CRIMESTORY
Astini Sumiasih kerap meminjam uang, tapi marah saat ditagih. Alih-alih melunasi utang, ia malah membunuh dan memutilasi tiga korban.
Ilustrasi: Edi Wahyono
Kamis, 26 Mei 2022Uang masih menjadi barang penting bagi Astini Sumiasih. Padahal nyawanya tinggal menunggu hari di depan regu tembak. Perempuan berusia 50 tahun itu sempat meminta uang kepada petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukun, Malang, Jawa Timur. Selama hampir sembilan tahun, sejak tahun 1996, Astini, yang dikenal dengan sebutan Nyonya Astini, mendekam di penjara tersebut.
Delapan sipir Lapas Sukun datang membawakan uang Rp 300 ribu kepada Astini yang kemudian dipindahkan sementara ke Rumah Tahanan (Rutan) Kelas I Medaeng, Waru, Sidoarjo, Jawa Timur, sebelum dieksekusi. Selain uang, para sipir itu juga membawakan sekantong buah apel dan langsep atau langsat untuk Astini pada Kamis, 17 Maret 2005.
Uang pemberian sipir itu lantas diberikan kepada ketiga anak-anaknya untuk terakhir kalinya. Sebelum dieksekusi, Astini juga sempat meminta untuk didoakan. Karena itu, Lapas Sukun menggelar acara istigasah. Kepada kuasa hukumnya, Astini juga menitipkan pesan kepada keluarganya bahwa ia sudah ikhlas menerima hukuman mati.
Sepekan kemudian, tepatnya pada Minggu, 20 Maret 2005 malam, Astini dibawa keluar dari Rutan Medaeng. Ia mengenakan pakaian terusan putih dengan kerudung hitam. Astini sempat mengambil air wudu dan berdoa sebelum meninggalkan rutan. Ia tampak pasrah. Setelah itu, Astini dibawa kendaraan dinas rutan dengan pengawalan polisi yang ketat menuju sebuah tempat di bagian barat Surabaya.
Disebut-sebut, tempat itu merupakan sebuah lapangan yang masih masuk Kecamatan Benowo. Di tempat yang luas namun remang-remang itu, sudah menunggu Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya AF Darmawandi selaku ketua tim eksekutor. Turut hadir Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Surabaya, Kepala Seksi Pidana Umum dan Asisten Intelijen Kejari Surabaya, Kepala Satreskrim Polwiltabes Surabaya, serta beberapa personel Brimob Polda Jawa Timur.
Baca Juga : Dari Mata-mata Menjadi Bara Cinta Segitiga
Astini Sumiasih
Foto: Istimewa
Perempuan kelahiran 22 September 1955 itu berdoa kembali sebelum dihadapkan kepada regu tembak. Ia didudukkan di sebuah kursi yang jaraknya sekitar lima meter dari regu tembak dari anggota Brimob Polda Jawa Timur. Tiba-tiba terdengar aba-aba perintah menembak. Rentetan suara tembakan terdengar membahana di keheningan malam. Seketika, tubuh Astini terkulai setelah peluru bersarang di tubuhnya.
Tim medis lalu memeriksa kondisi Astini. Tak lama ia dinyatakan sudah meninggal dunia tepat pukul 01.20 WIB. Bergegas, jasadnya diangkut menggunakan ambulans menuju Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Sutomo, Surabaya, untuk diautopsi. Menjelang Subuh, sekitar pukul 04.30 WIB, jasad Astini dikuburkan di tempat pemakaman umum (TPU) Wonokusumo Kidul, Surabaya.
Astini dihukum mati karena telah membunuh dan memutilasi tiga orang tetangganya. Astini bersama ketiga anaknya tinggal di rumah kontrakan di Jalan Kampung Malang Utara I, Wonorejo, Tegalsari, Kota Surabaya. Suaminya, Sufirin, bekerja serabutan. Ia kerap tak mendapatkan pekerjaan. Karena impitan ekonomi itulah, Astini kerap meminjam uang kepada tetangga-tetangganya.
Walau kesehariannya terbilang ramah, menurut tetangganya, Astini memiliki sikap temperamental bila tersinggung. Lebih-lebih ketika persoalan utangnya kian lama kian menumpuk. Saat ditagih, Astini justru memarahi para penagihnya. Bahkan Astini nekat menghabisi nyawa tetangganya sendiri yang tengah menagih utang kepadanya.
Kasusnya bermula ketika warga Kampung Malang Utara geger oleh penemuan potongan kepala yang terbungkus plastik di Sungai Wonorejo pada 6 Februari 1996. Kejadian itu sembilan tahun sebelum Astini dieksekusi mati. Warga lalu melaporkan penemuan potongan kepala itu ke Polsek Tegalsari. Potongan kepala seorang wanita itu lalu dibawa ke kamar jenazah RSUD Dr Sutomo untuk diidentifikasi.
Dalam waktu bersamaan, penemuan potongan kepala sampai juga ke telinga Agus Purwanto. Ia mengaku kehilangan kakak perempuannya bernama Puji Astuti, yang juga warga Kampung Malang. Puji dikabarkan menghilang dari rumahnya sejak 4 Februari 1996. Lantas Agus berusaha mendatangi kamar jenazah RSUD Dr Sutomo untuk melakukan identifikasi.
Kepada polisi, Agus mengenali potongan kepala wanita itu adalah kakaknya, Puji Astuti. Polisi bergerak cepat dengan membuat tim penyelidikan. Beberapa warga dipanggil dan dimintai keterangan sebagai saksi. Polisi lalu mendapatkan keterangan dari seorang warga yang melihat kedatangan Puji ke rumah Astini pukul 16.00 WIB, sebelum ia dilaporkan menghilang oleh keluarganya.
Astini Sumiasih
Foto : Dok SCTV
Setelah mendapatkan bukti yang dirasakan cukup, polisi langsung menangkap Astini di rumahnya. Awalnya Astini menyangkal telah membunuh tetangganya itu. Tapi, setelah dicecar sejumlah pertanyaan dalam interogasi, Astini akhirnya mengakui membunuh Puji. Ia mengaku kesal karena dimaki dan dihina oleh korban. Kepada polisi, Astini menuturkan kronologi pembunuhan tersebut.
Sore itu cuaca di langit Surabaya tengah mendung. Astini duduk santai di depan teras rumah kontrakannya. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh kedatangan Puji yang hendak menagih uang Rp 20 ribu yang dipinjamnya. Saat ditagih, Astini mengaku belum memiliki uang. Bahkan untuk memasak sehari-hari pun tak ada. Alasan itu bukan satu-dua kali didengar Puji. Astini selalu beralasan sama ketika Puji sudah beberapa kali menagihnya.
Tapi mendengar jawaban Astini kali ini, Puji langsung naik pitam. Ia langsung memaki-maki dengan kata-kata kasar kepada Astini. Makian itu membuat Astini sakit hati. Dengan nada kesal, Astini mengajak tetangganya itu masuk ke dalam rumah. Puji lantas langsung duduk di ruang tamu. Sementara Astini langsung ke ruang tengah menuju belakang. Ia berpura-pura akan mengambilkan uang yang ada di dalam.
Bukan uang yang diambil, Astini mengambil sepotong besi panjang yang ada di belakang. Ia langsung membawanya ke ruang tamu. Puji yang tengah lengah tak kuasa ketika menerima hantaman besi di kepalanya. Secara brutal, Astini terus memukulkan potongan besi itu beberapa kali ke kepala Puji hingga terkapar dan tak berkutik lagi. Kepalanya nyaris hancur dan ruangan tamu seketika banjir darah.
Dengan tenangnya, Astini menyeret tubuh korbannya itu ke dapur. Di sana tubuh Puji digulung dengan tikar agar tak diketahui anak-anak Astini. Ia lalu membersihkan ruang tamu dari ceceran darah hingga bersih. Malamnya, sekitar pukul 02.00 WIB, Astini melakukan aksi kejinya lagi. Ia langsung memotong-motong tubuh korbannya menjadi 10 bagian. Potongan tubuh itu dimasukkan ke dalam 10 kantong plastik.
Astini membawa ke-10 kantong plastik berisi potongan tubuh manusia itu untuk dibuang ke sejumlah tempat sampah dan sungai yang ada di Surabaya. Sementara itu, pakaian dan kunci kendaraan korban dibuang Astini ke sumur yang ada di belakang rumahnya. Barulah keesokan harinya, seorang warga menemukan potongan kepala korban yang tersangkut ranting pohon di Sungai Wonorejo.
Baca Juga : Tak Ada Perampok Selicin Slamet Gundul
Lapas Wanita Sukun, Malang
Foto: Aminuddin/detikcom
Masyarakat di Wonorejo pun geger. Penemuan potongan kepala itu langsung dilaporkan ke polisi. Tak hanya itu, dalam penyidikan polisi dibuat kaget oleh pengakuan Astini. Ternyata, ia juga sudah melakukan hal serupa, membunuh dan memutilasi dua tetangga satu kampungnya yang lain. Ia melakukan pembunuhan itu pada 3-4 tahun sebelumnya, yaitu dalam rentang 1992-1993. Korbannya adalah Rahayu alias Ibu Syukur dan Sri Astutik.
Sama dengan Puji, Rahayu dan Sri Astutik sempat dilaporkan oleh keluarganya hilang. Keduanya ternyata dibunuh dan dimutilasi Astini. Potongan tubuh mereka dibuang ke sejumlah tempat sampah dan sungai di Surabaya. Motifnya sama, Astini sakit hati ditagih utang dengan cara dihina dan dimaki-maki kedua korbannya.
Astini meminjam uang kepada Sri Astutik sebesar Rp 550 ribu pada 1992 dan Rahayu sebesar Rp 1,2 juta pada 1993. Kepada polisi, Astini mengaku telah menghabisi nyawa Rayahu sekitar Agustus 1992. Sedangkan Sri Astutik dibunuhnya pada 1 November 1993. Setelah selesai penyidikan, polisi melimpahkan kasusnya ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Tak beberapa lama, majelis hakim PN Surabaya menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Astini pada 17 Oktober 1996.
Astini, yang saat itu didampingi sejumlah pengacara, sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur. Selama menunggu putusan banding, Astini ditahan di Lapas Wanita Sukun, Malang. Januari 1997, majelis hakim PT Jawa Timur justru memutuskan menguatkan keputusan PN Surabaya. Tak menyerah, Astini pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Pada Juni 1997, MA memutuskan tetap sama menjatuhkan hukuman mati seperti amar putusan di PN Surabaya dan PT Jawa Timur. Ia sempat mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA, tapi hasilnya sama. Akhirnya sebagai langkah terakhir, Astini mengajukan grasi kepada Presiden Megawati Soekarnoputri. Upaya Astini bertahan hidup kandas. Permohonan grasi Astini ditolak Presiden Megawati pada 9 Juni 2004.
Sebelum dieksekusi mati, Astini dipindahkan dari Lapas Wanita Sukun ke Rutan Medaeng. Ia sempat menjalani masa isolasi selama lima hari pada 15-19 Maret 2005. Ia sempat dijenguk ketiga anak dan suaminya sebelum perjalanan hidup Astini berakhir di depan regu tembak.
Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho