CRIMESTORY
Ang Kim Soei alias Tommi Wijaya disebut sebagai raja ekstasi. Eksekusi matinya membuat tegang hubungan antara Indonesia dan Belanda.
Ilustrasi: Edi Wahyono
Kamis, 02 Juni 2022“Saya punya pesan untuk Presiden Jokowi. Saya selama ini telah berubah dan terus berbuat baik. Salah satunya, dengan mengobati orang, baik narapidana atau warga sekitar. Ada puluhan orang yang telah saya obati. Saya memiliki kemampuan mengobati, saya menggunakannya. Tapi mengapa justru saya yang dihantam (dieksekusi)? Padahal, banyak terpidana mati yang berbuat jahat di dalam penjara.”
Itulah pesan terakhir Ang Kim Soei kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa jam sebelum dieksekusi oleh regu tembak. Pesannya itu disampaikan kepada seorang wartawan surat kabar nasional yang menemuinya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Besi, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Rabu, 14 Januari 2015.
Malamnya, sekitar pukul 21.00 WIB, Ang Kim Soei yang memiliki banyak nama lain seperti Tommi Wijaya, Kim Ho, dan Ance Taher dibawa dari Lapas Pasir Putih tempat dia ditahan untuk diisolasi di Lapas Besi. Raut wajahnya tenang. Ia berjalan cukup santai ketika dikawal empat orang sipir yang mengantarkannya. Tubuhnya berbalut kaos merah dan tangannya diborgol.
Di Lapas Besi, Ang Kim Soei ditempatkan satu sel dengan Marco Archer Cardoso Moreira, warga Brazil yang juga menjadi terpidana mati kasus penyelundupan heroin seberat 13,5 kilogram tahun 2003. Saat itu, Marco tengah uring-uringan dan stres. Ang Kim Soei masuk ke dalam ruangan. Kedua tangannya langsung memegang jeruji besi. Di bawah sinar lampu neon, walau terlihat tenang, raut wajahnya mulai tampak sedih.
“Pak, saya pamit, ya. Maafkan jika ada keselahan selama ini,” ucap salah seorang sipir Lapas Pasir Putih yang mengawalnya. Mereka bersalaman lalu meninggalkan Ang Kim Soei yang tatapannya menerawang di balik jeruji besi.
Baca Juga : Sabu Iran dari Tengah Samudera
Ang Kim Soei
Foto: Dok Ditjen PAS Kemenkum HAM
Baca Juga : Eddy Sampak Si Perampok Gaji Tentara
Selain Ang Kim Soei, ada lima terpindana mati kasus narkoba yang akan dieksekusi dalam waktu bersamaan. Mereka adalah Marco (WN Brazil), Namaona Denis (WN Malawi), Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (WN Nigeria), Tran Thi Bich Hanh (WN Vietnam), dan Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI). Kesemuanya dieksekusi pada Minggu, 18 Januari 2015. Lima orang dieksekusi di Nusakambangan, dan satu orang di Boyolali.
Eksekusi mati kepada enam orang tersebut dilakukan setelah keluar Keputusan Presiden (Keppres) tentang penolakan permohonan grasi 16 terpidana mati oleh Presiden Jokowi yang diteken pada 30 Desember 2014 dan 9 Januari 2015. Sembilan di antaranya adalah terpidana mati kasus narkoba. Penolakan permohonan grasi Ang Kim Soei tercantum di dalam Keppres nomor 33/G 2014.
Pada 13 Januari 2003, pria kelahiran Fakfak, Papua, tahun 1952 itu diganjar vonis mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tangerang yang diketuai M. Hatta Ali, serta Gatot Supramono dan Wahyu Sektianingsih sebagai anggota. Ang Kim Soei dianggap terbukti secara sah telah memproduksi psikotropika golongan I berupa ekstasi secara terorganisir.
Sejak tahun 1975, Ang Kim Soei tinggal di kawasan Rosevelt Laan-234 Netherland dan menjadi warga negara Belanda. Tapi, pada tahun 2002, ia kembali ke Indonesia untuk menjalankan bisnis kotornya, narkoba. Ia mengoperasikan clandestine laboratory di sebuah rumah di Jalan KH. Hasyim Asyaari No. 26, Cipondoh, dan Jalan Imam Bonjol No. 79A, Karawaci, Kota Tangerang.
Ang Kim Soei juga terbukti mengedarkan ekstasi buatan pabriknya itu hingga ke California, Amerika Serikat. Di dalam negeri, Ang Kim Soei bekerjasama mengedarkan pil setan itu dengan Tommy Bocor, yang telah lebih dahulu tewas dalam sebuah penangkapan yang berbeda. Pil ekstasi ‘made in Cipondoh’ itu bahkan sempat merepotkan para agen badan narkotika AS atau Drug Enforcement Administration (DEA).
Suasana di dermaga penyeberangan menuju LP Nusakambangan menjelang eksekusi mati sejumlah terpidana kasus narkoba tahun 2015
Foto: Arbi Arnugrah/detikcom
Baca Juga : Kisah Pembunuh Berantai Dukun Suradji
Dari kesaksian agen DEA dalam sidang di PN Tangerang bernama Timothy McGiven disebutkan, Ang Kim Soei telah mendatangkan sejumlah peralatan pembuat pil ekstasi dari China dan Itali. Para agen DEA juga telah menemukan semacam tanda tangan (signature) pada pil. Tanda tangan itu semacam logo khusus yang ternyata sama dengan pil yang dihasilkan Ang Kim Soei di Tangerang. Ribuan pil buatan pabrik Ang Kim Soei ini beredar di San Fransisco dan Hongkong.
Saat pabrik ekstasinya itu digerebek satuan narkoba Polda Metro Jaya dan Polres Kota Tangerang, Ang Kim Soei tak ditemukan. Ia baru ditangkap ketika berada di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, yang menjadi tempat tinggalnya selama berada di Indonesia. Sejak itu, Ang Kim Soei bercerai dengan istrinya. Ia pun sulit untuk menemui keempat anaknya yang tinggal di Belanda.
Ia tak menerima keputusan hukuman mati begitu saja. Ia sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banten dan kasasi serta peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Sayangnya, upayanya kandas. Kedua pengadilan tinggi dan lembaga hukum tertinggi di Indonesia itu mengamini putusan PN Tangerang.
Selama dalam tahanan, Ang Kim Soei mengambil jalan hidup yang berbeda. Dikutip dari situs Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Ang Kim Soei berhasil menemukan dan menerapkan metode pengobatan herbal terapi dan rehabilitasi De Five yang berasal dari tanaman patah tulang atau Euphorbia Tirucalli. Bahkan, temuannya telah didaftarkan sebagai obat remsi di Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dengan nomor POM.TR.043337161 E dan telah dipatenkan di Kementerian Hukum dan HAM dengan nomor 002.2004.32549.32885.
Di dalam penjara, Ang Kim Soei juga membuka praktik pengobatan herbal kepada para sesama narapidana di Lapas atau masyarakat umum atas seijin Kepala Lembaga Pemasyarakatan. Ia telah membuktikan dirinya sebagai seorang narapidana yang telah sungguh-sungguh menunjukan penyesalan dan pertobatannya karena telah menjadi gembong pengedar narkoba.
Iring-iringan mobil ambulans yang digunakan untuk mengangkut jenazah para terpidana mati kasus narkoba di LP Nusakambangan tahun 2015.
Foto: Arbi Anugrah/detikcom
“Tapi, justru tidak diberikan kesempatan kedua untuk sekedar hidup dan menjalani peran barunya sebagai orang yang mengabadikan sisa hidupnya untuk kebaikan. Kami meminta agar pelaksanaan eksekusi mati terhadap Ang Kiem Soei dapat ditunda hingga Mahkamah Agung memeriksa dan memutus seluruh alasan Peninjauan Kembali yang diajukan,” kata pengacara Ang Kim Soei, Harry Ponto, dan Hendi Sucahyo saat itu.
Sejak permohonan grasinya ditolak Presiden pada akhir 2014, suara nyaring yang meneriakkan agar Ang Kim Soei segara dieksekusi bersama gembong narkoba lainnya meningkat. Rencana pemerintah Indonesia untuk mengeksekusi Ang Kim Soei membuat telinga pemerintah Belanda memerah. Menteri Luar Negeri Belanda saat itu, Bert Koenders, bahkan menarik duta besarnya di Jakarta. “Ini hukuman kejam dan tak manusiawi,” kata Bert seperti dikutip Reuters, 17 Januari 2015.
Indonesia memiliki pertimbangan lain. Kejahatan narkoba merusak generasi muda. Ang Kim Soei akhirnya menghadapi regu tembak di kawasan lembah Bukit Nirbaya, tak jauh dari Lapas Besi pada Minggu, 18 Januari 2015. Ia meminta matanya tak ditutup ketika dieksekusi. Ia dinyatakan tewas tepat pukul 00.40 WIB dalam usia 63 tahun.
Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho