Ilustrasi : Edi Wahyono
Rabu, 01 Oktober 2025Pandangan Yulia sayu. Dia duduk di lantai tanpa beralas tikar di samping pelbet bermotif loreng tentara, tempat putrinya terbaring lesu yang berjajar dengan belasan korban keracunan Makan Bergizi Gratis. Sejak semalam menginap, ia tidur di lantai ruangan semacam aula yang disulap menjadi ruang rawat inap di RSUD Cililin itu. Sesekali ia terjaga karena tubuh anaknya gemetar dan kejang.
“Sesak sama kejang-kejang kayak yang mau ngabisin napas kayak gitu. Aduh… sudah saya mikirnya di situ. Makanya saya mikirnya, udah-lah… nggak usah MBG-MBG lagi juga nggak apa-apa gitu,” kata Yulia kepada detikX, ketika ditemui di RSUD Cililin, Bandung Barat, pada Kamis, 25 September 2025.
Sehari sebelumnya, terasa panjang dan sangat melelahkan secara fisik dan mental bagi Yulia. Siang hari kala seorang ibu teman anaknya mengajak pergi ke sekolah setelah kabar keracunan Makan Bergizi Gratis merebak, Yulia bergegas ke sekolah.
Grup WhatsApp orang tua wali murid sudah memberi informasi tengah terjadi keracunan, tetapi tak ada informasi terkait putrinya. Di sekolah ia bertemu dengan teman sekelas putrinya yang memberi tahu bahwa Dinda, putrinya, sudah dilarikan dengan ambulans ke puskesmas.
Sampai di sana, ternyata pasien puskesmas membeludak. Bukan di ruang perawatan, Yulia melihat anaknya terbaring dan tampak kejang-kejang ditemani seorang relawan di masjid dekat puskesmas. Kondisi putrinya semakin melemah kala korban lain membaik. Akhirnya Dinda diputuskan dirujuk ke RSUD Cililin, jaraknya sekitar satu jam dari Cipongkor, puskesmas dekat sekolah anak Yulia.
Mobil ambulans melaju cepat, berkejaran dengan degup jantung Yulia. Namun, di tengah jalan, tiba-tiba Dinda hilang kesadaran. Kepalanya tergolek ke samping begitu saja. Jantung Yulia mencelos. Ia menduga anaknya meninggal.
Yulia berseru ke sopir ambulans untuk berhenti di rumah sakit terdekat, takut nyawa putrinya kian tak tertolong. Sopir berhenti dan mengecek nadi, masih ada denyutnya. Meski tak melegakan, Yulia masih punya harapan.
Meski ada kejadian dua hari berturut-turut kasus keracunan MBG di Cipongkor, juga ada cukup rasa was-was, Yulia percaya pada pihak dapur karena mereka mengirim video mencicipi makanan kepada pihak sekolah yang juga ditunjukkan kepada para orang tua.
“Sebelum sama mereka tuh, sama anak-anak, sama pegawainya itu divideokan dicoba makanannya itu, jadi mereka dulu yang makan sebelum dibagikan. Buktinya ada gitu ya,” terang Yulia.

Suasana ruang perawatan RSUD Cililin dipenuhi korban keracunan makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Puluhan pasien, sebagian besar pelajar, terbaring di ranjang darurat dengan infus terpasang, didampingi keluarga mereka pada, Kamis (25/9/2025).
Foto : Ani Mardatila/detikcom
Di RSUD Cililin, Dinda diinfus, diberikan obat pereda nyeri, memakai selang oksigen semalaman. Ketika sudah benar-benar sadar dan bisa bercakap siang hari itu, Dinda mengaku trauma jika membayangkan harus menyantap Makan Bergizi Gratis di sekolahnya.
“Takut sih. Masih ada rasa takut. Sampai sekarang pun masih kebayang-bayang,” katanya lirih.
Sebelum keracunan, menu MBG hari itu adalah ayam kecap, sambal, stroberi, salad berisi selada, mentimun, dan tomat. Dinda menghabiskannya karena rasanya enak. Namun tubuhnya berkata lain.
“Pas setelah makan, sakit perut. Saya kira habis makan sambal. Terus tiba-tiba pusing, langsung sesak,” jelasnya.
Senada, seorang ibu bernama Dina panik ketika mendengar kabar keracunan Makan Bergizi Gratis merebak di sekolah. Tak ada informasi masuk ke ponselnya, tapi riuh ibu-ibu di jalan membuatnya langsung bergegas. Ambulans sudah berjajar di depan sekolah. Dina lega ketika bertemu dengan putrinya masih segar, bahkan pulang sendiri dengan motor temannya.
Sesampai di rumah, anaknya bercerita habis empat ompreng jatah makanan MBG. Tak ada tanda-tanda aneh, ia masih mandi, salat, bercanda. Namun, selepas Asar, kondisinya mendadak berubah. Pusing, mual, lalu muntah berulang kali. Hingga tujuh kali lebih, disertai perut sakit, tangan kaku, dan napas sesak.
“Tangannya kejang, badannya dingin, bilangnya sesak. Nangis, saya khawatir banget,” kata Dina kepada detikX.
Ambulans menjemput sekitar pukul 17.30. Dalam perjalanan ke rumah sakit, anaknya sempat pingsan. “Pas di ambulans, tiba-tiba nggak sadar. Tangan masih menggenggam kaku,” ceritanya.
Dina bersyukur penanganan cepat, dari guru yang sigap hingga biaya perawatan yang ditanggung Dinas Kesehatan. Saat di rumah sakit, situasi tampak kaos di matanya, karena anaknya bahkan berada di lorong selasar ruangan IGD karena pasien melampaui daya tampung.
“Syok banget, baru ini (mengalami). Terus ya mudah-mudahan ya nggak kejadian lagi semuanya,” ucap Dina, trauma cukup menghantuinya.
Direktur Utama RSUD Cililin Neng Siti Djulaeha mengatakan tersedia empat ambulans di rumah sakit yang menjadi rujukan utama ini. Dua di antaranya diperbantukan untuk posko perawatan di Cipongkor.
Baca Juga : Bencana Makan Bergizi Gratis

Siti tak memungkiri ketika korban keracunan langsung membeludak membuat pegawai rumah sakit kewalahan. Terutama karena pada awalnya belum mendapatkan bantuan kasur lipat atau pelbet, sehingga berujung beberapa korban mesti ditidurkan di lantai beralas karpet rumput. Alhasil, beberapa korban pun akhirnya dirujuk ke rumah sakit lain.
Ia menjelaskan keseluruhan korban didiagnosis gangguan pencernaan. Munculnya gejala sesak napas merupakan akibat dari rasa sakit yang tak tertahankan.
“Yang paling parah korbannya gelisah, sampai keram, mungkin karena nyeri perutnya, sampai mulutnya keluar buih gitu,” kata Siti kepada detikX.
Baru Sibuk Penuhi Syarat MBG Usai Anak Keracunan
Pelaksanaan program MBG di Bandung Barat menghadapi celah serius dalam sisi regulasi dan lisensi dapur. Terbaru, ibu hamil bahkan turut menjadi korban keracunan setelah delapan kali menyantap menu dengan aman.
Ketua Tim Kerja Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja, dan Kesehatan Olahraga Dinkes Bandung Barat Mawadah membeberkan, meski dapur seharusnya memiliki sertifikat laik sehat, tiga dapur yang menjadi sumber keracunan baru menyelesaikan pelatihan penjamah makanan.
“Sertifikat laik sehat itu kan salah satu persyaratannya adalah pelatihan penjamah makanannya, sama pengambilan sampel. Kebetulan se-KBB itu belum punya sertifikat laik sehat. Tapi pelatihan penjamah makanannya sudah,” kata Mawadah kepada detikX.
Meski secara teknis sertifikat laik sehat dapur belum keluar, ujar Mawadah, pembinaan tetap dilakukan agar dapur-dapur ini bisa menjalankan program MBG, termasuk pengawasan higiene dan pengambilan sampel air di laboratorium.
Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat Lia Nurliana Sukandar mengamini hal itu, tiga dapur memang belum mendapatkan sertifikat laik sehat.
“Belum. Yang tiga dapur itu juga baru proses pelatihan saja, proses sampel air dan lainnya masih dalam proses percepatan,” tuturnya.
Bandung Barat, meski berdekatan dengan pusat pemerintahan Indonesia, nyatanya menelan korban keracunan lebih dari 1.000 anak akibat program MBG. Fakta nasional menunjukkan banyak dapur belum siap dari sisi lisensi. Kepala Staf Kepresidenan Muhammad Qodari menyebut 8.549 dapur MBG belum memiliki sertifikasi Kemenkes yang memadai.

Para siswa korban keracunan usai menyantap menu makan bergizi gratis (MBG) menjalani perawatan medis di Posko Penanganan di Kantor Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (24/9/2025).
Foto : Abdan Syakura/Antarafoto
Sementara itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang baru-baru ini menyebut food tray atau ompreng MBG akan diwajibkan berlabel SNI.
"Program ini kita sekarang sedang menyusun SNI food tray itu wajib. Jadi akan kita wajibkan standarnya 304 at least," kata Agus di Kemenko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Jakarta Pusat, Jumat, 26 September 2025.
Presiden Prabowo Subianto mengakui ada insiden keracunan MBG, tetapi jumlah kasus dari 30 juta penerima manfaat masih di bawah 1 persen, dan manfaat program tetap dianggap jauh lebih besar.
"30 juta anak-anak dan ibu-ibu hamil tiap hari menerima makanan. Bahwa ada kekurangan, iya. Ada keracunan makanan, iya. Kita hitung, dari semua makanan yang keluar penyimpangan atau kekurangan atau kesalahan, itu adalah 0,00017 persen," katanya.
Tan Shot Yen, dokter ahli gizi masyarakat sekaligus Presidium Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA), menyoroti pernyataan tersebut. Menurutnya, nyawa tidak bisa dibandingkan dengan produk barang.
“Kalau soal insidennya yang kurang dari 1 persen seperti dikatakan Presiden, menurut saya beliau keliru karena mengandaikan nyawa orang seperti quality control di pabrik sepatu. Kalau satu atau dua sepatu cacat dari ratusan batch, masih bisa dianggap wajar. Tapi ini nyawa manusia. Bayangkan jika yang terkena adalah anak atau cucu kita. Kita tidak bisa menyamakan nyawa manusia dengan barang produksi,” tuturnya kepada detikX.
Dokter Tan turut menanggapi keseluruhan program ini, bagaimana masih banyaknya SPPG yang belum memiliki surat laik sehat. Di samping itu, ia menekankan, jikapun sudah memenuhi standar higiene, sistem penyimpanan yang tak baik tetap akan memunculkan peluang pertumbuhan bakteri pada suhu kritis.
“Jadi kalau memang ingin dikonsumsi dalam waktu yang lebih lama, tentu harus ada sistem ya, mempertahankan suhu, dalam hal ini mobilnya pakai pemanas segala macam dan itu ribetnya bukan main. Jadi tentu saja bukan hanya masalah sekadar dapurnya bersih atau jorok, tetapi juga rentang waktu yang terlalu panjang sejak makanan itu dibuat diselesaikan sampai makanan itu dimakan,” pungkas dokter Tan.
Reporter: Ani Mardatila, Ahmad Thovan Sugandi, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Ani Mardatila
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim