Asap hitam bus kota mengepul di jalanan Joglo Raya, Jakarta Barat membuat sesak orang-orang yang ingin pulang. Sebagian memilih untuk menghindar, tapi ada yang hanya pasrah berdiri menjadi bulan-bulanan asap itu.
Hanya menutup hidung dengan telapak tangan, Pak Slamet (48) pasrah di tepi jalan menghadapi asap bus kota itu. Di samping Slamet terdapat kerupuk-kerupuk yang diikat pada sebuah tongkat, sementara matanya terus terpejam.
βSaya seperti ini sejak umur 2 tahun, waktu itu saya sakit panas. Biasa namanya orang kampung kan kalau sakit tahunya cuma disuntik obatnya. Nah saya disuntik sama dokter lalu jadinya malah tidak bisa melihat seperti ini, jadi tunanetra,β tutur Pak Slamet di tepi jalan depan Kompleks Puri Botanical, Jakarta Barat, di hari Jumat (14/3/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia baru sampai di βtokoβ miliknya pukul 17.00 WIB ketika mentari hendak terlelap. Sambil menunggu pelanggan pertama, Pak Slamet mengenang ketika pertama kali berjualan kerupuk.
βSebelum jadi tukang kerupuk saya jadi tukang pijat. Awalnya di Purworejo dulu, lalu tahun 1996 saya ke Jakarta karena diajak teman. Pertamanya saya juga jadi tukang pijat di Jakarta,β ungkap Pak Slamet.
Pak Slamet waktu itu tinggal bersama kawan-kawan senasib di sebuah asrama. Di situlah dia bertemu dengan sang pujaan hati.
βSaya kemudian menikah dengan dia dan sekarang memiliki lima orang anak. Semua masih sekolah, dan saya sudah tidak tinggal di asrama. Tapi berpindah-pindah kontrakan sampai sekarang,β ucap Pak Slamet.
Hidup menjadi penyandang disabilitas membuat Pak Slamet merasa terpinggirkan. Terlebih lagi sang istri pun seorang tunanetra.
βTapi yang lebih penting bagi saya adalah keluarga saya semua menerima saya apa adanya. Termasuk anak-anak yang semuanya normal juga menerima orang tua mereka apa adanya. Kalau lingkungan sih baik sama saya, justru yang kurang perhatian adalah pemerintah,β sebut Pak Slamet sambil menghela nafas.
Pak Slamet seringkali tak dianggap oleh para pengguna jalan ketika sedang berjualan. Tapi ketika ada orang tak peduli, di sisi yang sama selalu ada manusia berhati malaikat.
βWaktu itu saya belum mangkal di sini, masih keliling dari Meruya sampai Kebon Jeruk. Waktu itu saya ditabrak motor yang ngebut. Saya langsung ditolong orang-orang yang lewat, tapi ya kerupuk saya hancur semua jadi saya rugi sendiri,β ucap Pak Slamet.
Pak Slamet memang merasa terpinggirkan oleh sebagian besar penghuni Ibukota yang sibuk menyibukan diri mencari kesibukan. Tapi Pak Slamet tak patah arang, dia tetap berusaha semampu dia untuk menghidupi keluarganya yang sederhana namun amat bahagia.
(bpn/trq)