INTERMESO

Melongok
Waduk Karian, Lebak

Warga Kampung Sepang, Desa Pejagan, kini terkucil. Daerah yang terkena dampak pembangunan Waduk Karian itu memilih bertahan karena ganti rugi yang diberikan, menurut mereka, tidak rasional.

Foto: Ibad Durohman

Rabu, 31 Mei 2017

Urunan batu kali yang telah dipotong-potong dalam setahun belakangan ini menjadi tradisi di Kampung Sepang, Desa Pejagan, Kecamatan Sajira, Lebak, Banten. Batu-batu sebesar kepalan tangan itu digunakan untuk melapisi jalan di kampung di ujung Desa Pejagan yang becek karena belum tersentuh aspal.

“Tiap rumah nyumbang tiga karung batu kali yang sudah dipotong sebesar kepalan tangan setiap bulan,” kata Bobby, warga Sepang, saat ditemui tim detikXpedition yang singgah di kampung tersebut.

Menurut Bobby, swadaya warga membangun jalan sengaja dilakukan lantaran pemerintah desa sudah tidak lagi mengurusnya. Sebab, kampung itu masuk dalam wilayah yang terkena dampak pembangunan Waduk Karian.

Selain membuat jalan, warga berencana membangun madrasah secara swadaya. Pasalnya kobong (tempat mengaji) anak-anak di kampung itu sudah dijual pemiliknya. Kobong berbahan kayu seluas 6 x 3 meter persegi tersebut selama ini diasuh Ustad Arifin Jamhari.

Palang pintu memasuki kawasan Waduk Karian, Lebak, Banten
Foto: Ibad Durohman/detikX

“Saya tidak punya rumah. Jadi numpang di lahan Bibi sambil dijadikan tempat mengaji. Tapi sekarang kobong ini sudah dijual sama Bibi seharga Rp 8 juta. Ya, pasrah saja,” ucap Arifin.

Sebelum pembebasan lahan, anak didik Arifin berjumlah 40 orang. Tapi sekarang jumlahnya menyusut tinggal 7 anak karena orang tua mereka pindah ke daerah lain. Meski begitu, Arifin masih tetap mengajar ilmu agama meskipun santrinya tinggal segelintir.

Jarnata, Ketua RT 02 Kampung Sepang, Desa Pejagan, menyebutkan, sebelumnya Kampung Sepang dihuni 90 keluarga. Namun sebagian sudah pindah ke Kampung Ciluwuk, yang berjarak sekitar 1 kilometer dari Sepang.

Bapak-bapak, harga tanah lembur (kampung) Rp 20 ribu per meter persegi, tanah leuweung jeung sawah (kebun dan sawah) Rp 12 ribu, setuju tidak?”

“Sisanya belum mau pindah, karena belum diberkas lagi. Yang masih tersisa itu ada 38 keluarga,” ujar Jarnata.

Mereka yang bertahan beralasan, harga yang ditawarkan tidak cukup untuk membeli rumah atau kebun lagi. Awalnya, saat pembebasan mulai dijalankan pada 2010, harga tanah ditawar Rp 12 ribu per meter persegi. Belakangan, harga itu naik menjadi Rp 20 ribu per meter persegi dan lahan sawah atau kebun Rp 10 ribu per meter persegi.

Namun, untuk dibelikan tanah di kampung yang lain, uang tersebut dianggap tidak cukup sehingga warga harus nombok. Jarnata mencontohkan, untuk membeli tanah di Ciluwuk, kampung terdekat, harganya Rp 60-70 ribu per meter persegi. “Yang ada warga jadi nombokin,” ujar Jarnata.

Menurut Jarnata, beberapa warga Sepang yang kadung pindah ke Ciluwuk juga menyesal. Sebab, untuk membangun rumah baru, mereka akhirnya harus menjual sawah dan kerbau. Kepada kami, warga mengaku cemas. Sebab, tahun ini merupakan batas akhir bagi warga Sepang yang tersisa untuk angkat kaki.

Bangunan Madrasah Ibtidaiyah Mathlaul Anwar di Desa Pejagan, Sajira, Lebak, banten yang juga terkena penggusuran untuk pembangunan Waduk Karian.
Foto: Ibad Durohman/detikX

Proses pembebasan lahan di Sepang, menurut Wahibudin, tokoh masyarakat Sepang, memang berjalan sangat alot. Setidaknya sudah lima kali proses negosiasi dilakukan warga dengan Tim 9, yang diketuai Haryono, Asisten Daerah II Provinsi Banten. Rapat pertama, tuturnya, soal pengukuran tanah.

“Di situ saja sudah ada perdebatan. Sebab, warga maunya muncul harga terlebih dulu,” ujar Wahibudin, yang selalu ikut dalam pertemuan-pertemuan itu.

Baru pada pertemuan kedua, Tim 9 menggulirkan harga. Saat itu muncul harga Rp 15 ribu per meter persegi untuk tanah perkampungan yang ada bangunannya. Namun harga itu ditentang Wahibudin dan warga lainnya. Mereka menilai harga tersebut tidak rasional. Tim 9 kemudian menaikkan harga beli menjadi Rp 20 ribu. Namun warga masih menolak. Akhirnya rapat itu ditutup dengan tanpa kesimpulan.

“Kami bukan menolak pembangunan waduk, tapi menolak harga yang ditawarkan,” ujar Wahibudin.

Karena dua kali negosiasi tak membuahkan hasil, pada pertengahan 2013 Wahibudin dipanggil Bupati Lebak, yang saat itu dijabat Jayabaya. Dalam pertemuan di rumah Jayabaya, Wahibudin menjelaskan bahwa sebagian besar warga Sepang rumahnya berukuran 150 meter persegi. Jika warga diberi ganti rugi Rp 20 ribu, uang yang didapatkan Rp 3 juta.

Seorang warga Pejagan, Lebak, bersantai di balai-balai rumahnya. 
Foto: Ibad Durohman/detikX

“Sedangkan harga kaveling di kampung terdekat pada saat itu (2013) Rp 8 juta. Jadi warga harus nombok Rp 5 juta. Apalagi sekarang harganya sudah naik berkali lipat,” urai Wahibudin di hadapan Bupati Lebak saat itu.

Setelah Wahibudin mengeluarkan unek-uneknya, Jayabaya pun memaklumi penolakan warga tersebut. Namun saat digelar pertemuan ketiga bersama Tim 9, pertemuan dengan Jayabaya rupanya tidak menunjukkan perubahan. Malah dalam rapat itu, Tim 9 menunjuk salah seorang kiai untuk jadi moderatornya. Dan saat itu kiai tersebut malah melegitimasi harga Rp 20 ribu.

“Bapak-bapak, harga tanah lembur (kampung) Rp 20 ribu per meter persegi, tanah leuweung jeung sawah (kebun dan sawah) Rp 12 ribu, setuju tidak?” kata Wahibudin menirukan ucapan kiai tersebut kala itu. Namun, saat warga Sepang ingin mengajukan protes, kata Wahibudin, warga lain entah dari mana berteriak “setuju”.

Ketua Tim 9 Haryono pun langsung ketok palu dan mengatakan warga yang setuju dengan hasil rapat akan dibayar lewat mekanisme yang ada. Sedangkan bagi yang tidak setuju, warga akan melewati mekanisme pengadilan.

Putusan Tim 9 soal harga sampai sekarang belum ada perubahan meskipun Camat Sajira berulang kali datang menyerap aspirasi warga Sepang. Belum beresnya pembebasan lahan di Sepang diakui Dudung, Kepala Desa Pejagan. “Biasa itu mah. Yang menolak sebagian kecil ada, yang pengin cepat-cepat pindah juga ada,” jawab Dudung.

Aliran Sungai Ciberang yang bakal mengisi Waduk Karian di Lebak, Banten 
Foto: Ibad Durohman/detikX

Dijelaskan Dudung, area di Pejagan yang terkena dampak Waduk Karian seluas 500 hektare. Pembebasan lahan dilakukan sejak 2008. Titik awal pembangunan waduk adalah Desa Sindang Mulya, Sajira.

Sebelumnya, kami sempat mendatangi lokasi pembangunan waduk tersebut. Dari jalan raya Rangkasbitung-Bogor, tepatnya di Desa Sindang Mulya, lokasi tersebut mesti ditempuh sejauh 5 kilometer dengan membelah perkebunan kelapa sawit.

Namun saat ingin memasuki lokasi proyek dan bertanya-tanya, seorang petugas satpam dan prajurit TNI yang berjaga tidak memperkenankan kami masuk. “Maaf, tidak bisa masuk, harus ada izin dulu dari dalam. Jangankan wartawan, orang dari Bappenas saja kemarin tidak boleh masuk,” kata seorang satpam yang mengaku bernama Agung.

Menurut Agung, aktivitas di sana saat ini baru proses pembuatan sodetan sungai. Pembangunannya sudah berjalan 80 persen.

Sedangkan pembangunan waduk belum dilakukan. Targetnya dua tahun ke depan selesai. ”Tapi kayaknya 5 tahun ke depan juga belum beres,” ujar Agung tanpa menjelaskan alasannya.

Tapi, menurut Dudung, peletakan batu pertama pembangunan Waduk Karian akan dilakukan 2018 oleh Presiden Joko Widodo. Kontraktor pembangunan waduk adalah perusahaan asal Korea Selatan. Dudung kembali menjelaskan, ada tiga kampung di Desa Pejagan yang bakal tergusur. Sedangkan desa lain jumlahnya lebih banyak, seperti Desa Tambak, yang seluruhnya terkena pembebasan lahan alias warga harus bedol desa.

Warga memandikan kerbau di Sungai Ciberang yang bakal menjadi sumber air Waduk Karian.
Foto: Ibad Durohman/detikX

Menurut Dudung, jika kawasan waduk itu sudah diairi, cerita Kalimaya di Kecamatan Sajira akan lenyap. Sebab, seluruh lahan yang saat ini terdapat aktivitas tambang Kalimaya terkena dampak pembangunan waduk tersebut.

Meski begitu, lenyapnya penambangan Kalimaya tidak begitu berdampak pada masyarakat Pejagan.

“Yang masih produktif itu di Kecamatan Maja sama Desa Tambak, Pak. Di Pejagan sudah nggak lagi. Saya biasanya ngelobang (menambang), sekarang sudah nggak,” tutur Dudung.

Soal bakal musnahnya Kalimaya di Sajira juga dikatakan Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya. Menurut Iti, Kalimaya di Sajira akan tenggelam. Begitu juga di sebagian Curug Bitung.

Menurutnya, pembangunan Waduk Karian setidaknya akan menggerus 3.200 hektare yang berada di lima kecamatan. Dan saat ini, pembebasan lahan baru sekitar 44 persen dari target seluas 2.170 hektare. 

Pembangunan Waduk Karian, yang menelan biaya Rp 1,07 triliun, bertujuan memasok air baku (air minum) untuk masyarakat DKI Jakarta, Bogor, dan Banten. Karena itu, Iti berharap pembangunan waduk juga bisa bermanfaat langsung untuk warga Lebak. Setidaknya Kabupaten Lebak bisa memperoleh pendapatan daerah ketika waduk beroperasi.

Simak terus kisah perjalanan detikXpedition lainnya di sini:


Reporter: Ibad Durohman, M. Rizal
Redaktur: Deden Gunawan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE