Foto: Muhammad Takdir
Bukannya sekali... Seringku mencoba.... Namun kugagal lagi... Mungkin nasib ini... Suratan tanganku... Harus tabah menjalani....
Lirik-lirik lagu inilah yang 25 tahun lalu menyihir Adi Fahman. Kala itu dia masih nyantri di salah satu pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur. Adi masih bocah, umurnya baru 7 tahun. Sudah lama bocah itu tergila-gila pada Nike Ardilla.
“Saya sampai masih ingat, pertama kali minta uang kepada orang tua untuk beli kaset Nike Ardilla pada tanggal 5 Juli 1990,” Adi menuturkan kepada detikX beberapa hari lalu. “Saya beli album Bintang Kehidupan, harganya Rp 3.250.”
Adi sangat beruntung. Dua tahun kemudian, penyanyi idolanya itu datang ke Jombang. Disponsori oleh salah satu perusahaan rokok besar, Nike Ardilla bersama Nicky Astria menjalani tur keliling Indonesia. Tapi sayang, pondok pesantrennya melarang para santri “kelayapan” pada malam hari.
Namun, demi Nike, apa saja rela dilakukan Adi dan teman-temannya di pondok. “Demi Nike, kami sampai manjat tembok,” kata Adi. Santri-santri bandel itu kabur dari pondok dan memanjat tembok stadion tempat Nike manggung. “Kami bisa masuk dan sampai bisa mendekati panggung…. Emosinya dapat banget. Saya sampai hampir nangis.” Pulang dari menonton konser Nike, hukuman sudah menanti Adi dan teman-temannya. “Ya nggak jadi masalah demi Nike.”
Kami bisa masuk dan sampai bisa mendekati panggung…. Emosinya dapat banget. Saya sampai hampir nangis.”
Adi Fahman, pengelola Nike Ardilla Fans ClubRestoran Nike Ardilla di Makassar
Foto : Muhammad Takdir
Kini Adi sudah 32 tahun dan bekerja di perusahaan swasta. Satu hal tak berubah: cintanya pada Nike Ardilla. Sekarang, tanpa dibayar, dia menjadi pengelola Fanpage Nike Ardilla dan pengurus Nike Ardilla Fans Club. Dia juga kolektor besar semua hal terkait Nike Ardilla. Untuk mengejar kaset atau cakram album Nike, Adi tak segan terbang ke Singapura, Malaysia, bahkan hingga ke Taiwan.
“Lagunya sih itu-itu saja, cuma cover-nya beda dan perusahaan yang merillis beda,” kata Adi. Salah satu koleksinya yang paling “berharga” adalah cakram Duri Terlindung yang diproduksi di Malaysia. Adi membeli album lawas itu dengan harga Rp 3 juta.
Raden Rara Nike Ratnadilla Kusnadi alias Nike Ardilla meninggal 22 tahun lalu. Pada pagi selepas subuh, 19 Maret 1995, mobil yang dikendarai Nike bersama asistennya menghajar tempat sampah beton di Jalan Riau (sekarang Jalan R.E. Martadinata), Bandung. Ketika itu Nike masih sangat muda, baru lewat tiga bulan dari ulang tahunnya yang ke-19.
Nike yang cantik dan masih sangat belia itu tengah berada di puncak karier. Album pertamanya, Seberkas Sinar, yang diluncurkan saat dia baru berumur 13 tahun, meroketkan nama Nike. Album ini laris manis. Demikian pula album-album Nike berikutnya, Bintang Kehidupan, Suara Hatiku, sampai album terakhir, Sandiwara Cinta.
Penggemar Nike berziarah di makamnya di Ciamis, Jawa Barat
Foto : Adi Fahman
Tapi kematian tak memudarkan nama Nike Ardilla. Bukan cuma penggemar lama Nike yang masih terus memujanya, bahkan tak sedikit mereka yang lahir setelah kematiannya tergila-gila pada Nike Ardilla. “Aku juga nggak ngerti bagaimana fans Nike bisa betul-betul fanatik,” kata Adi. Setiap tahun selama 22 tahun, terutama pada 27 Desember, tanggal lahir Nike, dan hari kematiannya, ratusan orang masih menyambangi makamnya di Desa Imbanagara, Ciamis, Jawa Barat.
George Quinn, dosen senior di Australian National University, Canberra, menulis artikel bertajuk “Nike Ardilla, Instant Pop Saint” di jurnal RIMA Review of Indonesian and Malaysian Affairs pada 2007. Quinn “membandingkan” orang-orang yang berziarah ke makam Nike dengan mereka yang sering berziarah dan berdoa di makam Wali Songo.
Pemujaan terhadap Nike barangkali susah dimengerti oleh mereka yang tak tergila-gila pada penyanyi itu. Laman Facebook Nike Ardilla, misalnya, sudah mengumpulkan hampir 4 juta like. Bahkan ada yang pernah berniat membeli akun itu senilai Rp 100 juta. Adi dan teman-temannya tak mau melepaskannya.
Pada 2013, 18 tahun setelah kematiannya, Nike “meluncurkan” album lagi. Adi telah lama mendengar selentingan kabar bahwa pada umur 12 tahun, Nike, yang masih memakai nama Nike Astrina, pernah membuat album di bawah bendera JK Records namun tak sampai dipasarkan. Menurut manajemen JK Records, Nike kala itu dianggap terlalu muda untuk menyanyikan lagu-lagu mellow percintaan.
JK Records bersedia meluncurkan album Nike yang tak pernah dipasarkan itu asalkan Adi dan teman-temannya bisa mengumpulkan 1.000 like. “Nggak sampai seminggu sudah terkumpul dan akhirnya album itu dirilis…. Sebagai fans, saya bangga banget bisa turut andil dalam prosesnya,” katanya.
Baca Juga : Tergila-gila Kiss
* * *
Restoran Nike Ardilla di Makassar
Foto : Muhammad Takdir
Menapaki rumah makan berukuran seluas lapangan bulu tangkis itu, Widyastuti Solong seolah-olah memasuki mesin waktu. Memasuki masa ketika Nike Ardilla berjaya seperempat abad silam.
Inilah ruang “pemujaan” terhadap Nike Ardilla. Tengok ke kiri ada Nike, lihat ke depan ada Nike. Bahkan pecahan kaca, pelat nomor mobil, rambut, juga darah milik Nike saat dia mengalami kecelakaan di Bandung pada 19 Maret 1995 tersimpan rapi di balik etalase kaca. “Merinding pas masuk, asli semua,” kata Tuti ketika beberapa waktu lalu mengunjungi Restoran Nike Ardilla di Jalan Bumi Tamalanrea Permai, Makassar, Sulawesi Selatan, itu.
Restoran Nike Ardilla mulanya dibuka pada 2008 oleh penggemar fanatik Nike, yaitu Muhammad Takdir. Rambut hingga darah milik Nike dibeli Takdir dari anggota sepuh Nike Ardilla Fans Club. Sedangkan pelat nomor mobil diberikan oleh keluarga Nike. Restoran ini merupakan persembahan dan bukti cinta Takdir kepada sang idola.
Takdir sebenarnya agak telat jatuh cinta pada Nike. Justru setelah setahun Nike meninggal, dia baru tergila-gila. “Waktu SMP ada teman pinjamkan kaset. Lagu yang saya dengarkan itu judulnya Mama Aku Ingin Pulang. Hati saya bergetar banget, kayak ada magic. Nike sudah setahun meninggal, saya baru menangis sejadi-jadinya,” ujar Takdir pekan lalu.
Adi Fahman, pemuja Nike Ardilla
Foto : Adi Fahman
“Sejak saat itu, saya mulai kumpulkan semua kaset, majalah, koran sampai sekarang. Terakhir beli majalah dari Malaysia edisi khusus Nike harganya Rp 3 juta. Itu pun belinya berebutan,” ungkap Takdir, yang terdaftar menjadi anggota Nike Ardilla Fans Club. Semasa hidupnya, Nike memang kerap menggelar konser di negeri jiran.
Lambat laun Takdir kebingungan menampung koleksinya yang kian hari bertambah banyak. Sementara itu, banyak pula kerabat dan saudara yang ingin melihat koleksinya. Awalnya ia kepikiran membuat museum untuk Nike Ardilla. Tetapi belakangan, Takdir memutuskan membuka restoran. Menurut dia, restoran akan lebih menarik minat pengunjung.
Restoran perdana miliknya ia buka saat lulus SMA. Rumah sederhana milik ayahnya ia sulap menjadi restoran dadakan. Modalnya hanya empat meja serta poster dan foto Nike yang ia pajang di sekeliling restoran. Tak lupa speaker untuk melantunkan lagu-lagu Nike. “Tujuan saya bagaimana virus Nike bisa disebar ke orang lain,” Takdir menuturkan.
Baca Juga : Pagi, Siang, dan Malam untuk JKT48
Dari semula hanya iseng, restoran itu kini bisa melayani hingga 100 orang per hari. Banyak kejadian unik yang terjadi. Salah satu pengunjung tiba-tiba menangis dan tidak berani masuk. Para pesohor negeri, seperti Slank, Tantri “Kotak”, serta Eddy Bogel, yang menjadi fotografer Nike, pun pernah mampir.
“Kadang saya merasa dibisikin Nike. Misalnya kenapa restoran nuansanya serbamerah? Kata Nike, karena saya lihat dia pakai baju merah di lagu Seberkas Sinar,” kata Takdir. Restoran milik Takdir menginspirasi keluarga Nike membuka usaha serupa di Ciamis.
Foto-foto dan barang-barang kenangan Nike Ardilla di restoran milik Muhammad Takdir
Foto : Muhammad Takdir
Selain mengoleksi album dan membuka tempat makan, Takdir rutin mengikuti peringatan kelahiran dan kematian Nike pada bulan Desember dan Maret. Meski harus terbang jauh dari Makassar tempat tinggalnya, Takdir tidak terlalu pusing. Sama seperti ketika dia harus mengeluarkan uang untuk membeli kaset langka Nike.
“Kalau saya lebih terbebani hati daripada memikirkan biaya. Misalnya ada kaset langka dijual, kalau orang lain ambil, kita nggak bakal dapat lagi walaupun harganya mahal banget. Kesempatan kan tidak datang dua kali,” kata Takdir.
Kala ku seorang diri hanya berteman sepi dan angin malam
Ku coba merenungi
Tentang jalan hidupku
Reporter/Penulis: Melisa Mailoa
Redaktur/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban
Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.