Di Sidang Gugatan UU KPK, Ahli Nilai Proses Pembentukan UU KPK Tergesa-gesa

Di Sidang Gugatan UU KPK, Ahli Nilai Proses Pembentukan UU KPK Tergesa-gesa

Yulida Medistiara - detikNews
Rabu, 24 Jun 2020 15:27 WIB
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan terkait uji formil UU KPK dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR.
Foto ilustrasi sidang gugatan di MK: Grandyos Zafna
Jakarta -

Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang uji materi UU KPK 9/2019 dengan agenda pemeriksaan saksi ahli. Pakar hukum, Bagir Manan di persidangan menilai proses pembentukan UU KPK baru tergesa-gesa dan mengabaikan pendapat publik.

"Ada ketergesa-gesaan, pembentuk undang-undang kurang sekali merespon pendapat publik, dan negara demokrasi mengabaikan pendapat publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat digolongkan sebagai pelanggaran-pelanggaran atas azaz-azaz umum peraturan perundang-perundangan yang baik," kata Bagir Manan, saat memberikan keterangan sebagai ahli yang dihadirkan pemohon di Mahkamah Konstitusi, yang disiarkan di YouTube MK, Rabu (24/6/2020).

Bagir mengatakan nilai-nilai demokrasi dan paham negara hukum yang terdapat di dalam UUD 1945 tidak mungkin diabaikan termasuk dalam proses atau persetujuan undang-undang. Bagir mengatakan meskipun UU KPK baru secara formal telah dirumuskan antara DPR dan pemerintah sebagai wujud demokrasi perwakilan, tetapi tidak berarti demokrasi hanya dijalankan atau hanya berada di tangan badan perwakilan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, suara rakyat tetap dapat memberikan masukan dan pendapat terkait rancangan pembentukan perundang-undangan melalui demonstrasi, petisi, opini publik, dan hak berekspresi. Tak hanya itu suara rakyat bukan hanya memilih kepala daerah, presiden hingga anggota dewan, melainkan juga menentukan bagaimana mereka diatur.

"Dihadapkan pada RUU KPK baru yang berisi perubahan atas pengganti UU KPK lama cukup banyak pernyataan publik baik dari dalam kampus, publik di luar kampus, tulisan-tulisan di media masa kumpulan-kumpulan para ahli, agar UU KPK lama tetap dipertahankan dan menghentikan pembahasan rancangan UU KPK baru," kata Bagir.

ADVERTISEMENT

"Namun apa yang terjadi baik DPR maupun pemerintah sama sekali atau kurang respon atau kurang sekali mempertimbangkan, memperhatikan pernyatan publik yang bersangkutan tapi lah tetap berlanjut. Dalam demokrasi memperhatikan dengan sungguh-sungguh pandangan pendapat publik merupakan satu prosedur yang sama sekali tidak boleh diabaikan," ujarnya.

Bagir partisipasi publik dinilai sangat penting dalam pembuatan perundang-undangan. Selain itu, keterlibatan partisipasi publik dalam peraturan perundang perundangan juga sebagai fungsi kontrol.

"Kurangnya perhatian terhadap pendapat umum dalam pembentukan UU KPK baru dapat dimaknai sebagai mengabaikan partisipasi publik sebagai sesuatu prosedur menjamin suatu UU yang baik," ujarnya.

Lebih lanjut, Mantan Ketua Mahkamah Agung itu berpendapat, proses pembentukan UU KPK baru ini cenderung tergesa-gesa dibahas pemerintah secara tertutup dan terbuka selama 12 hari. Kemudian pembahasannya juga dilakukan oleh anggota DPR yang masa jabatannya juga hampir habis sehingga dinilai mengabaikan memenuhi azaz azaz umum pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

Tonton juga video 'KPK: Sudah Ada 184 Anggota DPRD Jadi Tersangka Korupsi':

Selain pembahasan UU KPK yang baru begitu singkat, pembahasan UU KPK itu juga kurang terbuka atau transparan. Ia menilai ada inkonsisten dengan semangat pemberantasan korupsi sebagai upaya membangun pemerintahan yang bersih dan clean governance.

"Penyelesaian UU KPK hanya 12 hari dan kurang diinformasikan ke publik bahkan ada yang mengesankan tertutup merupakan hal yang bertentangan dengan proses atau pembentukan UU yang baik," ungkapnya.

Selain itu, dia menyoroti UU KPK yang telah sama-sama disetujui antara pemerintah dan DPR tetapi tidak ditanda-tangani Presiden. Menurut Bagir, ada anomali meski dalam undang-undang tetap dimungkinkan suatu perundang-undangan berlaku otomatis walaupun tidak ditandatangani presiden.

"Walaupun UUD 1945 memungkinkan suatu rancangan UU menjadi UU tanpa pengesahan presiden, tapi apakah prosedur semacam itu tidak merupakan anomali praktek ketatanegaran mengingat rancangan UU yang disampaikan ke presiden untuk disahkan adalah hasil persetujuan bersama dengan DPR. Sesuatu yang anomali baik prosedur maupun substansi adalah tidak sesuai dengan azaz prinsip umum pembuatan UU yang baik," katanya.



Bagir menilai mestinya sebagai diskresi dalam tatanan demokrasi negara hukum, keputusan presiden membiarkan rancangan UU KPK baru menjadi UU KPK baru tanpa pengesahan mestinya disertai alasan yang diketahui publik.

Sebelumnya ada tujuh perkara yang sama-sama menggugat revisi UU KPK, yakni perkara nomor 59/PUU-XII/2019, 62/PUU-XVII/2019, 70/PUU-XVII/2019, 71/PUU-XVII/2019, 73/PUU-XVII/2019, 77/PUU-XVII/2019 dan 79/PUU-XVII/2019.

Sementara yang dipersoalkan pemohon untuk uji formal antara lain anggota DPR yang hadir saat pengesahan tidak mencapai kuorum, tidak dilibatkannya KPK saat pembahasan dan UU tersebut diselundupkan karena tidak masuk Prolegnas 2019. Selanjutnya untuk uji materi, hal yang dipersoalkan antara lain keberadaan dewan pengawas dan masuknya KPK dalam rumpun eksekutif.

Halaman 2 dari 2
(yld/zap)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads