INTERMESO

Dari Ojek ‘Onglin’ sampai Miryam E-KTP di Baduy

Rasa ingin tahu warga Baduy Dalam terhadap dunia luar sangat besar. Perubahan mengintip kehidupan mereka.

Kampung Cisadane, Baduy Luar

Foto: Muhammad Zaky Fauzi Azhar/detikX

Rabu, 31 Mei 2017

Bulan purnama menggantung di langit Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten. Sepi menyergap kampung itu begitu matahari tenggelam. Suara gelak tawa, perbincangan keluarga, hingga teriakan bocah tertahan dinding kayu rumah panggung.

Langit malam terasa terang namun hanya menyisakan temaram di kampung dengan jumlah penduduk 98 keluarga itu. Satu-satunya kehidupan di luar rumah hanya pos ronda di dekat alun-alun kampung. Cahaya merah dari tungku menyaput enam peronda berikat kepala putih.

Pos ronda itu menempel pada bagian belakang rumah panggung seorang warga di samping tanah lapang yang terbentang panjang dari arah utara ke selatan di sisi timur Kampung Cibeo. Itulah alun-alun kampung. Biasanya warga berkumpul di sana saat ada kegiatan.

Di sisi utara berdiri sebuah balai pertemuan. Sedangkan di sisi selatan terdapat rumah puun, raja Baduy Kampung Cibeo. Sekitar 15 meter dari rumah puun merupakan wilayah steril, tak semua orang boleh berada di sana, termasuk kami.

Ayah Mursyid
Foto: Muhammad Zaky Fauzi Azhar/detikX


Selatan adalah arah keramat, kiblat bagi orang Baduy. Rumah puun selalu paling selatan. Tak ada yang boleh sejajar ataupun lebih selatan lagi.”

Puun adalah penguasa tertinggi kampung. Ahmad Yani dalam bukunya, Etnografi Baduy, menyebutkan, di bawah puun, ada struktur pemerintahan bernama seurat, yang membantu mengurus huma (ladang) puun; baresan salapan, yang menjaga keamanan; jaro tangtu, yang mengurusi adat; dan lainnya.

“Selatan adalah arah keramat, kiblat bagi orang Baduy. Rumah puun selalu paling selatan. Tak ada yang boleh sejajar ataupun lebih selatan lagi,” ucap Ayah Mursyid kepada kami tim detikXpedition.

Lelaki yang rumahnya kami inapi itu mengiringi langkah kami menuju pos ronda. Perut kami penuh selepas makan dan beristirahat sejenak di rumahnya. Kami ingin merasakan keakraban malam di Baduy Dalam.

Jaro Tangtu Kampung Cibeo, Jaro Sami, duduk di tengah peronda. Ia mendapat giliran berjaga malam itu. Kehadiran kami disambut dengan uluran jabat tangan dan perkenalan.

Pembicaraan pun mengalir karena salah satu anggota tim, Bahtiar Rifai, fasih berbahasa Sunda Banten. Jaro Sami dan rekan peronda lainnya banyak menanyakan mengenai perusahaan tempat kami bekerja, detikcom. “detikcom itu apa, ada berapa karyawannya?” tanya Jaro Sami.

Warga Baduy Luar
Foto: Aryo Bhawono/detikX

Awalnya kami ragu menjelaskan bahwa detikcom adalah media online yang diakses melalui internet. Kami yakin Baduy Dalam tidak paham apa itu internet, online, bahkan detikcom. Mereka tak seperti Baduy Luar, yang jemarinya sudah lincah memainkan aplikasi pada layar sentuh telepon seluler.

Kami pun menjelaskan perusahaan kami berdiri bersama stasiun televisi. Hanya, peliputan kami ditampilkan pada ponsel. Mereka mengangguk-angguk tanda paham. “Oh doang anu na TV tea (Kami tahunya televisi saja),” ucapnya. “Aya sabaraha jalema eta dinya?” tanya peronda lain.

Kami berhenti berbicara sejenak, beberapa kata dalam kalimat tanya itu tak dimengerti Bahtiar.

Beberapa kosakata bahasa Baduy memang berbeda dengan Sunda Banten. Setelah bertanya kepada Ayah Mursyid, kami baru tahu bahwa mereka bertanya mengenai jumlah pekerja di perusahaan kami. “Kalau yang kerja di Transcorp (grup perusahaan Trans) ada banyak, ribuan orang.”

Mendengar kata ribuan orang, mereka kaget. Kami pun lantas diberondong pertanyaan, mulai lokasi kantor, suasana kantor, sampai jumlah pembaca setiap hari.

Bagi mereka, kehidupan kompleks perkotaan sangat asing. Kampung ini hanya dihuni oleh sekitar 140 jiwa. Jika tiga kampung Baduy Dalam digabungkan pun, jumlah penduduknya hanya 600-an jiwa.




Warga Baduy Dalam melintas di jembatan bambu
Foto: Muhammad Zaky Fauzi Azhar/detikX

Selama ini orang-orang di struktur pemerintahan adat harus bekerja keras untuk menghidupi warganya. Makanya, jika ada perusahaan yang mampu menggerakkan ribuan karyawan, mereka kaget.

Seorang peronda pernah memiliki pengalaman pelesir hingga daerah Ciputat, Tangerang, Banten. Ia heran terhadap pengendara sepeda motor berjaket hijau. Banyak orang menjelaskan kepadanya mengenai ojek online. Ia pun menanyakan mengenai perusahaan ojek online.

“Ari eta anu boga ojek onglin-onglin saha eta. Pamarentah atau saha?” tanyanya. Ia mengeja “online” dengan pengucapan “onglin”.

Kami pun menjelaskan ojek online merupakan perusahaan yang bermitra dengan ribuan tukang ojek. Sekarang mereka tak hanya berada di sekitar Ibu Kota. Mitra kerja ojek online sudah merambah ke berbagai daerah.

“Heh.... Hebat nyah si eta. Bisaan bae si eta ngatur jalema lobaan nyah (Wah…. Hebat ya orang itu. Bisa mengatur orang banyak, ya),” ujarnya.

Jaro Sami
Foto: Muhammad Zaky Fauzi Azhar/detikX

Bukan hanya itu hal-hal yang mereka jumpai selama pelesir. Kasus dugaan korupsi KTP elektronik sampai juga ke telinga mereka secara sepintas ketika bertandang ke kampung di luar Baduy. “Kalau Miryam-Miryam e-KTP itu saha,” tanya Ayah Mursyid.

Kami pun menjelaskan perihal korupsi yang marak di Jakarta. Pejabat atau wakil rakyat berkelit setelah mengutip uang proyek. Kasus dugaan korupsi e-KTP salah satunya.

Sedangkan Miryam yang dimaksud adalah Miryam S Haryani, salah satu anggota DPR yang terlilit kasus itu. Ia kini duduk sebagai tersangka atas kesaksian palsu.

Dahi mereka berkerut ketika kami menjelaskan seluk-beluk permasalahan korupsi. Bagi Baduy Dalam, ihwal pemerintahan seharusnya sederhana. Penyelenggara pemerintahan adat hanya berpikir soal kesejahteraan warganya. Tapi di kota, masalah ini menjadi lain.

Asep Kurnia, Kepala SMP Negeri 1 Leuwidamar, menyebutkan perbincangan dengan pengunjung, entah wisatawan entah peneliti, membuka mata Baduy terhadap perubahan. Ponsel, misalnya, beberapa tahun belakangan sangat diminati orang Baduy. Mereka berkomunikasi, bahkan berjualan, dengan alat itu.

Warga Baduy Dalam
Foto: Muhammad Zaky Fauzi Azhar/detikX

“Menurut saya, perubahan itu tetap terjadi. Dari rasa ingin tahu seperti obrolan tadi, mereka belajar dan menimbang,” tuturnya.

Obrolan di pos ronda itu berakhir ketika purnama semakin tinggi. Kami berjalan ke rumah Ayah Mursyid. Rumah panggung itu cukup sederhana.

Ruangan di dalamnya hanya tersekat menjadi dua. Satu kamar inti dengan tungku di dalamnya. Satu lagi ruangan berbentuk leter L dan sebuah tungku di pojok.

Kami merebahkan diri di dekat pintu rumah. Lampu damar pelan-pelan meredup. Gelap mengiringi mata kami yang kian sayu dan lama-lama terpejam.

Simak terus kisah perjalanan detikXpedition lainnya di sini:


Reporter: Bahtiar Rifai, Aryo Bhawono
Redaktur: Aryo Bhawono
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE