SPOTLIGHT

Jejak Kelam Hukuman Mati

Alih-alih dihapuskan, hukuman mati justru dipertegas lewat rancangan aturan baru. Pemerintah tengah merancang metode mencabut nyawa narapidana.

Ilustrasi : Edi Wahyono

Senin, 13 Oktober 2025

Meski tercatat sebagai warga negara Indonesia (WNI), perempuan itu besar di luar negeri. Ia menikah dengan pria Indonesia yang kemudian menyeretnya ke dalam lingkaran kejahatan. Di ruang sidang, ia nyaris tak mampu berbicara maupun memahami bahasa Indonesia. Namun persidangan terus berjalan, tanpa penerjemah. Hakim mengetuk palu. Ia divonis hukuman mati.

“Ternyata suaminya ini bermain dalam lingkaran peredaran gelap narkotika dan kemudian dia ditumbalkan oleh suaminya dan dia dihukum mati sekarang ini,” jelas staf Penanganan Kasus LBH Masyarakat, Awaludin Muzaki, kepada detikX.

Mulanya LBH Masyarakat meragukan keterangan perempuan tersebut. Sebab, ia mengaku tidak diberi penerjemah yang mumpuni di ruang sidang pada 2007 tersebut. Namun, kala LBH Masyarakat mengajukan pemeriksaan kesehatan mental kepada perempuan tersebut, psikolog melaporkan banyak kata dalam bahasa Indonesia yang tak perempuan itu mengerti meski sudah disederhanakan.

“Jadi pemeriksaan kesehatan itu dilakukan secara lisan dan kemudian pertanyaan-pertanyaan itu dibantu oleh pihak lapas. Dan itu juga yang seharusnya, dalam konteks temuan kita ini, seharusnya juga itu diakomodasi penerjemahnya pada saat dia disidangkan dulu begitu, tapi dibiarkan saja,” terang Awaludin.

Awaludin pun menyangsikan jalannya persidangan itu. Ia bertanya-tanya, apakah prosesnya benar-benar sesuai dengan prinsip peradilan yang adil? Apakah perempuan itu memperoleh hak yang sama di depan hukum, sebagaimana dijamin konstitusi? Sehingga, dari kasus tersebut, ia simpulkan terjadi pelanggaran bahkan sejak dari pemeriksaan di kantor kepolisian hingga di ruang sidang menyoal hak-hak korban tak mendapatkan penerjemah.

Perempuan itu merupakan satu di antara sembilan terpidana mati kasus narkoba yang kini sedang didampingi oleh LBH Masyarakat. Mereka hanya menunggu waktu tanpa tahu pasti kapan saatnya akan masuk dalam daftar eksekusi mati.

Banyak di antara terpidana mati, kata Awaludin, memang terlibat tindak kejahatan narkoba. Sayangnya, dia menambahkan, Undang-Undang Narkotika tidak membedakan rinci masing-masing peran dari pelaku kriminal tersebut. Alhasil, seseorang yang merupakan korban dan dijadikan kurir, misalnya, akan terancam hukuman mati sama dengan bandar narkoba kawakan.

“Undang-Undang Narkotika kan nggak membedakan mana pengedar, mana kurir, mana perantara, atau mana yang menjadi korban segala macam, itu kan tidak dibedakan. Dia hanya di saat dijadikan satu ke dalam Pasal 114 begitu, dan perbedaannya hanya pada di berat ringannya barang bukti. Semakin berat barang buktinya ya stigma bahwa di itu pengedar pasti langsung melekat,” papar Awaludin.

Selain hak mendapatkan penerjemah, LBH masyarakat memiliki temuan ihwal hak atas kesehatan mental, hak atas hukum, bahkan pemberitahuan eksekusi hukuman mati yang mendadak tak terpenuhi.


Banyak di antara terpidana mati yang tak bisa menyewa pengacara mendapatkan pengacara publik dari pengadilan. Masalah muncul setelah divonis, mereka tak bisa mengajukan banding maupun kasasi ketika pengacara publik tersebut tak berkenan melanjutkan.

“Dampaknya mereka nggak bisa membuat argumentasi hukum. Bagaimana pengajuannya, argumentasi yang diberikan harus seperti apa, berapa lama mereka harus menunggu, dan mekanisme persidangannya seperti apa, itu mereka tidak ada, tidak mendapatkan informasi itu kalau misalkan mereka sendiri,” terang Awaludin.

Temuan lainnya, LBH Masyarakat pernah mendapati seorang terpidana mati dalam daftar eksekusi mati tetapi ternyata ia tidak jadi dieksekusi. Padahal, menurut Awaludin, tekanan mental terpidana mati yang mengetahui ia akan dieksekusi sangat hebat. Bahkan tekanan itu tak akan menyusut ketika tak jadi dieksekusi mati karena ia kembali dalam penantian yang tak pasti.

“Dan terbukti bahwa eksekusi di tahun 2015-2016, itu kan menurut hasil investigasi dari Ombudsman, Jaksa Agung melakukan malaadministrasi,” tuturnya.

Awaludin mengingat kembali masa ketika gelombang eksekusi mati kembali marak pada 2015-2016 tersebut. Saat itu, keputusan mengeksekusi terpidana narkotika diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo, lalu diimplementasikan oleh Kejaksaan Agung.

“Padahal keputusan itu seharusnya berada di tangan Jaksa Agung, bukan presiden,” ujar Awaludin.

Menurutnya, pernyataan presiden yang secara politis bisa saja dilakukan itu tetap menyalahi prinsip hukum. “Secara politis boleh saja presiden bicara begitu, tapi kalau dilihat dari sisi hukum, itu pelanggaran,” katanya.

Indonesia masih memberlakukan hukuman mati. Data menunjukkan ada lebih dari 500 narapidana yang kini menunggu giliran di daftar eksekusi, sebagian besar terjerat kasus narkotika, pembunuhan berencana, dan terorisme.

Di tengah sorotan dunia terhadap praktik ini, pemerintah justru tengah menyiapkan RUU Pelaksanaan Hukuman Mati, aturan turunan dari KUHP baru yang akan berlaku mulai Januari 2026.


Regulasi ini digadang-gadang bakal menggantikan ketentuan lama warisan kolonial dan memberi kepastian hukum bagi pelaksanaan vonis mati, termasuk bagi mereka yang divonis di bawah KUHP lama.

Terpidana diberi masa percobaan sepuluh tahun untuk menunjukkan perubahan sikap sebelum eksekusi dijalankan. Jika selama masa itu mereka dinilai layak, hukumannya bisa diubah menjadi penjara seumur hidup.

RUU ini juga memuat ketentuan soal penundaan eksekusi bagi perempuan hamil, ibu menyusui, atau terdakwa dengan gangguan jiwa. Pemerintah menyebutnya langkah ‘memanusiakan’ sistem pidana mati.

Metode eksekusi baru juga diusulkan dalam RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang sebelumnya dilakukan dengan tembak mati. Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej mengatakan pemerintah juga mempertimbangkan opsi lain, seperti injeksi dan kursi listrik.

“Mungkin secara ilmiah bisa dipertimbangkan, yang mendatangkan kematian paling cepat itu apakah dengan kursi listrik atau dengan tembak mati atau dengan injeksi. Kemarin sempat tercetus kenapa tidak dikasih pilihan, ini yang bisa kita diskusikan,” ujarnya dalam uji publik RUU di Kemenkum.

Namun langkah pemerintah itu menuai kritik. Juru bicara Amnesty International Indonesia, Haeril Halim, menilai pembahasan soal metode eksekusi justru melenceng dari isu utamanya.

“Itu maksudnya apa? Memberi narapidana pilihan cara mati?” ujarnya.

Bagi Haeril, apa pun bentuknya, suntik mati, kursi listrik, atau regu tembak tidak ada yang bisa disebut manusiawi. “Nggak ada esensinya karena, apa pun metodenya, hukuman mati tetaplah hukuman yang paling kejam,” katanya.

Sepanjang 2025, Amnesty International mencatat setidaknya 40 orang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan negeri di berbagai daerah, termasuk dua warga negara Malaysia.

Iring-iringan mobil polisi mengawal ambulans yang membawa empat terpidana mati kasus narkotika yang dieksekusi mati di lapangan tembak Limus Buntu Nusakambangan, Cilacap, Jumat (28/7/2016).
Foto : Arbi/detikcom

Dampak dari hukuman mati tak berhenti pada aspek hukum semata, kata Haeril, ia merembet ke ranah yang paling personal. Kisah para terpidana dan keluarganya memperlihatkan dengan gamblang beban psikologis dan sosial yang harus mereka tanggung.

Dari proses peradilan yang kerap tak adil hingga penderitaan mental yang dialami mereka yang menunggu giliran dieksekusi, semua menegaskan bahwa hukuman mati sejatinya adalah bentuk penyiksaan yang berkepanjangan.

“Banyak kajian telah menunjukkan bahwa hukuman mati tidak secara efektif memberi efek jera dan mencegah kejahatan. Sebaliknya, hukuman mati justru melanggengkan siklus kekerasan dan menutup kemungkinan rehabilitasi dan perbaikan,” ujar Haeril.

Sepakat, pakar hukum pidana Youngky Fernando menilai pemberlakuan hukuman mati dan perancangan tata cara hukuman mati, di sisi lain, justru akan terus menelan korban-korban masyarakat marginal yang menjadi sasaran para mafia narkoba.

Ia mengingatkan pada eksekusi terpidana mendiang Rani Andriani asal Cianjur, Jawa Barat. Dalam kasus ini, yang berperan sebagai kurir dalam jaringan narkotika besar, Rani tidak berhasil memperoleh grasi meski sejumlah fakta meringankan atau peran pasifnya sebagai kurir telah diungkap selama persidangan.

Walau masyarakat dan organisasi HAM menyerukan agar pertimbangan kemanusiaan dijadikan dasar pengampunan, permohonan grasi tetap ditolak. Akibatnya, Rani menghadapi eksekusi mati, sementara jaringan besar narkotika yang lebih tinggi, dalam rantai produksi dan distribusi, jarang mengalami konsekuensi setimpal secara hukum.

Youngky menambahkan, pemberlakuan hukuman mati juga tak pernah membuat tren kasus narkoba di Indonesia menurun. Dan selama sistem hukum Indonesia masih amburadul, menurutnya, pemberlakuan hukuman mati hanya akan tajam kepada masyarakat bawah serta tumpul ke atas.

“Kalau yang di Cianjur itu, yang di pidana mati itu, itu ibaratnya seperti bumi itu. Kasus koruptor itu ibaratnya seperti langit. Coba bayangkan, nih. Dia melakukan pidana mati kepada yang status sosialnya rendah sekali ya. Sementara status sosialnya tinggi, sebagai politisi dan segala macam, yang melakukan korupsi, tidak ada pidana mati, kan?” ujarnya.


Reporter: Ani Mardatila, Fajar Yusuf Rasdianto, Ahmad Thovan Sugandi
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE