"Saya asli Indonesia. Warga Bandung," ucapnya menegaskan.
Akiat membuka obrolan santai di tempat huniannya, Jalan Pagarsih No.187, Kelurahan Jamika, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (19/8/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selalu terharu dan merinding saat naik ke podium kehormatan. Sebagai orang Indonesia, saya sangat bangga sekali," ujar Akiat bernada lirih mengingat kemenangan.
Kiprahnya, boleh disebut, luput perhatian publik tanah air. Akiat justru tersohor di mata internasional. "Sejumlah warga Perancis dan peserta lomba mengelu-elukan saya," katanya.
Di sela obrolan, Akiat menyodorkan satu buku kenangan pribadi berisi kumpulan foto momen masa kejayaannya. Jejak tersebut membuktikannya sebagai legenda Indonesia yang pernah menorehkan sejarah emas dalam jagat kejuaraan layangan tarik.
Sederet catatan penting dia torehkan di buku tersebut yaitu Juara I Kejuaran Dunia Layang-Layang di Kota Dieppe, Prancis (1998), Juara I Kejuaraan Layang-Layang Internasional di Kota Saclay, Prancis (1998), Juara I Kejuaraan Layang-Layang Eropa (sebagai peserta kehormatan) di Kota Pyneneens, Prancis (2000), Juara III Kejuaraan Layang-Layang Dunia di Kota Dieppe, Prancis (2002) dan Juara I Kejuaraan Layang-Layang Dunia di Kota Dieppe, Prancis (2004).
"Hadiahnya bukan uang. Bagi saya hal tersebut bukan suatu masalah. Saya malah senang bekontribusi mengharumkan Indonesia di hadapan para peserta dari berbagai negara," ucap Akiat.
Akiat Memikat
Hikayat kehebatan Akiat memikat Presiden Klub Layang-layang Internasional Ludovic Petit. Akiat dan Ludovic pernah berjumpa di Jakarta pada 1994-1995 saat acara lomba layangan. Mereka kembali bertemu pada 1997, kala itu Akiat meraih peringkat lima besar festival layang-layang internasional di Jakarta.
Menyimak teknik permainan ala Akiat, Ludovic mengajaknya untuk menyambangi Prancis berkaitan lomba layang-layang dunia yang digelar tahun berikutnya atau 1998. Undangan bertarung di even dua tahunan itu membakar semangat Akiat demi nama bangsa Indonesia.
"Pokoknya harus berani nyelonong ke sana (Prancis)," ujar pengagum Soekarno, presiden pertama Indonesia.
Dia sempat galau lantaran panitia hanya menyiapkan tiket dan ongkos akomodasi bagi dirinya. Akiat menyadari tak bisa pergi sendirian ke luar negeri. "Saya cuma ngerti bahasa Sunda dan Indonesia. Enggak bisa bahasa Inggris. Maklumlah, SD (sekolah dasar) saja enggak tamat. Maka istri saya ajak," tutur Akiat.
![]() |
Istrinya, Aifang, merupakan sarjana Sastra Inggris Universitas Maranatha Bandung. Dia menyanggupi mendampingi Akiat meski merogoh duit tabungan untuk biaya perjalanan ke Prancis. Akiat pun menambal kekurangan ongkos dari hasil jerih payah berjualan layangan yang dilakoninya sejak bujangan. Tak lupa, Akiat membawa banyak layangan khas Indonesia yang ukuran dan bentuknya mudah dijumpai berterbangan di daerah-daerah permukiman penduduk.
Perjuangan Akiat tidak sia-sia. Dia mengawali debut internasional dengan torehan manis. Sang petarung sejati ini memborong dua gelar sekaligus sebagai juara pertama. Dua tahun kemudian atau pada 2000, Akiat mengulang keberhasilannya. Nama Indonesia makin berkibar.
Pada 2002, Akiat kembali bertolak ke Prancis. Beralasan kondisi cuaca dingin dan tampil kurang maksimal, Akiat harus berada di posisi ketiga. Rasa kecewa mengguncang. "Tidur enggak nyenyak," ucapnya.
Kesempatan berikutnya, pada September 2004, Akiat tetap dipercaya mewakili Indonesia mengikuti acara 13th International Dieppe Kite Festival di Pantai Dieppe, Perancis. Dirinya mesti bersaing dengan para jagoan dari 15 negara.
Akiat bertekad merebut kembali tropi satu. "Bersyukur sekali, saya meraih juara pertama. Even tersebut paling berkesan karena telah berhasil mengangkat nama baik bangsa dan negara Indonesia. Saya sengaja memakai kaus merah bertulis 'INDONESIA' saat panitia menyerahkan piala," tutur Akiat.
"Saya puas dan bisa tidur nyenyak."
Dijuluki The Killer
Butuh fisik prima dan strategi jitu. Itulah kunci kesuksesan Akiat menggeluti olah raga ketangkasan adu layang-layang. Pengalamannya seabreg. Ia menjelajah lomba kejuaraan layang-layang taraf nasional dan internasional. Bahkan, Akiat empat kali juara dunia untuk kategori layangan tarik.
Figur Akiat melejit. Lawan menyeganinya. Tak berlebihan bila pelayang dari negara-negara Asia dan Eropa mengacungkan jempol buatnya. "Saya dijuluki 'The Killer' oleh peserta di Prancis. Begitu juga oleh panitianya," kata Akiat.
Ia menjelaskan, layangan tarik dinilai dari kemampuan memutuskan benang lawan. Akiat dibekali kemahiran otodidak soal teknik bermain adu layangan di udara.
"Memainkan layangan tarik ini harus punya strategi. Ya seperti jurus-jurus dalam silat. Kita mesti bisa mengukur ketepatan saat bertarung, terutama kapan waktunya kita menggunakan teknik tarik dan ulur," ucap Akiat.
![]() |
Menurut dia, jika teknik menarik benang menggunakan sepasang telapak tangan tidak tepat atau telat, layangan di langit terancam kalah. Sebaliknya kalau teknik mengulur benang tak sesuai siasat atau lengah, Akiat berkata, lawan bisa mudah menumbangkan.
"Teknik layanan tarik itu bertumpu pada kekuatan tangan dan kaki. Makanya sebelum bertanding atau enam bulan mendekati lomba, saya tiap pagi latihan dengan cara lari dan bersepeda. Sore main layangan hingga keringatan. Malamnya berenang. Semua itu sekaligus menjaga ketahanan fisik," tuturnya.
Sewaktu berkompetisi, Akiat membeberkan jurus ampuh menaklukan layangan musuh yang sistemnya duel satu lawan satu. Layangannya bergerak kencang lalu menghujam dan menjerat benang lawan dari atas hingga putus.
Berdarah-darah Demi Indonesia
Gigih bertarung ialah cara Akiat menorehkan kemenangan. Buktinya ia mengantongi prestasi nyata sebagai juara dunia layangan tarik yang rutin berlangsung di Prancis. Sang maestro layangan asal Indonesia ini pun ditakuti musuhnya.
Selama ini Akiat mati-matian menghabisi peserta dari berbagai negara tanpa alat bantu canggih seperti poros, kincir dan alat penarik-ulur. Akiat pelayang bermodal mental juara dan sepasang tangan kokoh.
"Saya tidak menganggap enteng semua lawan. Mayoritas peserta memang pakai tangan. Nah, lawan berat itu pelayang menggunakan alat bantu," ujarnya.
Dia menyebut, kontingen Korea, Hongkong dan Cili selalu memanfaatkan alat bantu. Kecepatan tarik-ulurnya jelas lebih kencang dibandingan bermain manual atau mengandalkan tangan. Tradisi main layangan di tiga negara tersebut memang seperti itu. Akiat menjelaskan, panitia tidak mengatur boleh dan tidaknya peralatan selama duel layang-layang tarik di udara.
Tentu Akiat sudah siap menghadapi risiko yaitu mengalami luka-luka. Telapak tangan dan lengannya sering tersayat benang tajam miliknya.
![]() |
"Telapak dan lengan ini berdarah-darah. Ya karena saya harus sekencang-kecangnya menarik benang. Biar ada tenaga, saya menarik benang sambil berlari mundur," ucapnya sambil memperlihatkan goresan bekas luka akibat sayatan benang.
"Terpenting sudah berjuang dan berkorban demi Indonesia di mata dunia, walau tangan saya harus luka-luka," kata Akiat menambahkan.
Berlomba layangan tarik tanpa alat bantu, menurut Akiat, merupakan ciri khas Indonesia. "Kalau lagi main layangan tarik-ulur, saya enggak pernah pakai sarung tangan. Pelayang di Indonesia terkenal dengan tangan kosong, ya lebih jantan," kata Akiat sembari tersenyum.
Tak Mau Mengemis
Layang-layang meroketkan nama Akiat. Tetapi dia enggan jemawa. Sosok Akiat memang tak setenar olahragawan tanah air era 90-an seperti pebulutangkis Taufik Hidayat serta pecatur Utut Adianto. Mereka sama-sama mengharumkan Indonesia di kancah dunia.
Sejak awal, Akiat tak berkoar-koar soal sepak terjangnya meraih gelar juara dunia layangan. Ia tidak cari muka dengan mendatangi pemerintah atau 'mengemis' meminta dukungan. Selama ini Akiat memakai duit pribadi untuk pergi ke negara yang menggelar lomba.
"Saya enggak mau merepotkan. Selagi saya bisa, kenapa tidak?" ujarnya.
Akiat tak merasa kecewa dan iri sekembalinya ke Indonesia usai bertanding di luar negeri, yang nihil sambutan meriah dan pengalungan bunga lazimnya 'pahlawan' olahraga.
"Pulang dengan membawa piala dan penghargaan saja saya merasa sangat bangga. Prestasi saya selama ini tetap untuk Indonesia," tutur Akiat.
Pria ini menyatakan 'pensiun' menggeluti kompetisi layang-layang sejak 2004 lalu atau setelah dia juara pertama di Prancis. Faktor usia dan fisik alasan Akiat memutuskan perlu istirahat. "Sudah cape," ucap Akiat singkat.
Ia terjun dalam pentas lomba layang-layang sejak tahun 1980-an dengan mengawalinya dari kegiatan Agustusan di Bandung. Lalu dia mengepakan sayap lebih lebar ke tingkat nasional. Kesempatan menjajal kepiawaiannya ke jenjang internasional pun sudah terpenuhi.
![]() |
Berbicara zaman dulu, Akiat berkisah, sejak usia 10 tahun mulai akrab dengan layangan. Akiat mengaku umur segitu sudah membuat dan menjual layang-layang. Dia ditempa hidup mandiri serta belajar mencari nafkah sepeninggalan mendiang ayahnya yang berprofesi sebagai guru.
Masa kelam dirasakan Akiat sehingga tidak tuntas pendidikan tingkat SD gara-gara kekurangan uang. Apalagi kala itu ibunya tak bekerja. "Saya jualan layang-layang ke warung seputaran Bandung. Hingga akhirnya punya toko layangan di Gang Sereh," tuturnya.
Memasuki masa tuanya, Akiat tetap berbisnis layangan plus alat penunjang layang-layang. Dua anaknya sejauh ini belum memberikan tanda-tanda meneruskan jejaknya.
Benak Akiat menginginkan munculnya warga Indonesia yang bisa mengguratkan prestasi serupa. Wajar Akiat gelisah, sebab sejak 'pensiun' pada 2004, tak nampak lagi pewakilan atau generasi penerus asal nusantara yang merebut gelar kejuaraan dunia layang-layang.
Halaman 2 dari 5
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini