Sidang Gugatan UU KPK, Ahli Jelaskan Paripurna DPR Harus Kuorum Fisik

Sidang Gugatan UU KPK, Ahli Jelaskan Paripurna DPR Harus Kuorum Fisik

Yulida Medistiara - detikNews
Rabu, 24 Jun 2020 19:49 WIB
Ilustrasi sidang MK
Ilustrasi sidang di MK (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang uji materi UU KPK 9/2019. Ahli hukum dari Universitas Brawijaya Dr Aan Eko Widiarto menjelaskan pengesahan undang-undang harus dihadiri kuorum, yaitu anggota harus hadir secara fisik memenuhi kuorum, bukan hanya tanda tangan.

Awalnya, hakim konstitusi Saldi Isra mempertanyakan terkait kehadiran fisik anggota Dewan dalam sidang pengesahan undang-undang. Saldi mempertanyakan apakah harus dihadiri jumlah melebihi 50 persen anggota Dewan secara fisik atau tanda tangan dari anggota Dewan sudah terpenuhi.

"Tanda tangan di paripurna melebihi 50 persen, sementara ada fakta lain secara fisik yang hadir dalam ruang paripurna itu kurang dari 50 persen. Bagaimana ahli menjelaskan dua fakta dari konsep penyelenggaraan pemerintahan dalam konsep pembentukan undang-undang?" tanya Saldi di MK, yang disiarkan di YouTube MK RI, Rabu (24/6/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menjawab pertanyaan itu, Aan mengatakan kehadiran fisik anggota Dewan harus ada secara fisik. Sebab, lembaga perwakilan rakyat harus menyampaikan aspirasi yang diwakili, terutama pada saat pengambilan keputusan.

"Menyampaikan itu harus ada wujudnya. Wujudnya dalam hal ini wujud yang bisa dilihat, didengar, dalam suatu pengambilan keputusan sehingga bentuk konkret dalam pelaksanaan konsep perwakilan ini, masyarakat tadi yang memang dalam partisipasinya itu diwakili oleh wakil-wakil rakyat ini, hadir di dalam gedung tersebut. Sehingga dia bisa mengungkapkan, 'Ini lo rasa rakyat, saya sebagai wakil rakyat dan rakyat yang saya wakili ini lo rasanya, ini lo pendapatnya," ujar Aan.

ADVERTISEMENT

Tak hanya itu, kata Aan, pengesahan undang-undang harus disetujui oleh DPR dan pemerintah. Menurut Aan, yang dimaksud DPR adalah kumpulan dari anggota, bukanlah fraksi-fraksi, sehingga anggota yang belum sempat memberikan pendapatnya bisa memberikan pendapat. Selain itu, kehadiran fisik justru dibutuhkan untuk mengantisipasi apabila pengambilan keputusan dilakukan voting.

"Kehadiran fisik itu diperlukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya voting. Kalau kemudian hanya ada di dalam daftar hadir, kemudian ternyata deadlock tidak terjadi musyawarah-mufakat, harus voting, voting akan diikuti oleh jumlah anggota yang kurang tidak sesuai dengan daftar hadirnya. Bagaimana bisa berjalan voting ini? Sehingga inilah urgensinya mengapa secara fisik," ujarnya.

Senada dengan Aan, ahli hukum Bagir Manan, yang juga dihadirkan pemohon, menjelaskan di dalam tata tertib tidak ada yang menerangkan kehadiran cukup dengan tanda tangan. Kemudian apabila pengesahan undang-undang tidak dihadiri kuorum, menurut Bagir pengesahan undang-undang itu tidak sah karena tidak memenuhi syarat konstitusional.

"Saya sepakat bahwa semestinya tidak ada ketentuan tata tertib DPR bahwa kehadiran itu adalah cukup dengan tanda tangan. Dia harus fisiknya ada di sana, di seluruh dunia seperti itu, seorang yang tidak hadir itu bagaimana orang yang tidak hadir bisa memutus setuju atau tidak setuju. Mestinya itu tidak bisa terjadi," ujarnya.

"Pengesahan itu yang tadi mengatakan kalau seandainya bahwa UU KPK itu pada saat DPR memberikan persetujuan, itu disahkan dan yang kurang dari separuh yang hadir apakah itu yang termasuk apakah itu dapat atau dapat dibatalkan, persetujuan DPR itu merupakan syarat konstitusional, syarat hadirnya, syarat eksisnya sesuatu, kalau itu tidak disetujui, tidak dihadiri oleh kurang atau lebih dari separuh berarti syarat konstitusif tidak terpenuhi. Hukum kalau syarat konstitutif tidak terpenuhi adalah batal demi hukum. Jadi jangan main-main. Kalau sampai itu terjadi, tentu yang dikatakan tidak betul itu ya kita buktikan saja. Kalau nanti dua-duanya mengajukan bukti yang mana, itulah tugas hakim," paparnya.

Tak hanya itu, mantan Ketua MA itu juga menjelaskan terkait partisipasi publik yang sepatutnya dijadikan pertimbangan dalam pengesahan undang-undang. Ia menjelaskan pendapat masyarakat bisa dikatakan genuine atau asli apabila dapat dipertanggungjawabkan.

"Terkait pertanyaan Prof Arief, pendapat publik yang genuine atau yang tidak genuine bagaimana menentukannya? Ini soal kepercayaan terhadap publik apakah pendapat itu benar-benar pendapat publik. Kalau itu dikeluarkannya tergantung dari mana sumber pendapat itu, kalau misalnya itu pendapat dari ikatan sarjana kampus X masa tidak genuine, itulah gunanya pemeriksaan dalam proses peradilan itu," ungkap Bagir.

Sebelumnya ada tujuh perkara yang sama-sama menggugat revisi UU KPK, yakni perkara nomor 59/PUU-XII/2019, 62/PUU-XVII/2019, 70/PUU-XVII/2019, 71/PUU-XVII/2019, 73/PUU-XVII/2019, 77/PUU-XVII/2019 dan 79/PUU-XVII/2019.

Yang dipersoalkan pemohon untuk uji formal antara lain anggota DPR yang hadir saat pengesahan tidak mencapai kuorum, tidak dilibatkannya KPK saat pembahasan dan UU tersebut diselundupkan karena tidak masuk Prolegnas 2019.

Selanjutnya untuk uji materi, hal yang dipersoalkan antara lain keberadaan dewan pengawas dan masuknya KPK dalam rumpun eksekutif.

Halaman 2 dari 2
(yld/knv)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads