INTERMESO

Jejak Lapangan Banteng di Legon Pakis

Warga Legon Pakis seakan-akan terisolasi. Mereka kesulitan keluar dari kampung karena tak mudahnya angkutan dan mahalnya biaya transportasi menuju kota terdekat.

Foto: Muhammad Zaky Fauzi Azhar/detikcom

Selasa, 30 Mei 2017

Aroma kopi begitu kuat tercium di teras rumah seorang ketua rukun tetangga Kampung Legon Pakis, Jumhani, 50 tahun. Hujan baru saja reda di kampung itu. Tinggal udara dingin yang tersisa.

Sambil menaruh empat cangkir kopi di lantai teras beralas tikar, Jumhani mempersilakan kami meminum kopi seduhan istrinya. Tidak ketinggalan aneka penganan disuguhkan sebagai teman minum kopi. “Ini kopi Lampung. Orang-orang sini memang sukanya kopi asal Lampung,” ujarnya.

Kami tim detikXpedition sengaja datang ke rumah Jumhani untuk berbincang-bincang seputar Legon Pakis, kampung di ujung barat di Pulau Jawa. Hanya 300 meter di sisi utara kampung, terbentang lautan Selat Sunda. Dan sisi selatan terhampar hutan kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.

Namun, saat kami baru berbincang sejenak pada Senin, 9 Mei 2017, itu, seorang pria bernama Abah Suhaya, 66 tahun, datang ke rumah Jumhani. Suhaya disebut sebagai tokoh Kampung Legon Pakis.

“Kalau mau tahu soal asal-usul warga Legon Pakis, Abah Suhaya sangat tahu. Dia sudah sepuh,” ucap Jumhani memperkenalkan pria yang mengenakan peci hitam itu.

(Dari kiri) Manajer SDM dan Umum PLN Distribusi Banten Dedi Muhidin, Abah Suhaya, Deden Gunawan, serta Manajer PLN Wilayah Banten Selatan Engkos Kosasih
Foto: Muhammad Zaky Fauzi Azhar/detikX


Tokoh pejuang pendiri kampung itu Bapak Kelen, Ki Zaman Ompong, Ki Karni, Ki Sarma’a, Bapung Kolot Heja, dan Aki Jayud."

Setelah berbasa-basi sejenak, Abah Suhaya kemudian bercerita tentang kampung yang telah ia huni sejak puluhan tahun lalu itu. Menurutnya, kampung itu dibuka sejak 1938, saat Belanda masih menguasai republik ini. Dan masyarakat Kampung Legon Pakis yang tinggal saat ini merupakan generasi ketiga.

“Tokoh pejuang pendiri kampung itu Bapak Kelen, Ki Zaman Ompong, Ki Karni, Ki Sarma’a, Bapung Kolot Heja, dan Aki Jayud,” tutur Abah Suhaya.

Berdasarkan cerita orang-orang tua dahulu, kata Abah Suhaya, mereka yang sebelumnya tinggal di Cimanggu dan Cibadak ini merupakan pekerja yang membuat Lapangan Banteng, Jakarta.

Begitu selesai pembangunan Lapangan Banteng, pemerintah kolonial Belanda kemudian memberikan lahan di Ujung Jaya untuk dikelola. Pembagian lahan tersebut merupakan upah atas pekerjaan membangun Lapangan Banteng dan beberapa ruas jalan di sekitarnya.

Desa Ujung Jaya, menurut Abah Suhaya, sebelumnya masih menjadi bagian dari Desa Taman Jaya, hasil pemekaran Desa Cigorondong pada 1977. Pada 1982, Ujung Jaya resmi menjadi desa hasil pemekaran Desa Taman Jaya.

“Desa Ujung Jaya sebelumnya merupakan bagian dari Desa Taman Jaya. Setelah 1982, ia berdiri sendiri,” ujar Abah Suhaya.

Luas Desa Ujung Jaya pascapemekaran sekitar 900 hektare, yang terdiri atas lima kampung, yakni Cikawung Sabrang, Legon Pakis, Cikawung Girang, Sempur, dan Taman Jaya Girang.




Pemagaran untuk membatasi area habitat badak Jawa di Legon Pakis.
Foto: M. Rizal/detikX

Di lahan itu, para pekerja yang ditempatkan pemerintah kolonial Belanda tersebut membuka lahan perkebunan, seperti kopi, kelapa, mahoni, petai, dan melinjo. Mereka juga membuka area persawahan. Meski desa itu berada di dekat laut, mencari ikan hanya sambilan buat mereka.

Setelah Belanda hengkang dari Indonesia, status lahan mereka berpindah-pindah. Pascakemerdekaan, lahan di kawasan itu berada di bawah Kementerian Pertanian. Sebab, Kementerian Kehutanan ketika itu belum terbentuk.

Memasuki 1982, wilayah itu kemudian dimasukkan ke kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, tempat badak Jawa dilindungi. Sejak masuk di bawah kendali Taman Nasional, lahan perkebunan dan sawah warga menyusut.

Sebab, sebagian lahan yang sebelumnya mereka garap dipagari tembok setinggi 2 meter. Maka, sejak saat itu, tidak jarang terjadi konflik antara warga dan pihak Taman Nasional.

Dari segi geografis, posisi Legon Pakis, yang berpenduduk 105 keluarga, memang sangat terpencil. Hanya ada satu akses jalan darat untuk keluar dari wilayah itu, yakni melewati Kecamatan Sumur, yang berjarak 27 kilometer. Jarak yang jauh dan kondisi jalan yang rusak membuat warga kesulitan pergi ke mana-mana. Bahkan penduduk Legon Pakis umumnya hanya menyelesaikan sekolah sampai SMP.

Rumah salah satu penduduk di Kampung Legon Pakis.
Foto: Ibad Durohman/detikX

“Kalau SMA, lokasinya jauh. Apalagi kalau tidak punya sepeda motor. Pergi subuh, pulang sekolah bisa sampai di rumah magrib,” jelas Abah Suhaya.

Karena lokasinya yang terpencil, warga Legon Pakis dan warga Desa Ujung Jaya jarang pergi ke pasar. Sebab, untuk mencapai Pasar Cibaliung, yang lebih lengkap, warga harus menempuh jarak 60 kilometer. Sedangkan pasar terdekat, yakni yang berada di Sumur, hanya berupa pasar kaget.

Soal jalan di Ujung Jaya, terutama Kampung Legon Pakis, diakui Abah Suhaya, sejak zaman Belanda hingga saat ini belum pernah tersentuh aspal. Bahkan masjid di Kampung Legon Pakis, yang berdiri sejak 1950-an dibangun lewat swadaya masyarakat.

Puas berbincang-bincang dengan Abah Suhaya, kami pun berpamitan untuk melihat-lihat suasana kampung yang masih asri dan sejuk itu. Berdasarkan pantauan kami, mayoritas rumah di Legon Pakis masih berupa rumah panggung yang berdinding bilik dan beratap daun pohon aren yang dikeringkan.

Saat berkeliling, kami menyempatkan diri mampir ke sebuah rumah panggung. Di situ duduk seorang pria yang sedang menunggui bayinya di ayunan kain. Setelah menyapa, kami pun dipersilakan duduk lesehan di teras. “Dari mana, Pak? Silakan duduk,” sapa pria bernama Sarnaan, 33 tahun, itu.

Jalan di Kampung Legon Pakis yang masih berupa tanah.
Foto: Ibad Durohman/detikX

Sarnaan mengaku lahir dan besar di Legon Pakis. Aktivitas sehari-hari Sarnaan adalah buruh tani di kampung sebelah. “Dulu punya lahan garapan sendiri. Tapi sekarang lahan kami sudah dipagari oleh Taman Nasional Ujung Kulon sejak 2013,” ujar Sarnaan.

Pria dengan satu anak ini mengaku hanya tamat SD. Sebab, untuk bersekolah SMP, butuh biaya dan jaraknya sangat jauh, yakni di Desa Taman Jaya, yang jaraknya 5 kilometer. “Waktu SD saja saya pergi sekolah harus jalan kaki 2 kilometer,” ucap pria berperawakan sedang ini.

Karena sekolah yang jauh, menurut Sarnaan, mayoritas warga Legon Pakis paling banter hanya bersekolah sampai SMP. Sekolah SMA letaknya sangat jauh, yakni di Sumur, yang berjarak 27 kilometer, atau di Cibaliung, yang jaraknya sekitar 60 kilometer.

Bagi warga Legon Pakis, jika ingin bepergian ke luar kampung dengan menggunakan angkutan Isuzu Elf, mereka harus berjalan kaki lebih dulu ke Taman Jaya. Sebab, di desa itulah tempat pemberhentian terakhir angkutan Isuzu Elf. Jarak dari Legon Pakis ke Taman Jaya sekitar 5 kilometer. Jika berjalan kaki, warga butuh waktu sekitar 2 jam.

Sarnaan, warga Kampung Legon Pakis
Foto: Muhammad Zaky Fauzi Azhar/detikX

“Kalau kita mau naik Elf yang berangkat jam 05.00 WIB, harus berangkat dari rumah jam 03.00 WIB,” terang Sarnaan.

Belum lagi ongkos transportasi yang mahal. Tarif Elf Rp 40 ribu sekali jalan ke Cibaliung. Sedangkan bila naik ojek, warga harus membayar Rp 150-200 ribu sekali jalan. Karena berat di ongkos, warga Legon Pakis memilih menghabiskan waktu di kampung. Mereka tidak keluar dari rumah selain berkebun atau ke laut bagi yang memiliki perahu.

Untuk mencari hiburan, warga memilih menonton televisi. Itu pun baru bisa dinikmati tiga bulan belakangan setelah listrik masuk ke kampung itu pada Januari 2017. “Di sini mah susah cari hiburan, mau ke mana? Boro-boro mikirin hiburan, orang pada susah,” tutur Sarnaan.

Sarnaan sendiri mengaku pergi ke Pasar Cibaliung hanya setahun sekali. Biasanya pada saat HUT Kemerdekaan RI. Alasannya, setiap 17 Agustus, di Cibaliung digelar panggung hiburan.

Simak terus kisah perjalanan detikXpedition lainnya di sini:


Reporter: Ibad Durohman
Redaktur: Deden Gunawan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Intermeso mengupas sosok atau peristiwa bersejarah yang terkait dengan kekinian.

SHARE