INTERMESO

Ketika Tanah Baduy Terasa Kian Sempit

Generasi Baduy satu per satu hengkang. Tanah ulayat tak lagi cukup untuk digarap.

Foto: Muhammad Zaky Fauzi Azhar/detikX

Rabu, 7 Juni 2017

Ayah Armah masih segar mengingat saat anaknya, Agus, berganti ikat kepala. Pemuda asal Kampung Cikertawana, Baduy Dalam, itu sudah memakai baju jamang kampret dan ikat kepala berwarna biru saat ditemuinya di kawasan Baduy Luar beberapa waktu lalu.

Selaku pemuda Baduy Dalam, Agus seharusnya memakai baju putih-hitam jamang kurung dan ikat kepala putih. Ayah Armah sama sekali tak tahu keputusan anaknya menjadi Baduy Luar dengan cara Ngarungga.

“Eta ngarana lamun di kami Ngarungga. Tanpa izin bae pokona mah. Hukuman 40 puluh poe. Geus kitu mah kitu bae (Laku seperti itu disebut Ngarungga, keluar tanpa izin. Dan hukumannya 40 hari. Sudah begitu mah, ya, begitu),” ujar Ayah Armah.

Saat itu Kamis, 11 Mei 2017, tim detikXpedition tengah beristirahat sepulang dari Baduy Dalam menuju Kampung Cijahe, Desa Kebon Cau, Kecamatan Bojongmanik, Lebak, Banten. Ayah Armah, warga Kampung Cikertawana, yang turut mengiringi kami, bercerita tentang anaknya yang merantau.

Awalnya Agus tengah dimintai bantuan oleh Ki Pantun, kakak Ayah Armah, membawakan beberapa daun untuk persiapan sunatan. Ki Pantun sendiri sudah memilih jalan hidupnya untuk tinggal di Baduy Luar. Tiga hari ditunggu, Agus tidak kunjung pulang, tahu-tahu sudah berganti pakaian.

Ayah Armah
Foto : Muhammad Zaky Fauzi Azhar/detikX


Waktu lama panennya 6 bulan. Di sela-sela itu dimanfaatkan untuk tanaman yang sifatnya jangka pendek dan jangka panjang, seperti menanam kayu, pisang, dan ubi.”

Tak ada kekecewaan dalam diri Ayah Armah. Ia tetap sayang pada anaknya. Agus pun dibekali mantra keyakinan hidup. “Ku kami geh dibekelan keur mun di diemah jeung bismillah kitu (Saya bekali dia, kalau orang sini menyebutnya bismillah),” katanya.

Agus adalah anak kedua dari enam bersaudara. Ia, kata Ayah Armah, satu-satunya anak yang menjadi Baduy Luar. Ayah Armah tak pernah membekali anaknya dengan ajaran leluhur. Ia mengajari anaknya melalui dongeng dan praktik di ladang, dan sesekali diselingi pantun-pantun khas Baduy.

Dongeng terpenting adalah tentang berladang. Menurut Ayah Armah, anaknya bisa bertahun-tahun menamatkan dongeng adat agar terserap dalam kehidupan. “Nungtut ieu etamah. Teu bisa disakaliguskeun. Lamun lempang tea mah rek liwat 2 gunung, sagunung heula lah,” jelasnya.

Sayang, ia enggan mencontohkan salah satu dongeng adat milik Baduy. Sesaji harus disediakan untuk setiap dongeng. Apalagi jika ingin menamatkan, harus ada congcot (sesaji), seperti ujung nasi kebuli sebagai syarat meluluskan.

Video : Muhammad Zaky Fauzi Azhar/detikX

Menjadi Baduy Luar sebetulnya sama saja dengan Baduy Dalam. Perbedaan menonjol hanyalah dari sisi pakaian dan beberapa aturan adat. Kewajiban turut serta dalam bertani untuk keperluan adat tetap berlaku. Mereka harus ikut serta menggarap tanah ulayat yang dikelola adat di Baduy Dalam sesuai asal kampungnya.

Sistem pertanian ini masih mengandalkan tadah hujan. Padi pun ditanam di lahan kering dan dipanen selama setahun. Sehingga kerja penggarapan tanah adat hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu.

Bulan Sapar adat Baduy adalah awal dimulainya penggarapan lahan pertanian. Lahan pertama yang digarap huma Serang. Huma ini pengerjaannya dilakukan secara gotong-royong oleh seluruh warga Baduy, baik dari Cibeo, Cikertawana, maupun Cikeusik, dan hasilnya untuk keperluan adat. Penanaman padi untuk pribadi tidak boleh mendahului huma Serang ini.

Wakil dari Jaro Tangtu atau biasa disebut Jaro Parawari, Ayah Mursyid, menyebutkan ngahuma di Baduy dilakukan sederhana. Alat-alat pertanian yang diperbolehkan hanya kujang (sejenis arit), golok, kored untuk membersihkan rumput, dan pangasit untuk melubangi tanah.

“Waktu lama panennya 6 bulan. Di sela-sela itu dimanfaatkan untuk tanaman yang sifatnya jangka pendek dan jangka panjang, seperti menanam kayu, pisang, dan ubi,” ujarnya.

Suasana di terminal Ciboleger. Warga Baduy tampak menaiki angkutan umum.
Foto : Muhammad Zaky Fauzi Azhar/detikX

Ayah Mursyid memiliki kekhawatiran. Kebutuhan lahan Baduy terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi. Hak ulayat adat Baduy seluas 5.136,8 hektare sudah tidak mencukupi untuk penghidupan penduduk Baduy, yang setiap tahun meningkat.

Apalagi pemanfaatan lahan itu masih dibatasi dengan berbagai aturan seperti peruntukan hutan larangan dan sasaka domas (tempat yang disucikan bagi Baduy). Orang Baduy, lebih-lebih orang luar, tak boleh menginjak dan memanfaatkan lahan seluas 3.000 hektare ini.

Padahal pada 1997, wilayah Baduy terdiri atas 35 kampung. Saat ini peningkatannya mencapai dua kali lipat, yakni 65 kampung, dengan sekitar 12 ribu jiwa.

Tak aneh jika Baduy Luar mencari tempat alternatif berladang di luar Desa Kanekes. Mereka menjadi penggarap lahan di kecamatan lain, seperti Sajira, Cimarga, Gunung Kencana, Cibeber, Cirinteun, Cimarga, Leuwidamar, Muncang, dan Sobang.

Jarak tempat-tempat tersebut mencapai puluhan kilometer dari Kanekes. Tak mengherankan jika setiap pagi banyak warga Baduy Luar berangkat dari Ciboleger menggunakan angkutan umum untuk pergi ke ladang mereka.

Sementara warga Baduy Luar bisa keluar dari daerah Desa Kanekes untuk berladang, warga Baduy Dalam dilarang membuka ladang di luar kawasan ulayat. Sebagai gambaran, di Kampung Cibeo, Baduy Dalam, saat ini saja ada 98 keluarga dengan jumlah penduduk hampir 600 jiwa. Di tambah dengan Cikertawana dan Cikeusik, ada lebih dari 1.000 jiwa.

“Dulu satu keluarga 1 hektare lebih, sekarang sudah nggak bisa. (Sedangkan) ngahuma itu wajib, hasilnya dibawa ke ritual adat, seperti Kawalu, Seba, untuk keperluan adat. Untuk kebutuhan sehari-hari, kita berusaha dengan hasil bumi lain atau kerajinan,” ujar Ayah Mursyid.

Ayah Mursyid
Foto : Muhammad Zaky Fauzi Azhar/detikX

Masalah sempitnya lahan inilah yang barangkali membuat Agus hengkang dari Baduy Dalam. Sempitnya lahan dan kian susahnya mencari penghidupan membuat generasi penerus Baduy putar akal.

Agus kini tinggal di Kampung Kaduketer, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten. Ia memiliki lahan garapan yang biasa ditinggalinya di Desa Cikapek, Kecamatan Leuwidamar. Namun sewaktu-waktu ia mencari nafkah dengan menjadi karyawan toko di Mampang, Jakarta Selatan.

Masalah lahan ini menjadi ironi bagi Baduy. Jaro Tangtu Kampung Cibeo, Baduy Dalam, Jaro Sami, menyebutkan ngahuma (berladang) merupakan rukun adat budaya Baduy. Amanat pikukuh karuhun, kata dia, adalah seorang Baduy ngahuma atau berladang. Jika tidak melaksanakan hal itu, orang tersebut tidak melaksanakan adat dan budaya.

“Ngukus ngawalu mujang ngalaksaka ka lanjakan ka pundatan tea eta rukun ngahuma, termasuk rukun adat Baduy,” ujar Jaro Sami.

Masalah ini sudah berkali-kali disampaikan kepada pemerintah saat digelar Seba, yang diselenggarakan setahun sekali. Namun masalah ini tak kunjung menemui jalan keluar. Saat upacara Seba pada 29 April 2017, Bupati Lebak Iti Octavia berjanji mengupayakan lahan seluas 1.200 hektare, HGU milik swasta di Kecamatan Leuwidamar, untuk kebutuhan pertanian warga Baduy. Kini mereka masih menunggu dengan cemas, alat pertanian mereka kian jarang dipakai.

Simak terus kisah perjalanan detikXpedition lainnya di sini:


Reporter: Bahtiar Rifai, Aryo Bhawono
Redaktur: Aryo Bhawono
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE