Aksi memprotes kematian pria kulit hitam bernama George Floyd yang marak di Amerika Serikat (AS) telah meluas ke beberapa negara lainnya. Aksi serupa terpantau digelar di Inggris, Jerman dan Selandia Baru.
Seperti dilansir Reuters, Senin (1/6/2020), ratusan orang di London dan Berlin menggelar unjuk rasa sebagai wujud solidaritas dengan publik AS yang menggelar aksi protes besar-besaran di puluhan kota.
Para demonstran yang berkumpul di Alun-alun Tafalgar, London, pada Minggu (31/5) waktu setempat melakukan aksi berlutut bersama-sama, sambil meneriakkan: 'Tidak ada keadilan, tidak ada perdamaian'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para demonstran kemudian bergerak melewati Gedung Parlemen dan mengakhiri aksi di luar Kedutaan Besar (Kedubes) AS di London.
Sedikitnya 23 demonstran ditangkap polisi dalam aksi solidaritas yang digelar di London. Diketahui bahwa aksi ini digelar saat Inggris masih dalam masa lockdown untuk membatasi penyebaran virus Corona (COVID-19).
Aturan lockdown melarang kerumunan besar warga untuk berkumpul di satu tempat pada waktu yang sama. Dalam pernyataan via Twitter, Kepolisian Metropolitan London menyebut penangkapan dilakukan atas berbagai pelanggaran yang terjadi, termasuk pelanggaran aturan lockdown.
Tonton juga 'China Soal Kematian George Floyd: Diskriminasi 'Penyakit Kronis' AS':
Disebutkan bahwa mereka yang ditangkap kini ada dalam tahanan kepolisian. Sementara sebagian besar demonstran kini telah meninggalkan lokasi aksi.
"Para petugas kepolisian dikerahkan dan secara konsisten mengawasi seluruh acara perkumpulan pada akhir pekan, serta mendorong semua orang untuk mematuhi aturan demi menjaga semua orang tetap aman," demikian pernyataan Kepolisian Metropolitan London.
Lebih banyak aksi protes serupa yang akan digelar di London sepanjang pekan ini.
Sementara itu, ratusan demonstran lainnya menggelar aksi protes di luar Kedubes AS di Berlin, Jerman. Mereka membawa poster bertuliskan 'Keadilan untuk George Floyd', 'Berhenti membunuh kami' dan 'Siapa selanjutnya' namun memakai kata-kata slang, 'Who's neckst'.
Aksi memprotes kematian Floyd sebagai wujud solidaritas untuk warga AS juga digelar di Selandia Baru. Seperti dilansir AFP, unjuk rasa yang berlangsung di beberapa wilayah Selandia baru ini berjalan dengan damai.
Di Auckland, sekitar 2 ribu orang mengikuti aksi long-march ke gedung Konsulat AS. Dalam aksinya, mereka meneriakkan slogan berbunyi 'Tidak ada keadilan, tidak ada perdamaian' dan 'Black Lives Matter'.
Di Christchurch, sekitar 500 orang bergabung dalam aksi solidaritas serupa. Sementara di ibu kota Wellington, sekitar 500 orang lainnya berkumpul dan berdiri tengah hujan demi mengikuti malam doa bersama yang digelar di luar gedung parlemen Selandia Baru.
Musisi keturunan Nigeria-Selandia Baru, Mazbou Q, yang menggelar aksi protes ini menyebut aksi yang digelar di Selandia Baru ini tidak hanya soal kematian Floyd.
"Persekusi komunitas kulit hitam merupakan fenomena yang terus berlangsung. Supremasi kulit putih yang sama yang memicu pembunuhan warga kulit hitam di AS, juga ada di sini di Selandia Baru," sebutnya.
"Kita bangga menjadi bangsa yang berempati, baik dan penuh cinta. Tapi kebungkaman dari pemerintah dan media tidak merefleksikan hal itu sama sekali. Faktanya, itu membuat kita terlibat," imbuh Mazbou dalam aksi di Auckland.
Dalam aksi di Christchurch, yang menjadi lokasi pembantaian 51 jemaah masjid oleh seorang penganut supremasi kulit putih, salah satu orator yang bernama Josephine Varghese, menuturkan bahwa: "Kami menuntut keadilan ras dan ekonomi. Black lives matter, indigenous lives matter, Muslim lives matter."
Floyd yang berusia 46 tahun tewas setelah dicekik dengan lutut seorang polisi kulit putih bernama Derek Chauvin, usai dia ditangkap atas kecurigaan menggunakan uang palsu di sebuah toko di Minneapolis, Minnesota, pada Senin (25/5) pekan lalu. Kematian Floyd memicu gelombang protes besar-besaran di AS dan melepaskan kemarahan lama yang membara terhadap praktik rasialisme dalam sistem peradilan AS.
Sejumlah aksi protes yang berlangsung di AS awalnya berjalan damai, namun berujung kerusuhan dan diwarnai penjarahan. Para demonstran memblokir lalu lintas, melakukan pembakaran dan bentrok dengan polisi antihuru-hara, yang menembakkan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan massa.