Ilustrasi: Edi Wahyono
Minggu, 10 Februari 2019“Dia seorang Katolik yang buruk, seperti seorang pastor saja,” kata Rendra soal ayahnya. Rendra, seniman besar itu, lahir sebagai Willibrordus Surendra Broto Rendra. Ayah dan ibunya keturunan ningrat. Sang ayah, Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo, seorang guru di Yayasan Kanisius di Kota Solo dan seorang Katolik yang amat saleh.
Ayahnya mendidik Rendra dengan ketat dalam soal agama. Sejak TK hingga SMA, dia selalu dikirim ke sekolah Katolik di Solo. Tapi bocah Rendra bukan anak yang bisa tahan lama berdiam diri dan patuh tanpa membantah. Sejak masih bocah, Rendra memang seorang pemberontak. Dia menemukan pelepasan dan kebebasan dalam teater. “Pak Broto sebenarnya senang akan bakat anaknya, tapi dia tak mau anaknya ngeluyur terus,” DS Moeljono, sobat masa kecil Rendra, menuturkan, dikutip majalah Tempo pada Maret 1971.
Demi ‘menertibkan’ Rendra, bahkan ayahnya pernah mengusirnya dari rumah dan meminta kepala sekolah menskorsnya. Seperti biasa, seorang pemberontak tak bisa ‘ditertibkan’ dengan hukuman seperti itu. Rendra terus membangkang. Pada ibunya, Raden Ayu Catharina Ismadillah, Rendra menemukan orang yang sepenuh hati mendukungnya. Kasih sayang sang ibu yang terus dia kenang seperti dia tuangkan dalam puisinya, Balada Orang-orang Tercinta.
Rendra orang yang selalu ‘gelisah’, termasuk dalam urusan agama. Dalam puisinya, Nyanyian Angsa, yang dia tulis saat bersekolah di Amerika Serikat pada 1965, dia berkisah soal Maria Zaitun, seorang pelacur yang sudah berumur. Rendra tak cuma mengkritik kelakukan seorang dokter yang tak peduli kepada Maria Zaitun lantaran tak punya duit, tapi dia juga menyoroti Gereja Katolik yang ‘menutup pintunya’ dari sang pelacur yang butuh uluran pertolongan.
Rendra saat itu masih seorang Katolik. Dia sudah menikah dengan Sunarti Suwandi dan dikaruniai beberapa anak. Rendra, seperti dia akui sendiri, memang orang yang selalu mempertanyakan banyak hal di sekitarnya, termasuk urusan tradisi dan keyakinannya. Dia orang yang selalu resah dengan keyakinannya.
Baca Juga : Kisah Selsa di Antara Dua Agama
Ilustrasi
Foto: dok. Getty Images
“Selama di Amerika, dia mulai mencari agama yang dirasakan lebih pas dengan jiwanya. Dia mempelajari agama Buddha, juga mulai menaruh perhatian pada Islam,” kata sastrawan Ajib Rosidi, sobat Rendra sejak SMA, dalam bukunya, Mengenang Hidup Orang Lain. Ketertarikan pada Islam itu terus berlanjut. “Setelah kembali ke Tanah Air, dia banyak bertanya soal Islam kepada saya dan teman-teman.”
Sedikit-banyak, Ajib menduga, pementasan naskah Barzanji, yang diterjemahkan oleh Syubah Asa pada 23 Juni 1970, makin mendekatkan Rendra kepada Islam. Hingga akhirnya Rendra mengucap dua kalimat syahadat dan memeluk Islam pada beberapa waktu setelah pentas Kasidah Barzanji. Bertahun-tahun kemudian, setiap kali kapan dan di mana persisnya dia membaca syahadat, Rendra acap bilang bahwa dia membacakannya di Pantai Parangtritis, Yogyakarta.
“Dengan meneriakkannya ke langit, langsung ke hadirat Allah,” Ajib mengutip kata-kata sahabatnya. Namun, menurut Ajib, Rendra ‘resmi’ membacakan syahadat di depan Kiai Ghafar Ismail bertempat di rumah penyair Taufiq Ismail. “Taufiq berdua dengan saya membuat kesaksian soal hal itu.”
Saat ada yang bertanya, apa yang akhirnya membuat Rendra menjadi seorang muslim, Si Burung Merak bingung menjawabnya. “Sukar diterangkan. Terus terang, sebenarnya tak bisa diterangkan. Saya sendiri tidak tahu bagaimana menerangkannya dengan kata-kata. Ini masalah panggilan. Tapi ini juga misteri bagi saya,” kata Rendra kepada majalah Tempo kala itu. Dia secara resmi menjadi seorang muslim beberapa saat sebelum dia menikahi Sitoresmi Prabuningrat, istri keduanya. “Waktu saya menikah dan mengucapkan syahadat, tiba-tiba saya merasa terbebas. Tiba-tiba saya merasa seperti berada di bawah pohon teduh dan saya enggan pergi dari situ.”
Tak sedikit orang nyinyir yang menduga alasan Rendra jadi muslim hanya demi bisa menikahi Sitoresmi. Namun Ajib yakin bukan alasan itu yang jadi pertimbangan sahabatnya itu memeluk Islam. Sebagai orang yang menyaksikan pergulatan batin Rendra, Ajib percaya, ada hal lebih dalam yang membuat Si Burung Merak beralih keyakinan.
Beberapa waktu setelah menikahi Sitoresmi, Rendra mengutarakan keinginannya pergi ke Tanah Suci untuk berhaji. "Saya ingin betul naik haji, menghayati peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Islam. Tentunya tidak untuk pergi ke sana sebagai turis," kata Rendra. Keinginan itu baru tertunaikan bertahun-tahun kemudian, justru setelah dia berpisah dengan Sitoresmi dan Sunarti Suwandi.
Waktu saya menikah dan mengucapkan syahadat, tiba-tiba saya merasa terbebas. Tiba-tiba saya merasa seperti berada di bawah pohon teduh dan saya enggan pergi dari situ."
WS RendraIlustrasi
Foto: dok. Getty Images
Ada rupa-rupa alasan dan jalan orang berganti keyakinan. Sebagian besar, meski tak ada data yang pasti, kemungkinan besar lantaran terkait pernikahan. Seperti yang terjadi pada penyanyi Ovi Sovianti, Asmirandah, dan beberapa tokoh yang jadi bahan pemberitaan beberapa pekan terakhir.
Meski tak banyak angkanya, ada pula yang berpindah agama lantaran ‘proses pencarian’ yang bersangkutan. Seperti Gayatri, bukan nama sebenarnya. Dia tumbuh besar di lingkungan nonmuslim dalam keluarga keturunan Tionghoa. Sebelum berkuliah, dia melewatkan masa SMP dan SMA di sekolah Katolik di Yogyakarta.
Setelah dewasa, dia memutuskan menjadi seorang mualaf. Tapi sayang, Gayatri enggan bercerita bagaimana dia ‘bertemu’ dengan Islam. “Buatku, itu urusanku dengan Yang di Atas. Jadi pribadi sekali,” kata dia. Meski dia menjadi muslimah di antara pemeluk agama Kristen dalam keluarganya, hal itu tak jadi masalah. Mereka bisa saling menghargai.
Tak seperti bersalin baju atau berganti kendaraan yang bisa kelar dalam beberapa detik atau menit, berganti agama bukan urusan sederhana. Proses memeluk keyakinan baru ini, apa pun latar belakang dan alasannya, biasanya lewat proses yang sangat panjang dan kadang sangat menyakitkan. Tak cuma mesti menghadapi tekanan dan ‘ancaman’ dari keluarga terdekat, tapi juga harus menutup telinga dari caci maki orang sekitar.
Itulah yang terjadi dengan Maya, juga bukan nama sebenarnya, saat dia mengutarakan niatnya menjadi seorang muslim kepada ibunya lebih dari sepuluh tahun silam. Ibunya memang seorang Kristen yang taat. “Reaksi pertama sudah bisa ditebak. Beliau marah, semarah-marahnya. Beliau tak rela dan mengancam lebih baik beliau mati daripada melihat saya pindah keyakinan,” Maya, ibu dua anak dari Surabaya, menuturkan kisahnya.
Konstitusi negara ini jelas menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agama yang dia yakini. Menurut Pasal 28E ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya". Pada Pasal 29 UUD 1945 juga ditegaskan bahwa, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu". Banyak orang 'menemukan' agamanya mengikuti jalan yang sudah ditempuh orang tuanya. Jadi, mengapa orang yang memilih keyakinannya sendiri harus dipersoalkan?
Baca Juga: Rio dan Maya Mencari Tuhan-nya
Abdul Chalid Salim, adik Haji Agus Salim
Foto: repro buku Lima Belas Tahun Digul
Keyakinan baru itu kadang muncul di tempat tak terduga. Itulah yang terjadi pada Abdul Chalid Salim dan Abdul Wadud Karim Amrullah. Mereka berdua berasal dari keluarga muslim yang religius. Chalid Salim merupakan adik kandung Haji Agus Salim, tokoh pergerakan nasional dan Sarekat Islam. Sementara itu, Abdul Wadud adalah adik tiri berlainan ibu dari tokoh Islam kondang, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau lebih dikenal sebagai Hamka. Mereka menempuh jalan spiritual berbeda, tapi bermuara di tempat yang sama. Keduanya akhirnya memutuskan menjadi umat kristiani.
Seperti sang kakak sulung, sejak muda Chalid Salim aktif di gerakan perjuangan melawan penjajah Belanda. Mereka sama-sama aktif di Sarekat Islam. Namun Chalid, yang seorang wartawan, lebih condong ke kelompok kiri. Dia bekerja di harian Halilintar Hindia yang 'kekiri-kirian' dan kemudian koran Proletar yang juga berhaluan kiri. Selama menjadi orang kiri ini, Chalid mengakui menjadi ateis. Sebagai seorang komunis, kata Chalid, tak masuk akal jika Tuhan itu ada.
Aku sangat menghargai dia yang sama sekali tidak berusaha menasranikan diriku."
Buah dari aktivitasnya sebagai pejuang pergerakan, Chalid ditangkap dan diasingkan ke Digul, Papua, pada 1928. Di tengah belantara Papua itulah Chalid mulai merenungkan soal agama. Soekarjo Prawirojoedo, teman di pengasingan, memperkenalkannya kepada agama Katolik. Soekarjo memberinya kitab suci dan beberapa buku soal ajaran Katolik. Sebelumnya, Chalid memang sudah merasa tersentuh melihat para misionaris yang suka rela masuk hutan Papua untuk memperkenalkan agama Kristen. "Karena dorongan iman, mereka sama sekali tidak cemas terhadap semua marabahaya di sekitarnya," Chalid menuliskan pengalamannya dalam bukunya, Lima Belas Tahun Digul.
Ada satu misionaris yang akrab dengannya, Pater Meuwese. "Dialah satu-satunya orang Belanda di Tanah Merah, Digul, yang menegur saya dengan sopan. Dan aku sangat menghargai dia yang sama sekali tidak berusaha menasranikan diriku," kata Chalid. Justru dialah yang meminta Pater Meuwese mengajarinya soal agama Katolik. Pater Meuwese tak langsung mengiyakan, bahkan memperingatkan Chalid Salim. "Tidak sadarkah Anda, Tuan Salim, konsekuensi dari langkah Anda? Perlu Anda ingat bahwa ada kemungkinan bahwa sanak saudara-saudara Anda yang beragama Islam akan memutuskan semua hubungan kekeluargaan." Namun, kata Salim, tekadnya menjadi seorang Katolik sudah bulat.
Saudara-saudaranya, Chalid menuturkan, tak mencaci makinya meski dia berubah keyakinan. Bahkan bertahun-tahun kemudian, saat kakak sulungnya, Haji Agus Salim, mengunjunginya di Belanda, dia berkata, "Aku bersyukur akhirnya kamu percaya kepada Tuhan. Dan pilihanmu tentu sudah menjadi takdir Ilahi," kata Agus Salim.
Abdul Wadud, yang belakangan lebih dikenal sebagai Willy Amrull, menempuh perjalanan yang sangat panjang hingga akhirnya berubah keyakinan, menjadi seorang Kristen, bahkan kemudian menjadi seorang pendeta. Dalam bukunya, Sumatran Warrior: Mighty Man of Love and Courage, Willy menuturkan kisah hidupnya. Lewat istrinya, Vera George, Willy kenal agama Kristen. Semula urusan perbedaan iman di antara mereka acap kali jadi sumber pertengkaran. Bahkan Willy pernah mengusir istrinya yang berasal dari Amerika Serikat. "Pergi dan tinggalkan aku. Kembalilah ke Amerika," kata Willy. Pada 1983, dua tahun setelah kakak tirinya, Hamka, berpulang, setelah melewati pergulatan panjang, Willy dibaptis menjadi seorang Kristen.
Redaktur: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo