Jakarta - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) selama ini identik dengan kasus-kasus kekerasan, pelanggaran HAM, penculikan dan tempat berkumpulnya pencari keadilan. Kontras juga identik dengan lawannya TNI, para jenderal. Nama Kontras juga tak terpisahkan dengan figur pentolannya, yakni Usman Hamid, yang sejak 2 bulan lalu menjadi Koordinator Kontras. Alumnus Trisakti ini banyak sekali mengalami pahit getirnya menangani berbagai kasus, terutama sejak tahun 1998. Sebagai orang lapangan, Usman tak lepas dari ancaman, teror maupun intimidasi. Apalagi kasus-kasus yang ditangani kebanyakan "kelas kakap". Aksi pelanggaran HAM para jenderal, kasus kekerasan di Aceh, Timtim, peristiwa Mei 1998, penculikan mahasiswa, kasus Trisakti, Semanggi, Tanjung Priok, Talangsari Lampung, korban 65, dan lainnya. Kasus-kasus di atas menyeret para jenderal dan mantan jenderal. Dari mantan Presiden Soeharto, Try Soetrisno, Benny Moerdani, Wiranto, Prabowo Subianto sampai orang-orang yang masih aktif seperti Kepala BIN Hendropriyono, Danjen Kopassus Mayjen TNI Sriyanto, Kapuspen TNI Syafrie Samsudin dan lain-lain.Usman kecil tak pernah mimpi menjadi aktivis hak asasi manusia (HAM). Bahkan waktu remaja pernah bercita-cita jadi tentara. Makanya, setelah lulus SMA, ia mendaftarkan diri ke Akademi Militer namun gagal karena alasan kesehatan. Usman kemudian belajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Peristiwa penembakan empat mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998 membalikkan kehidupannya. Ia terketuk untuk terlibat aktif membela kawan-kawannya yang tidak berdosa. Ia pun aktif dalam tim investigasi, baik yang dibentuk oleh Universitas Trisakti maupun Kontras. Tak heran jika ia harus bolak-balik menemui berbagai pihak. Dari kepolisian, TNI, para korban, maupun saksi-saksi lainnya. Dan momentum masuk di tim investigasi inilah yang membawanya berkenalan dengan para aktivis Kontras, kemudian bergabung dengan para relawan Kontras. Usman kemudian aktif di pelbagai penyelidikan. Ketika Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggar HAM Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Usman muncul menjadi aktor utama dalam perburuan para jenderal. Ia melakukan berbagai upaya untuk memanggil para jenderal agar datang ke Komnas HAM. Perang di media massa antara Usman dengan Babinkum TNI atau langsung dengan Wiranto hampir seringkali dijumpai.Karena tak juga mau datang ke Komnas HAM, KPP HAM meminta pengadilan untuk mengeluarkan surat pemanggilan paksa. Pada saat tim KPP HAM akan bertolak ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, sejumlah preman mengepung mereka di luar Kantor Komnas. Sejumlah keluarga korban melakukan aksi penjemputan ke rumah seorang jenderal. Gencarnya Usman cs mengejar para jenderal ini berbuntut balasan. Yakni terjadi aksi penyerangan dan perusakan yang dilakukan sekelompok mahasiswa dan preman ke kantor Kontras di Jalan Mendut, Jakarta Pusat. Penyerbuan dan perusakan kantor Kontras, 13 Maret 2002, hingga kini masih terbayang-bayang di depan Usman. Sejak ratusan demonstran berkumpul di depan kantor Kontras, ia merasa tidak enak. Namanya bersama nama Munir berkali-kali diteriakkan para demonstran. Persis ketika ia tengah mengetik tulisan mengenai kejahatan kemanusiaan dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan II, para demonstran menyerbu melalui pintu depan dan belakang Kantor Kontras. Kaca-kaca dipecah dengan lemparan kursi, komputer dihancurkan, perabotan dijungkirbalikkan, poster korban penculikan dirobek dan dilucuti. Belakangan teror-teror terus berlanjut. Kantor Kontras di Jalan Mendut nomor 3 pernah diteror dengan ledakan petasan besar dan pernah diobrak-abrik oleh Pamswakarsa. Sewaktu pindah di Jalan Cimandiri, didatangi massa Pemuda Panca Marga (PPM) dan mereka melakukan pengrusakan. Sekarang kantor Kontras pindah di Jalan Borobudur nomor 14, Menteng, Jakarta Pusat. Berikut petikan wawancara dengan Usman Hamid yang dilakukan di kantornya.
Pengadilan HAM Tanjung Priok membebaskan para jenderal. Bagaimana komentar Anda terhadap proses persidangan HAM yang banyak memenangkan orang-orang TNI. Apakah ini bagian dari rencana besar menyelamatkan institusi TNI atau karena faktor lain?Ini memang satu fenomena yang menjelaskan bahwa pemeritahan baru pasca pemerintahan otoritarian tidak ada kehendak politik yang bisa diharapkan untuk menyelesaikan berbagai kekerasan di masa lalu. Padahal menyelesaikan berbagai persoalan kekerasan di masa lalu bisa digunakan satu titik tolak untuk melakukan koreksi sekaligus terhadap penyalahgunaan alat negara, institusi negara yang pernah digunakan oleh Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan dengan melakukan tindakan represif. Koreksi sangat diperlukan untuk membangun, mendorong pembangunan demokrasi yang sejati, dimana kerangka demokrasi yang dibangun tidak semata-mata seperti di luar (negeri). Memang kita akui, banyak persoalan sekarang tidak bisa diakomodir dalam sistem yang formal. Jauh dari sekadar instrumen, prosedur, yang penting adalah seberapa jauh demokrasi ini bisa memperjuangkan keadilan, terhadap para korban yang menjadi korban penembakan masa lalu.Yang penting di masa datang kita harus mendorong masyarakat yang bisa menolak terjadinya kemungkinan peristiwa-poeristwa berdarah. Dalam kasus terakhir saya melihat memang posisi Presiden Mega tidak berdaya. Ia lebih banyak memikirkan kelangsungan atas kekuasaan yang dimilikinya, ketimbang memberikan jawaban atas koreksi yang diminta masyarakat. Dan saya kira konflik parlemen dengan Gus Dur termasuk berperan utama dalam melahirkan Mega sebagai presiden, TNI juga termasuk didalamnya. Sehingga ada pembiaran dalam kasus-kasus ini harus ada kompensasi naiknya Mega sebagai presiden. Mega tentu tidak mau dituding seperti ini, maka perlu ada terobosan yang tepat. Kalau menungu keadaan akan makin tidak menentu. Dinamika politik yang ada di Indonesia memberikan pengaruh yang buruk terhadap jalannya proses-proses pengadilan HAM yang faktual dan berkeadilan.
Untuk kasus bebasnya Sriyanto apa analisa anda?Ada tiga faktor yang bisa kita lihat dari pasca persidangan Tanjung Priok. Pertama faktor teknik. Kalau kita melihat dakwaan-dakwaan jaksa, itu sebenarnya sangat minimalis. Mulai dari penyajian alat-alat bukti, kalau kita masih ingat senjata-senjata itu tidak dihadirkan, yang terkait dengan tahanan militer juga tidak dihadirkan, lalu tuntutan jaksa juga sangat minim. Ada yang lima tahun, 3 tahunan bahkan ada jaksa yang menuntut bebas dalam kasus tertentu. Kasus Pranowo hanya dituntut 3 tahun, ini menurut saya yang sangat membingungkan. Ini menunjukkan ketidakyakinan jaksa terhadap dakwaan yang dibuatnya, atau kesengajaan jaksa unutuk menyulitkan hakim dalam membuktikan di persidangan.Faktor teknis yang lain menurut saya ini suatu pengalaman yang baru. Sehingga anggota majelis hakim tidak mempunyai cukup pengalaman yang memadai sehingga tak mampu membuat penafsiran-penafsiran baik, terobosan-terobosan baru, sehingga menjatuhkan putusan hukum yang adil bagi korban.Soal lain menyangkut perhatian pemerintah, saya tidak melihat ada keseriusan dari pemerintah, atau persiapan matang dari pemerintah untuk menggelar pengadilan kejahatan-kejahatan di masa lalu. Kasus Priok, tidak ada perlindungan korban yang memadai, sehingga korban Tanjung Priok dipanggil ke persidangan pun dengan cara-cara yang tidak profesional. Misalnya memanggil salah seorang korban untuk menjadi saksi dengan satu orang, kemudian meminta agar menyebarluaskan kepada saksi-saksi yang lain. Atau mengirim surat kepada Kontras, terus meminta Kontras menfasilitasi menghadirkan seluruh korban ke persidangan. Pada sisi yang lain, kalau kita mengajukan saksi-saksi tambahan, tidak pernah dikabulkan, sampai keputusan bebas dijatuhkan. Soal lain lagi, selama persidangan mereka tidak mendapat perlindungan atau pendampingan yang seharusnya dilakukan oleh jaksa. Karena jaksa membawa kepentingan para korban. Para korban diwaklili oleh negara, negara dalam hal ini menuntut jaksa agung agar para korban mendapat keadilan. Persiapan menjalankan keputusan juga tidak disiapkan. Ketika (Mayjen) Butar-butar diputuskan untuk membayar kompensasi, jaksa agung tidak ada sama sekali formulasi, aturannya. Padahal kami sudah menyusun formulasi berdasarkan sisi hukum. Perhatian pemerintah juga lemah terhadap para hakim. Gaji para hakim baru mereka terima setelah sekian bulan menjalankan tugas. Seperti salah satu hakim ada yang tiap sidang pulang-pergi Jakarta - Medan. Harus keluar uang tiket terlebih dahulu, baru beberapa bulan dapat gantinya. Poinnya, majelis hakim tidak mempunyai kepedulian untuk memutuskan kasus secara independen.Perhatian terhadap Tanjung Priok, masalah politik. Misalnya posisi Butar-Butar dan Sriyanto sangat strategis di lingkungan TNI. Di persidangan, anggota Kopasus menghadiri persidangan dalam jumlah yang berlebihan. Itu mengganggu jalannya persidangan dan membangun suasana ketakutan di kalangan hakim.Ada perilaku diskrimiantif terhadap anggota TNI kita. Padahal mestinya ada keputusan dari presiden untuk bisa menonaktifkan tentara yang kena kasus tertentu. Seperti dalam hal ini Tanjung Priok. Sebenarnya jaksa bisa menggunakan kewenangannya untuk melakukan penahanan. Dengan cara itu peradilan akan betul-betul menegakkan keadilan, tidak hanya menungu keputusan hakim.
Materi persidangan sudah mengacu hukum yang ada. Apakah hukum kita cukup kuat untuk menjerat pelangar HAM atau karena ada persoalan lain?Saya tidak setuju jika ada pandangan yang mengatakan ada kelemahan dalam UU HAM dan harus terus direvisi. Dalam berbagai kasus, aparat itu sendiri yang tidak menjalankan UU. Itu satu, kedua, DPR selaku legislatif tidak memberikan arahan dan dukungan politik terhadap pejabat hukum HAM. UU Pelanggaran HAM memang memiliki kelemahan, tetapi persoalan sebenarnya lebih banyak berupa permasalahan internal aparatur.
Fenomena TNI lolos terus dari jerat hukum dan sipil yang banyak masuk penjara. Anda banyak di lapangan, kenapa ini bisa terjadi? Sebenarnya posisi TNI jelas mengambil kesempatan, baik aktif maupun nonaktif, lepas dari jeratan hukum masa lalu. Itu terlihat diturunkannya tim kuasa hukum Mabes TNI. Baik itu pada tingkat penyelidikan maupun pengadilan. Dalam kasus Tanjung Priok, Babinkum berkali-kali mendatangi korban dan jaksa. Saya yakin hakim tak lepas dari aparat-aparat tersebut. Dan Megawati telah mengambil kebijakan memanjakan TNI, tidak membuat TNI merasa harus diperbaiki, atau dikoreksi. Karena Megawati memberi sinyal sepanjang mendukung Megawati, tidak apa-apa. Dan Mega juga memberi semacam amnesti untuk tidak menghukum orang-orang di masa lalu.
Imbasnya apakah kasus-kasus ini bisa dibawa ke pengadilan HAM Internasional?Sebenarnya secara hukum dimungkinkan kasus-kasus yang dikategorikan sebagai
crime againts humanity atau pelanggaran HAM berat kejahatan kemanusiaan untuk dibawa ke pengadilan ad hoc internasional, apabila memang di dalam negeri usaha-usaha untuk menyelesaikan itu sudah mentok. Mekanisme hukum di dalam negeri sudah tidak mungkin lagi, katakanlah sudah sampai MA, PK sudah mentok, bisa saja kasus ini dibawa ke internasional. Nah untuk kasus-kasus di masa lalu sebelum adanya Statuta Roma, untuk bisa dibentuk pengadilan adhoc internasional. Mekanismenya memang sedikit tidak mudah, karena ada faktor politik juga untuk menentukan berhasil dan tidaknya dibentuk pengadilan itu. Nah dalam kasus Yugoslavia, pengadilan dalam negeri Yugoslavia memang tidak mempunyai kapasitas, karena pemerintahan Yugoslavia itu sendiri sewaktu itu kolaps. Begitu juga Rwanda, aparat penegak hukum banyak yang diteror, bahkan beberapa jaksa mati. Di situ, PBB mewakili masyarakat dunia menarik kasus itu ke tingkat internasional. Kenapa? Karena itu kejahatan tragedi kemanusiaan dan secara internasional sudah menjangkau aspek legal
crime against humanity. Kewajiban untuk menuntut mereka yang bersalah, tidak berlaku kadaluarsa, tidak berlaku kekebalan hukum meski tamu negara, atau tidak berlaku pula menjalankan perintah atasan.
Apakah peluang Indonesia besar membawa kasus ini ke internasional?Kalau tadi secara hukum. Kalau lihat Tanjung Priok harus dilihat, karena itu sangat tidak mudah. Dana untuk menggelar pengadilan adhoc sangat besar. Dana itu berasal dari negara-negara kuat dan maju. Dalam hal ini perlu dukungan negara-negara besar seperti AS, Eropa, Cina. Mereka itu mempunyaihak veto untuk memutuskan dibentuk atau tidaknya pengadilan HAM adhoc internasional. Kalau asumsinya hari ini, tampaknya masalah-masalah kemanusian di Kamboja, Indonesia tidak cukup kuat untuk dibawa ke internasional karena berbagai faktor.Karena biaya besar, juga aspek politik dari negara-negara besar. Mereka sibuk memprioritaskan agenda lama seperti gerakan melawan terorisme. Melawan terorisme pada akhirnya memang menekan dunia, dan banyak kebijakan dunia terutama setelah 11 September. Karenanya, PBB akan sangat tidak mudah menentukan tuntutan itu.
Soal kontras paling depan dalam membela HAM dan korban kekerasan. Apa kendala anda sampai sekarang?Kalau kendala di lapangan sebenarnya dalam pergerakan Kontras bisa juga dari luar. Pengalaman selama ini tidak mudah menggalang dukungan dari masyarakat untuk mendukung gerakan ini. Entah karena kesadaran yang belum cukup dari masyarakat, atau memang masyarakat lebih mementingkan ekonomi, atau memang ada sikap yang apatis terhadap sistem hukum kita. Di sini, kita sulit mencari dukungan dari masyarakat.Kendala birokratisasi dalam melakukan komunikasi politik dengan aparat negara. Sebenarnya ada prestasi yang ditunjukkan oleh pemerintahan Gus Dur, korban dan keluarga korban yang memperjuangkan haknya bisa menyuarakan langsung lewat institusi negara, dengan pertemuan formal ataupun informal. Dalam masa Gus Dur cukup banyak sekali melakukan pertemuan langsung, baik secara individu maupun kelembagaan dengan ketua DPR, MPR, fraksi-fraksi ataupunkomisi di DPR, ataupun dalam
public hearing. Kami cukup punya harapan dengan dibukanya ruang-ruang itu. Kami juga bisa bertemu dengan presiden, wakil presiden, menteri kehakiman, jaksa agung, dengan banyak lembaga. Namun dalam pemerintahan Mega ini berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Dulu kita tidak sulit untuk bertemu langsung dengan kapolri untuk menyatakan langsung keadaan yang terjadi. Sekarang dalam pemerintahan Mega sangat sulit. Seolah para korban adalah segerombolan orang yang dapat melakukan pengrusakan. Padahal yang diinginkan adalah pelayanan yang baik dan pengertian aparat negara. Ini yang seringkali menyulitkan kita. Jaksa Agung bahkan cukup ketat, kita belum pernah bisa menemuinya.
Belakangan Kontras terlalu berat dalam mengurusi beban, tidak hanya mengurusi korban kekerasan di masa lalu, juga orang hilang, petani, buruh, korban kekerasan Bulukumba, Halmahera. Tantangan semakin berat. Bagaimana ada menyikapi persinggungan langsung dengan TNI. Apa ada tekanan?Sebenarnya posisi konfrontatif berhadapan langsung dengan aparat TNI, sudah kita sadari akan melahirkan sejumlah konsekuensi. Baik itu teror terhadap kelembagaan atau intimidasi terhadap perseorangan. Tapi itu semua sama sekali tidak kita khawatirkan. Bagaimanapun juga kita yakin apa yang kita lakukan akan menghasilkan sesuatu yang positif. Kita berharap teror-teror itu di masa yang akan datang tidak terjadi lagi.
Apa yang terberat?Benturan paling keras awalnya orang hilang, peristiwa semanggi I dan II. Gesekan kita dengan TNI dan Polri. Serangan berat lainnya terjadi pada banyak kasus. Namun kami tidak menjadikan itu sebagai suatu beban, memang beberapa karyawan kami menjadi tidak aman. Tapi di luar karyawan, tidakmasalah.
Kasus-kasus terjadi penyerangan ke Kontras?Pernah ada kasus preman cawang (Pamswakarsa) yang hancur di Mendut. Kasus Ongen Sangaji. Petasan di depan Mendut. Aksi Pemuda Panca Marga. Kalau demonstrasi sudah tidak terhitung. Mulai dari yang menuduh organisasi tidak nasionalis, atau yang menuduh diskriminasi terhadap Islam, atau menjadiagen asing. Di Timor-Timor tudingan terhadap kita adalah dianggap agen asing, tidak nasionalis. Terus pada kasus Maluku dianggap anti Islam, tetapi ketika kitajelaskan bahwa kita memperjuangkan kasus Lampung, Talangsari, Tanjung Priok mereka terus menuduh yang lain lagi. Jadi tudingan-tudingan itu silihberganti tergantung karakter yang terjadi waktu itu. Makanya kita tidak pernah pusing, dan kita tidak pernah meladeni memikirkan hal itu. Mereka hanya orang-orang suruhan yang tidak mengetahui permasalahan.
(/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini