamu meninggalkan Islam atau Kristen atau agama apa pun. Padahal inilah jalan yang terbaik, paling tinggi, dan tidak ada yang lebih tinggi dari dia," ujar Nurhabibie, yang sering disapa Boby.
Menurut Boby, orang beragama memang harus meyakini agamanya yang paling benar. "Keyakinan iman itu jelas, apa pun pandangan orang lain, iman saya yang paling benar," kata lelaki asal Bulukumba, Sulawesi Selatan, itu. "Tidak ada yang bisa menggoyahkan keyakinan itu, baik oleh cibiran, penghinaan, maupun karena ada orang yang memutuskan untuk pindah agama." Boby yang seorang muslim menyebut dirinya menyakini bahwa setiap orang berhak memilih keyakinan masing-masing.
Ketimbang ribut soal pindah keyakinan, seharusnya yang menjadi perhatian, kata Boby, bukan apa agama yang dia pilih, tapi seberapa bermanfaatnya dia ketika memilih agama itu bagi orang lain. "Buat apa jumlah yang banyak tapi tidak ada artinya. Jangan sampai kita menjadi seperti buih di lautan, yang jumlahnya banyak tapi tidak ada apa-apanya. Hanya diombang-ambingkan oleh ombak," dia memberi kiasan.
Selain persoalan ego di atas, Boby menangkap adanya fenomena konservatisme-fanatisme dalam beragama. Fenomena ini dirayakan dan menjadi spirit sebagai sebuah identitas baru. "Kalau tidak ikut dalam pusaran itu, kita dianggap kurang beriman. Saya sendiri sudah biasa mendapat cap munafik," katanya.
Ketua Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Albertus Patty mengatakan perspektif Kristen tentang pindah agama tidak seragam. Terdapat pandangan yang menyatakan orang Kristen tak boleh pindah agama karena ajarannya yang paling benar. Sehingga pindah agama dinilai tidak membawa pada jalan keselamatan. "Ada juga yang berpandangan agama Kristen benar, tapi selain Kristen ada kebenaran juga. Jadi Tuhan bekerja di semua tempat," ujar Albertus.
Ada juga yang berpendapat bahwa keyakinan merupakan ranah hak asasi manusia. Di mana relasi manusia dengan Tuhan merupakan wilayah pribadi seseorang. "Mau benar atau salah, itu urusan Tuhan. Daripada di Kristen tidak mendapatkan kekuatan spiritual dan, kalau pindah keyakinan, yang diharapkan dia menjadi lebih baik," ujar doktor teologi lulusan Pittsburgh Theological Seminary itu. "Bahkan mau pilih tidak beragama pun suka-suka dia. Mengapa harus dipaksa beragama kalau tidak merasa punya relasi dengan Tuhan. Kan hanya menimbulkan kemunafikan."
Albertus menyebut ada persoalan lain yang membuat pindah agama menjadi begitu menarik perhatian. Prasangka adanya kristenisasi atau islamisasi membuat isu ini jadi sensitif. "Jadi diciptakan rasa curiga. Masing-masing merasa umatnya diambil," ujarnya. "Nanti seolah-olah umat Islam akan berkurang dan lama-lama Kristen jadi mayoritas. Begitu juga sebaliknya, nanti daerah-daerah Kristen akan dikuasai Islam.... Jadi ada pertimbangan kekuatan politik juga di situ." Karena itu, baik Boby maupun Albertus menyampaikan perlunya memperluas ruang perjumpaan antar-umat beragama untuk mengikis prasangka.
Baca Juga : Pindah Keyakinan Mengapa Dipersoalkan
Ilustrasi
Foto: dok. Getty Images
Maya, bukan nama sebenarnya, lahir di keluarga 'gado-gado'. Ibunya seorang Kristen yang taat, sementara ayahnya dari lahir beragama Islam, meski bukan seorang muslim yang taat. "Bapak saya sebenarnya beragama Islam, tapi tidak pernah salat ataupun berpuasa. Dulu sepertinya Bapak tidak mau menyakiti hati Ibu," kata Maya. "Jadi Ibu pun menganggap Bapak ikut keyakinan Ibu dan Bapak membiarkan Ibu beranggapan seperti itu."
Sejak kecil, Maya menuturkan, dia selalu diajak ibunya ke gereja. Hingga dewasa, dia tetap menjadi seorang Katolik, meski tumbuh di lingkungan mayoritas muslim. "Saya sudah kenal Islam dari kecil. Keluarga Bapak ada yang muslim, teman-teman sekolah saya juga kebanyakan beragama Islam," kata Maya. Bahkan saat sekolah dasar, lantaran tak ada guru untuk mata pelajaran agama Kristen, dia juga ikut pelajaran agama Islam. "Bahkan saya dulu hafal beberapa doa dan nama-nama sunan."
Pacar saya tidak pernah memaksa saya pindah keyakinan. Mungkin hal itu yang membuat saya menjalani proses ini dengan lebih enak."
Dulu dia memang bukan orang yang benar-benar religius. "Saya pergi beribadah ya karena ibu saya rajin beribadah," kata Maya. Baru saat kuliah di Surabaya, dia mulai tertarik belajar soal Islam. Dia memborong buku-buku soal Islam dan banyak bertanya. "Ketika teman-teman kuliah main ke rumah dan salat, saya banyak bertanya."
Niatnya belajar soal Islam makin dalam setelah dia berpacaran dengan teman kuliahnya yang seorang muslim. "Tapi pacar saya tidak pernah memaksa saya pindah keyakinan. Mungkin hal itulah yang membuat saya menjalani proses ini dengan lebih enak," kata Maya. Perjalanan Maya berpindah keyakinan ini memang tak gampang. Butuh waktu bertahun-tahun bagi dia untuk meyakinkan diri dan mendapatkan 'restu' dari ibu dan keluarganya.
Pada akhir 2003, dia mengutarakan niatnya belajar soal Islam kepada ayahnya. Jawaban ayahnya tak sesuai harapan Maya. "Bapak cuma menjawab, 'Coba kamu ngomong dengan Ibu,'" kata Maya. Dia tahu ayahnya tak mau mengecewakan ibunya. Butuh waktu lama sebelum akhirnya Maya punya cukup keberanian menyampaikan kepada sang ibu. "Reaksi pertama sudah bisa ditebak. Beliau marah, semarah-marahnya. Beliau tak rela dan mengancam lebih baik beliau mati daripada melihat saya pindah keyakinan.”
Maya sempat menghadapi dilema saat ibunya jatuh sakit, tak berapa lama setelah dia menyampaikan niatnya berpindah keyakinan. Dalam kondisi sakit itulah sikap ibunya mulai melunak. "Ibu saya merestui saya menikah secara Islam, tapi beliau tidak akan hadir saat akad," kata Maya. Namun, saat restu dari ibu sudah diterima, justru ada teman-teman Maya yang tak bisa terima. "Ada yang kirim pesan menghujat saya sebagai orang murtad."
Redaktur/Penulis: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo