Dirangkum detikcom, kritikan terkait rapid test yang dimanfaatkan menjadi bisnis itu datang dari Anggota Ombdusman Alvin Lie dan Pakar Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono. Keduanya sepakat bahwa biaya rapid test atau tes PCR telah dikomersialkan oleh sejumlah pihak.
Alvin mengatakan seseorang yang telah melakukan rapid test tidak menjamin bahwa orang tersebut terbebas dari virus. Hal tersebut dikarenakan, rapid test antibodi ini tidak mendeteksi virus dalam tubuh seseorang.
"Ini juga membuktikan bahwa rapid test itu tidak mendeteksi apakah seseorang itu tertular Covid atau tidak, hanya test antibodi," kata Alvin kepada wartawan, Rabu (8/7/2020).
Harga Rp 150 Ribu Tak Mencakup Biaya Pelayanan
Pandu mengatakan biaya Rp 150 ribu rapid test yang ditetapkan Kemenkes dinilai masih terbilang mahal. Menurutnya, harga itu hanya untuk menebus alat rapid testnya saja.
"Seharusnya di bawah Rp 100 ribu kalau perlu Rp 100 ribu aja. Itu juga masih terlalu mahal harga Indonesia, produk Indonesia cuma Rp 75 ribu kok harga jualnya," katanya.
Pandu mengatakan biaya Rp 150 ribu untuk sekali rapid test belum termasuk dengan biaya untuk membayar jasa pelayanan tenaga medisnya. Dia menyebut jika diakumulasikan untuk biaya rapid test tersebut bisa mencapai Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu.
"Nanti ada tambahan-tambahan lagi, Itu kan harga testnya aja. Ongkos petugasnya, layanannya? Jadi masih jalan untuk tetap mengkomersialkan. Nanti biaya cost totalnya itu bisa lebih mahal, seharusnya itu biaya layanan termasuk harga test tidak boleh lebih dari 150 ribu gitu, dipatok kayak gitu. Kalau cuma harga test segitu harga barangnya, itu kan harga produknya. Seolah-olah harga produknya, tapi kan orang ga beli produk, orang beli pelayanan," katanya.
"Jadi itu nanti bisa Rp 500 ribu juga, bisa Rp 300 ribu. Jadi jangan senang dulu, barangnya juga cuma Rp 75 ribu, kalau biaya pelayanan termasuk barang dan semuanya Rp 150 ribu, baru setuju," sambungnya.
Sedangkan Alvin mempertanyakan sanksi apa yang bisa diterapkan bagi pihak yang melanggar peraturan batas tarif tertinggi rapid test itu. Tak hanya itu, dia juga mendapat laporan dari sejumlah rumah sakit di daerah yang telah membeli alat rapid test sebelum ada penetapan harga dari Kemenkes.
"Saya juga mendapat laporan dari berbagai daerah bahwa rumah sakit-rumah sakit ini belinya kit rapid tes ini sudah di atas 200 ribu. Jadi bagaimana mereka? Mereka sudah terlanjur punya stok untuk itu, apakah uangnya dikembalikan atau bagaimana? Sebab di beberapa daerah ini rumah sakit-rumah sakit tidak punya pilihan belinya dari orang itu-itu saja, yang dikhawatirkan telah terjadi monopoli atau oligopoli," katanya.
Rapid Test Sudah Jadi Bisnis
Alvin mengkritik kebijakan Kemenkes terkait batas biaya rapid test Corona tertinggi sebesar Rp 150 ribu. Menurutnya, kebijakan ini menunjukkan biaya rapid test selama ini memang sangat mahal dan menjadi ladang bisnis di saat krisis karena pandemi.
"Ini membuktikan selama ini biaya rapid test itu harganya gila-gilaan dan sudah menjadi komoditas dagang, kenyataannya ini bisa ditekan menjadi 150 ribu rupiah," kata Alvin.
Sementara itu, Pandu meminta agar pelayanan kesehatan tidak dijadikan bisnis di saat krisis karena virus Corona melanda saat ini. Menurutnya, pemerintah harus hadir untuk mencegah komersialisasi di semua layanan kesehatan.
"Jadi gini pelayanan kesehatan, jangan dibuat bisnis apalagi di zaman pandemi ini testing PCR, testing ini dibuat bisnis ya kan. Itu harus dicegah, negara harus mencegah komersialisasi semua layanan yang terkait dengan Covid, negara harus hadir," tegasnya.
Syarat Rapid Test untuk Perjalanan Tak Relevan Lagi
Alvin mengatakan syarat menyertakan surat keterangan pemeriksaan PCR atau rapid test bagi calon penumpang yang hendak melakukan perjalanan di dalam negeri dinilai sudah tidak relevan lagi diterapkan. Seharusnya aturan tersebut hanya berlaku untuk perjalanan ke luar negeri.
"Dengan adanya ini justru kita pertanyakan apakah masih relevan melakukan test antibodi ini sebagai syarat bepergian bagi penumpang pesawat udara, kereta api, maupun kapal. Karena sebenarnya rapid test ini tidak ada gunanya untuk mencegah penularan Covid-19," kata Alvin.
"Perlu diingat bahwa hanya di Indonesia yang mensyaratkan calon penumpang pesawat udara maupun kereta api untuk mempunya sertifikat uji Covid. Negara lain tidak ada yang mensyaratkan itu, syarat itu hanya untuk lintas negara bukan untuk penerbangan domestik atau rute dalam negeri," lanjutnya.
Hal senada diungkap juga oleh Pandu. Pandu menyebut peraturan harus memiliki sertifikat bebas COVID untuk perjalanan dalam negeri sebaiknya dicabut.
"Harusnya dilarang, dicabut semua ketentuan mau pergi naik pesawat, naik ini nggak perlu pake test-test lagi, kecuali kalau ke luar negeri. Kalau di dalam negeri sih nggak perlu," katanya.