Ilustrasi: Edi Wahyono
Senin, 11 Februari 2019Selsa melayangkan ingatannya hampir 32 tahun yang lalu di rumah keluarganya. Ia, yang kala itu masih berusia 17 tahun, dikelilingi beberapa orang, termasuk ayahnya sendiri. Seorang pemuka agama menumpangkan kitab suci di atas kepalanya. Ketegangan melanda dirinya, begitu juga orang-orang di ruang itu. Batinnya berkecamuk. Samar-samar Selsa mendengar doa-doa dipanjatkan.
"Rasanya terombang-ambing seperti naik wahana Kora-kora di Ancol," ujar Selsa saat bercerita kepada detikX beberapa waktu lalu. Tak lama kemudian, ia kehilangan kesadaran. Setelah siuman, Selsa melihat wajah ayahnya yang tampak girang. "Domba yang hilang telah kembali," ayahnya berseru. Ia hanya bisa terdiam dan pasrah. Selsa saat itu ibarat menantang arus di rumahnya sendiri ketika memilih jalan keyakinan yang berbeda dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Selsa memilih masuk Islam, sementara keluarga intinya adalah pemeluk Kristen Protestan.
Kisah Selsa, yang lahir di Jakarta 49 tahun yang lalu, dimulai saat dirinya masih berusia 5 tahun. Neneknya di Temanggung, Jawa Tengah, minta seorang cucu untuk menemani kepada anak perempuannya yang juga ibu kandung Selsa. Ayah kandung Selsa, yang berasal dari Sangihe Talaud, keberatan memberikan putra pertamanya. "Akhirnya, setelah agak besar, saya yang diserahkan kepada Mbah Putri," ujar Selsa, seorang narablog yang juga penyunting naskah di sebuah penerbit.
Ayahnya seorang penganut Kristen yang taat. Saat usia Selsa menginjak 6 tahun, ayahnya menjemputnya ke Temanggung. Ia dibawa pulang sebentar untuk dibaptiskan secara Kristen di gereja. Namun, di Temanggung, Selsa hidup di lingkungan homogen, yang semuanya merupakan keluarga-keluarga muslim. Neneknya seorang muslim yang saleh. Almarhum kakeknya adalah imam di musala kampung.
Kehidupan di kampung tempat tinggal neneknya begitu religius. Setiap sore anak-anak di kampung diharuskan belajar mengaji, baik di rumah maupun di musala. Selsa pelan-pelan ikut belajar, ikut-ikutan kawan sepermainannya. Di sekolah pun ia mengikuti pendidikan agama Islam. "Tapi Mbah tidak pernah mengharuskan saya untuk ikut belajar mengaji atau salat," katanya. "Beliau membiarkan saya mencari sendiri apa yang harus saya jalani untuk ketetapan iman dalam mendekatkan diri kepada Sang Pencipta."
Baca Juga : Pindah Keyakinan Mengapa Dipersoalkan
Ilustrasi
Foto: dok. Getty Images
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, Selsa menjalani ibadah secara Islam. "Walaupun saya dibaptis, saya tak pernah ke gereja," katanya. Sampai ketika ia duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas, orang tuanya menjemputnya untuk berobat di Jakarta. Saat dia masuk lagi ke dalam lingkaran keluarga intinya, Selsa merasa gamang. Setiap hari Minggu ia wajib ikut pergi ke gereja bersama-sama ayah, ibu, kakak, dan empat adiknya. "Tapi ajaran Islam sudah mengendap di dasar hati saya."
Selsa tak berani menunjukkan pilihan keyakinannya secara terbuka kepada keluarganya. Ia tetap salat secara sembunyi-sembunyi. Hingga suatu waktu ayahnya, yang juga anggota pengurus gereja, mengetahui dirinya menjalankan ritual itu. "Papa marah. Ia kemudian memanggil pendeta dan beberapa kawannya untuk menasihati dan mendoakan saya," ujar Selsa. "Namun semua ajaran dan khotbah dari teman-teman Papa tak ada satu pun yang bisa saya cerna dengan baik."
Menurut Mbah, Kakek menyerahkan sepenuhnya pada keadilan Allah. Toh, sebagai orang tua beliau sudah berusaha maksimal mendidik anak-anaknya."
Di tengah pergumulan luar biasa itu, Selsa berbicara kepada ibunya. Ibunya dulu pemeluk agama Islam sebelum menikah dengan ayahnya. "Mak, kenapa sih mau pindah agama? Gara-gara cinta sampai pindah agama, padahal Simbah Kakung itu guru mengaji dan imam musala di kampung." Ibunya menjawab dengan santai, "Wis dadi nasibku kok (Sudah jadi nasibku)." Selsa hanya bisa diam dan tak pernah menanyakan hal itu lagi kepada ibunya.
Kepada neneknya, Selsa juga bertanya hal serupa. "Mengapa Emak dibolehin pindah agama?" Neneknya menjawab, "Sebagai orang tua, ya penginnya anak tetap mengikuti agama orang tua, tapi mbah kakungmu tidak berdaya. Segala upaya sudah dicoba agar emakmu nggak pindah keyakinan, tapi sudah nasib." "Menurut Mbah, Kakek menyerahkan sepenuhnya pada keadilan Allah. Toh, sebagai orang tua, beliau sudah berusaha maksimal mendidik anak-anaknya dengan bekal agama yang baik," Selsa menuturkan.
Tak seperti bersalin baju atau berganti kendaraan, yang bisa kelar dalam beberapa detik atau menit, berganti agama bukan urusan sederhana. Proses memeluk keyakinan baru ini, apa pun latar belakang dan alasannya, biasanya lewat proses yang sangat panjang dan kadang sangat menyakitkan. Tak cuma mesti menghadapi tekanan dan ‘ancaman’ dari keluarga terdekat, tapi juga harus menutup telinga dari caci maki orang sekitar. Butuh waktu sangat lama untuk meyakinkan diri, juga meyakinkan orang-orang di sekitar, sebelum akhirnya memutuskan berpindah keyakinan.
Konstitusi negara ini jelas menjamin kebebasan setiap orang memeluk agama yang dia yakini. Menurut Pasal 28E ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya". Pada Pasal 29 UUD 1945 juga ditegaskan bahwa, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu". Banyak orang 'menemukan' agamanya mengikuti jalan yang sudah ditempuh orang tuanya. Jadi mengapa orang yang memilih keyakinannya sendiri harus dipersoalkan?
Ilustrasi
Foto: dok. Getty Images
Tak tahan lagi menanggung beban batin, Selsa mengumpulkan keberanian untuk berbicara tentang pilihan keyakinannya. Kepada ayahnya, Selsa mengaku benar-benar tak bisa meninggalkan ajaran Islam. "Saya juga bilang kepada Papa bahwa agama itu adalah sepenuhnya milik hati, jadi agama itu merupakan pilihan hati," katanya. Ayahnya tetap tak bisa menerima pilihan Selsa. Selsa memilih kembali ke rumah neneknya di Temanggung.
Hingga akhirnya Selsa berpacaran dengan seorang pemuda muslim tetangga kampungnya. Ketika mereka memutuskan akan menikah, Selsa menyurati ayahnya untuk minta persetujuan. "Tiap dua minggu saya kirim surat ke Jakarta, tapi tak kunjung dibalas," katanya. Tanpa restu dari orang tua kandung, Selsa melangsungkan pernikahan. "Menurut penghulu, kami bisa nikah dengan wali hakim. Sebulan kemudian, Ayah datang ke Temanggung dan marah besar."
Kemarahan ayahnya bertahan hingga bertahun-tahun. Namun tak demikian dengan ibu dan saudara-saudaranya. Abang tertuanya selalu membesarkan hatinya. "Kakak sulung saya mengatakan, ‘Kamu mau Islam atau Kristen terserah. Yang penting kamu benar-benar menjalaninya dengan baik’," kata Selsa. Sikap ayahnya baru melunak setelah Selsa dan suaminya pindah ke Cilegon dan anak pertama mereka berusia 3 tahun. "Papa akhirnya mau datang ke rumah dan bermain dengan cucu lelakinya."
Sejak itu, hubungan ayah-anak itu membaik. Selsa dan suami rutin membawa anak-anaknya mengunjungi rumah keluarga di Jakarta. "Hubungan kami dengan keluarga inti sangat baik meski saya memilih jadi muslim," katanya. Selsa pun membesarkan tiga anaknya dengan didikan bahwa ada saudara-saudara mereka yang memang berbeda keyakinan. Hubungan darah, kata Selsa, tak boleh terputus hanya karena perbedaan. "Untuk persoalan agama, saya bilang, ‘Lakum dii nukum wa liya diin’ kepada anak-anak."
Selsa pun tak khawatir kalau anak-anaknya mengunjungi rumah saudara-saudaranya. "Om dan tantenya, kalau dengar suara azan, anak saya langsung disuruh salat," katanya. "Hanya, yang sering bermasalah itu dengan keluarga besar Papa." Terkadang, saat mendapat masalah, Selsa mendapat cibiran bahwa cobaan itu merupakan 'buah dari perbuatan murtad'. "Namun saya tak pernah menghiraukan kata-kata mereka yang menyudutkan saya atas pilihan hati saya ini."
Redaktur/Penulis: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo